Anggota Komisi X Usul PTM Tak Disetop Serentak di Semua Sekolah

Kondisi PTM disesuaikan dengan situasi Omicron di area itu

Jakarta, IDN Times - Ketua Komisi X DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Syaiful Huda, sepakat dengan dorongan dari Presiden Joko "Jokowi" Widodo agar Pembelajaran Tatap Muka (PTM) 100 persen di tiga provinsi dievaluasi. Namun, ia berharap bila opsi yang ditempuh yakni dengan menyetop PTM lantaran kenaikan kasus Omicron, jangan dilakukan serentak di semua sekolah.

Syaiful khawatir terhadap dampak dari learning loss yang dialami anak-anak ketika mereka kembali ke metode Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). 

Dorongan Jokowi agar PTM kembali dievaluasi seiring dengan kenaikan kasus harian COVID-19 varian Omicron. Berdasarkan data dari Satgas Penanganan COVID-19 per Selasa, 1 Februari 2022, kasus harian COVID-19 menembus angka 16.021. Tiga provinsi yang diminta Jokowi agar melakukan evaluasi PTM yakni DKI Jakarta, Banten dan Jawa Barat. 

"Oke, kita sedang mengalami kenaikan Omicron. Tapi, titik komprominya jangan sampai mereka sama sekali tidak sekolah. Apa itu titik komprominya, paling tidak masih ada 50 persen siswa yang ikut PTM," ungkap Syaiful ketika dihubungi IDN Times melalui telepon, Rabu (2/2/2022). 

Kalau pun kebijakan PJJ harus ditempuh, hal itu harus dijadikan opsi terakhir. Ia menambahkan, kebijakan pembukaan atau penutupan sekolah seharusnya mengikuti situasi pandemik di daerah yang bersangkutan. 

"Bila kasus Omicronnya masih bisa ditoleransi karena tergolong rendah, PTM-nya tetap harus dilaksanakan sampai dengan 50 persen," kata dia. 

Syaiful menyebut anak-anak sudah kehilangan suasana sekolah nyaris selama dua tahun. Lagi pula metode PJJ, kata dia, hanya efektif bagi 30 persen siswa. 

"Sisanya, fakta di lapangan, mereka tidak sekolah karena berbagai faktor ya," tutur dia lagi. 

Apa dampak nyata yang dirasakan ketika metode sekolah berubah selama hampir dua tahun pandemik COVID-19?

1. Kemampuan akademik anak-anak menurun karena pandemik COVID-19

Anggota Komisi X Usul PTM Tak Disetop Serentak di Semua SekolahSiswa mengikuti Pembelajaran Tatap Muka (PTM) di SDN 08 Kenari jakarta, Senin (3/1/2022). Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta resmi menerapkan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) dengan kapasitas 100 persen di seluruh sekolah dengan protokol kesehatan yang ketat (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay)

Syaiful menjelaskan salah satu dampak yang terasa nyata dari learning loss saat pandemik COVID-19 yakni kemampuan akademik mengalami kemunduran. Ia mengatakan banyak anak yang tetap naik kelas, tetapi kualitas kemampuan akademik sesungguhnya tak memenuhi. 

"Seperti di tahun ajaran baru, kan banyak anak kita yang naik kelas. Dari yang duduk di kelas dua naik ke kelas tiga, semula di kelas tiga ke kelas empat. Tetapi, secara kualitas, meski dia naik kelas misalnya dari kelas empat ke lima, tetapi secara kemampuan mereka masih ada di kelas empat atau bahkan di kelas tiga. Mereka diberi pengecualian karena pandemik COVID-19," tutur Syaiful menjelaskan. 

"Bahkan, kemampuannya bisa dua tingkat di bawah karena orang tua tidak bisa menggantikan posisi guru. Situasinya lebih buruk bila siswa tak memiliki ponsel, pulsa, sinyal dan peralatan lainnya. Itu yang kami khawatirkan," kata dia. 

Oleh sebab itu, Komisi X sepakat dengan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) pada Januari 2022, agar PTM 100 persen harus dilaksanakan. Namun, dalam rapat kerja, Komisi X memberikan catatan bagi Kemendikbudristek ketika PTM dijalankan 100 persen. Kemendikbudristek, kata Syaiful, diminta untuk memimpin dan berinisiatif seandainya kasus COVID-19 kembali melonjak. 

"Saya kurang pas bila semuanya diserahkan kepada Satgas Penanganan COVID-19. Misalnya, di dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri disebut PTM bisa disetop sementara atau dibuat 50 persen, bila level PPKM di daerahnya lebih tinggi dari 1 dan 2. Saya berharap Kemendikbud yang justru lebih pro aktif membuat langkah mitigasi di daerah-daerah yang kasus Omicronnya mulai tinggi," tutur dia. 

Alih-alih dilakukan mitigasi, tiba-tiba Presiden Jokowi yang mengumumkan agar dilakukan evaluasi di DKI Jakarta, Banten dan Jawa Barat. Menurut Syaiful, yang seharusnya mengumumkan adalah Mendikbudristek Nadiem Makarim. 

"Saya melihatnya Kemendikbud terlihat pasif dan menyerahkan ke pemerintah pusat serta daerah, terkait perubahan status level PPKM," katanya. 

Baca Juga: Pakar Hukum: Statuta UI yang Baru Ancam Kebebasan Akademik

2. Penularan kasus Omicron mayoritas terjadi di luar sekolah

Anggota Komisi X Usul PTM Tak Disetop Serentak di Semua SekolahIlustrasi anak-anak (IDN Times/Ayu Afria)

Syaiful menyebut saat ini sangat sedikit sekolah yang menjadi klaster COVID-19 varian Omicron. Mayoritas anak tertular COVID-19 saat berada di luar sekolah.

"Saya tetap optimistis (PTM harus terus berjalan), karena guru juga ingin mengajar langsung, apalagi anak-anak sekolah langsung, begitu juga dengan orang tua agar anaknya bisa tatap muka di sekolah, maka saya mendorong Kemendikbud dan pemda agar mencari praktik baik di tengah lonjakan Omicron. Saya mengistilahkannya gas-rem, sehingga bisa ada simulasi dari praktik pembelajaran yang terbaik," kata Syaiful. 

"Intinya, tujuan dari ini semua, jangan sampai anak-anak tidak sekolah," tutur dia. 

Syaiful keberatan bila hasil dari evaluasi yang dilakukan pemda lalu mengalihkan sistem pembelajaran kembali ke PJJ. Sebab, metode PJJ hanya efektif bagi 30 persen anak sekolah. 

"Faktornya banyak ya karena ketersediaan sarana dan pra sarana, metode pembelajaran yang belum menemukan modelnya, orang tua yang belum bisa menggantikan peran guru di rumah, dan masih banyak lagi," ujarnya. 

Ia kemudian memaparkan berdasarkan hasil survei yang dilakukan Kemendikbudristek, pandemik jelas membawa kemunduran di dunia pendidikan. Hal itu terlihat dari hasil kemampuan literasi anak yang sebelum pandemik ada di angka 139, lalu anjlok menjadi 79 akibat pandemik COVID-19. 

Kemudian, kemampuan peserta didik terkait numerasi (angka) sebelum COVID-19 juga mengalami penurunan yang cukup tinggi. "Jadi, seolah-olah selama hampir dua tahun, anak-anak itu sudah tidak sekolah," kata Syaiful. 

3. Jumlah anak yang terinfeksi Omicron di Indonesia mencapai 14 persen

Anggota Komisi X Usul PTM Tak Disetop Serentak di Semua Sekolahilustrasi varian baru COVID-19, Omicron (IDN Times/Aditya Pratama)

Sementara, berdasarkan data dari Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kemenkes Siti Nadia Tarmizi, jumlah anak yang terinfeksi Omicron mencapai 14 persen dari 2.500an kasus Omicron di Indonesia. Itu sebabnya, pemerintah mendorong agar anak usia 6-11 tahun segera divaksinasi COVID-19. 

"Saya diinformasikan angka (anak yang terinfeksi) 14 persen dari total kasus Omicron," ungkap Nadia kepada IDN Times melalui pesan pendek pada Selasa kemarin. 

Tiga merek vaksin dianggap sudah aman untuk diberikan bagi anak yakni Sinovac, Sinopharm dan Pfizer.  Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyebut berdasarkan hasil uji klinis, efek samping yang muncul akibat vaksinasi serupa dengan kelompok anak usia 11 sampai 17 tahun.

Laporan tersebut juga menunjukkan imunogenisitas atau kemampuan vaksin dalam memicu respons imun tubuh lebih besar dibandingkan orang dewasa. Imunogenisitas pada anak mencapai 96,15 persen berbanding dengan dewasa 89,04 persen. 

Baca Juga: Praktisi Minta Guru Ubah Cara Pandang Pembelajaran Usai Pandemik

Topik:

  • Jihad Akbar

Berita Terkini Lainnya