Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Sampaikan Duka Cita, Korps Bhayangkara Ungkap Sosok Mbah Moen

Ilustrasi Gedung Mabes Polri (polri.go.id)

Jakarta, IDN Times - Kiai berpengaruh di dunia politik Indonesia, KH Maimoen Zubair, meninggal dunia di tanah suci Makkah, Arab Saudi, Selasa (6/8) subuh waktu Makkah. Terkait hal itu, Korps Bhayangkara pun turut berduka atas wafatnya pria yang akrab disapa Mbah Moen tersebut.

"Atas nama Polri, kami mengucapkan bela sungkawa sedalam-dalamnya atas meninggalnya Kiai Haji Maimoen Zubair. Kami mendoakan semoga arwah beliau mendapatkan tempat terbaik di sisi Allah SWT," kata Karo Penmas Divisi Humas Mabes Polri, Brigjen Pol Dedi Prasetyo di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Selasa (6/8).

1. Mbah Moen dinilai memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi

IDN Times/Axel Jo Harianja

Selain itu, Dedi juga menilai, Mbah Moen memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi. "Semangatnya luar biasa, beliau selalu bersemangat, apalagi jika berbicara mengenai Pancasila dan NKRI, baik di ponpes maupun di kediaman beliau," ungkap Dedi.

2. Mbah Moen pertama kali menimbah ilmu di Ponpes Lirboyo Kediri

IDN Times/Denisa Tristianty

Wafatnya Mbah Moen, sapaan akrabnya, meninggalkan duka mendalam di keluarga besar Pondok Pesantren Al Anwar, Sarang, Rembang. Semasa hidupnya, kiai 91 tahun itu dikenal sebagai ulama yang disegani oleh para santri dan masyarakat umum. 

Seperti dilansir dari laman gomuslim.co.id, Mbah Moen lahir di Rembang tepat saat Sumpah Pemuda didengungkan pertama kali, yakni pada 28 Oktober 1928. Putra bungsu dari pasangan ulama ini, dikenal sebagai ulama yang alim dan teguh memegang prinsip agama Islam.

Ayahandanya, Kiai Zubair merupakan sosok terpandang karena menjadi murid Syaikh Sa'id Al-Yamani dan Syaikh Hasan Al-Yamani Al-Makky. Sedangkan,ibundanya, putri dari Kiai Ahmad bin Syu'aib.

Sekitar 1945, Beliau memulai pendidikannya di Pondok Lirboyo Kediri, di bawah bimbingan KH Abdul Karim alias Mbah Manaf. Dari sinilah, ia berkelana menimba ilmu agama dari ulama ke ulama lainnya. Tercatat, Mbah Moen juga menimba ilmu agama dari KH Mahrus Ali juga KH Marzuqi.

3. Hijrah ke Makkah dan bermukim selama dua tahun

instagram.com/khanwarzahid.fans

Tepat saat berusia 21 tahun, Mbah Moen melanjutkan pendidikan agamanya ke Makkah Al-Mukarromah. Perjalanannya ke Makkah direstui kakeknya, KH Ahmad bin Syu'aib. 

Di sini, Mbah Moen menerima ilmu dari sekian banyak ulama terkemuka. Mulai Sayyid 'Alawi bin Abbas Al-Maliki, Syaikh Al-Imam Hasan Al-Masysyath, Sayyid Amin Al-Quthbi, dan Syaikh Yasin bin Isa Al-Fadani, Syekh Abdul Qodir Al-Mandaly dan masih banyak lagi.

Saat di Makkah, Mbah Moen berkawan dekat dengan Kiai Sahal Mahfudh. Keduanya dikenal sering berkelana ke berbagai ponpes di tanah Jawa. Dua tahun berada di Tanah Suci Makkah, Mbah Moen memutuskan balik ke kampung halaman.

Tujuannya tak lain untuk meluangkan waktu mengaji bersama ulama di Jawa. Di antaranya, Kiai Baidhowi, Kiai Ma'shum Lasem, Kiai Bisri Musthofa (Rembang), Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Muslih Mranggen (Demak), Kiai Abdullah Abbas Buntet (Cirebon), Syekh Abul Fadhol Senori (Tuban), dan beberapa kiai lain. 

4. Menulis kitab yang jadi rujukan santri hingga sekarang

Dok.IDN Times/Istimewa

Dalam perjalanannya, Mbah Moen juga menulis kitab-kitab yang menjadi rujukan santri yang berjudul Al-Ulama Al-Mujaddidun. Pondok Pesantren Al Anwar Sarang bisa dibilang salah satu tempatnya dalam memperjuangkan penyebaran ilmu agama Islam. Dibangun pada 1965 silam, pondok tersebut berada di Karangsangu Sarang, Rembang.

Pesantren ini pun kemudian mulai menjadi rujukan santri untuk belajar buku kuning dan mendukung turnya. Sekitar 2008, Mbah Moen memperluas bangunan pesantrennya dan dikelola oleh putranya, KH Ubab Maimoen.

Kiai Maimoen Zubair memiliki 2 istri. Pertama bernama Nyai Fahimah putri Kiai Baidhowi Lasem, dan dikaruniai tujuh anak. Istri kedua bernama Nyai Masthi'ah. Dari pernikahan ini, Beliau dikaruniai enam putra dan dua putri. Termasuk KH Majid Kamil, Gus Ghofur, Gus Ro'uf, Gus Wafi, Gus Yasin, Gus Idror, Neng Shobihah (meninggal), dan Neng Rodhiyah.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Anata Siregar
EditorAnata Siregar
Follow Us