Tangkapan layar akun di TikTok Indonesia (IDN Times/Lia Hutasoit)
Ditangguhkannya fitur siaran langsung milik TikTok menjadi masalah tersendiri. Padahal, fitur live di platform tersebut menjadi alternatif warga mendokumentasikan demonstrasi di jalanan yang bisa merekam tindakan brutal.
SAFEnet mencatat, penangguhan ini selain membatasi akses informasi dan komunikasi juga berimbas pada aspek ekonomi, yakni pengusaha UMKM yang mengandalkan fitur siaran langsung untuk berjualan ikut terdampak.
Kemudian, adanya indikasi operasi informasi yang bertujuan mengalihkan perhatian publik dari isu kekerasan polisi. Narasi yang disebarkan berupaya mengarahkan fokus massa untuk menyasar DPR, alih-alih menuntut pertanggungjawaban atas brutalitas polisi.
"Pada saat yang sama, peserta aksi semakin sering dilabeli sebagai kelompok anarkis sebagai upaya untuk mendelegitimasi tuntutan mereka. Selain itu juga terdapat narasi hasutan untuk melakukan tindak kekerasan kepada etnis Tionghoa yang memunculkan trauma peristiwa 1998," tulis SAFEnet.
Militer juga disebut mencari panggung lewat narasi dari sejumlah akun media sosial
"Padahal, TNI tidak memiliki tugas pokok dan fungsi untuk mengamankan atau mencairkan suasana di titik-titik demonstrasi," kata SAFEnet.
Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) pada 26 Agustus 2025 jugamemanggil Meta dan TikTok soal konten yang dilabeli disinformasi, fitnah, dan ujaran kebencian (DFK). Beberapa hari kemudian, overmoderation terjadi di Instagram, YouTube, dan TikTok. Mulai dari akun ditangguhkan, unggahan soal kekerasan polisi dihapus, hingga pengguna X menerima notifikasi penurunan konten, padahal itu ekspresi sah.