BPOM: 20 dari 28 Relawan Uji Klinis I Vaksin Nusantara Alami KTD

Tercatat ada enam relawan yang mengalami KTD tingkat 3

Jakarta, IDN Times - Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) akhirnya mengungkap laporan hasil uji klinis I Vaksin Nusantara yang digagas oleh mantan menteri kesehatan Terawan Agus Putranto. Pernyataan tertulis yang disampaikan oleh Kepala BPOM Penny K. Lukito disampaikan pada Rabu (14/4/2021), bersamaan dengan langkah anggota DPR yang tetap ingin jadi relawan vaksin itu di RSPAD Gatot Subroto. 

Wakil Ketua Komisi IX dari Fraksi Partai Golkar Melki Laka Lena mengatakan, ia bersedia jadi relawan lantaran prosedur penelitian Vaksin Nusantara diklaim sudah diperbaiki. Namun, keterangan berbeda justru diperoleh BPOM.

Juru Bicara Vaksinasi BPOM Lucia Rizka Andalusia membantah pihaknya sudah menerima laporan perbaikan mengenai metode uji klinis. Hal itu ditandai hingga kini pihaknya belum memberi lampu hijau untuk uji klinis tahap kedua Vaksin Nusantara. 

Sementara, di dalam laporan setebal tujuh halaman yang dirilis BPOM hari ini, menunjukkan 20 dari 28 relawan uji klinis tahap I Vaksin Nusantara mengalami Kejadian Tidak Diinginkan (KTD). KTD itu berada di tingkat I dan II. 

"Kejadian Tidak Diinginkan (KTD) yang terjadi adalah nyeri lokal, nyeri otot, nyeri sendi, nyeri kepala, penebalan, kemerahan, gatal, petechiae (muncul bercak berwarna ungu, cokelat atau merah di kulit), lemas, mual, batuk, demam, pilek dan gatal," ungkap Penny dalam laporan itu. 

Namun, di dalam laporan itu, Penny juga menjelaskan adanya KTD lain yang lebih parah yang dialami oleh relawan. Tercatat ada enam relawan yang mengalami KTD tingkat 3. 

"Satu subyek mengalami hipernatremia (kadar natrium terlalu tinggi di dalam darah), dua subyek mengalami peningkatan blood urea nitrogen (kadar urea nitrogen dalam darah), dan tiga subyek mengalami peningkatan kolesterol," tutur dia. 

Penny mengatakan, idealnya di dalam protokol uji klinik, ketika ditemukan ada relawan yang mengalami KTD tingkat tiga, maka uji klinis seharusnya dihentikan. Namun, hal itu justru tak dilakukan oleh para peneliti di RSUP dr. Kariadi Semarang. 

BPOM juga menemukan pelanggaran kritis lainnya yang terjadi saat uji klinis tahap I Vaksin Nusantara. Apa itu?

1. Uji klinis yang melibatkan manusia tak diawasi komite etik RSUP dr. Kariadi

BPOM: 20 dari 28 Relawan Uji Klinis I Vaksin Nusantara Alami KTDIlustrasi pengunjung di RSUP dr. Kariadi Semarang. ANTARA FOTO/Aji Styawan

Di dalam rapat kerja dengan Komisi IX beberapa waktu lalu, Penny sempat menjelaskan uji klinis yang melibatkan 28 relawan itu dilakukan di RSUP dr. Kariadi, Semarang. Tetapi, di dokumen yang diajukan ke BPOM, komite etiknya justru berada di RSPAD Gatot Subroto. Menurut Penny, ini bentuk pelanggaran yang fatal sebab tugas utama dari komite etik yakni mengawasi hak dan keamanan relawan sebagai subyek penelitian. 

"Tidak ada notifikasi dan protokol kepada komite etik di RSUP dr. Kariadi terkait penelitian ini, sehingga tidak ada kajian dari komite etik setempat," ungkap Penny. 

BPOM, kata Penny, sempat mewawancarai Ketua Komite Etik RSUP dr. Kariadi di Semarang. Ia mengakui, melakukan pengawasan di saat pengisian informed consent atau pengisian data-data dan kesediaan untuk menjadi relawan Vaksin Nusantara. 

"Tetapi, ia tidak melakukan kajian dan pengawasan terhadap keamanan subyek selama penelitian," kata dia lagi. 

Epidemiolog dari Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono mengatakan, tidak konsistennya komite etik dengan pelaksanaan uji klinis bisa membahayakan relawan yang mengikuti kegiatan tersebut. Sebab, bila terjadi sesuatu, maka relawan tak bisa meminta pertanggung jawaban kepada RSUP dr. Kariadi. 

Baca Juga: Fakta soal Vaksin Nusantara, Diinisiasi Terawan dan Ditolak Para Ahli

2. Hasil uji klinis tidak valid karena merekrut relawan yang sudah punya antibodi COVID-19

BPOM: 20 dari 28 Relawan Uji Klinis I Vaksin Nusantara Alami KTDInfografis Vaksin Nusantara. (IDN Times/Sukma Shakti)

Di dalam laporan itu juga diungkap bahwa tim peneliti melakukan pelanggaran lain yang juga fatal. Mereka merekrut relawan yang sudah mempunyai antibodi COVID-19 di dalam tubuhnya. 

"Hal tersebut jelas tidak sesuai dengan protokol dan menyebabkan hasil yang tidak valid," ungkap Penny. 

Tujuan dilakukan uji klinis vaksin untuk mengetahui berapa besar antibodi yang bisa dihasilkan usai disuntikan vaksin tersebut. Hal itu yang akan diketahui di uji klinis tahap kedua. 

Sementara, empat minggu usai penyuntikan Vaksin Nusantara, 3 dari 28 relawan mengalami peningkatan antibodi lebih dari 4X. Namun, 8 dari 28 relawan justru mengalami penurunan antibodi empat minggu usai penyuntikan Vaksin Nusantara. Antibodinya lebih rendah bila dibandingkan sebelum disuntikan Vaksin Nusantara. 

"Tiga subyek yang mengalami peningkatan titer antibodi >4X tersebut yaitu dua subyek yang terdapat pada kelompok vaksin dengan kadar antigen 0.33 mcg dan adjuvant (substansi yang memperkuat respons imun) 500 mcg. Selain itu, 1 subyek terdapat pada kelompok vaksin dengan kadar antigen 1.0 mcg dan adjuvant 500 mcg. Hal tersebut menunjukkan peningkatan kadar titer antibodi dipengaruhi oleh peningkatan konsentrasi adjuvant, bukan karena peningkatan kadar antigen," tutur dia lagi. 

3. Peneliti utama Vaksin Nusantara dari Indonesia tak bisa jawab pertanyaan BPOM

BPOM: 20 dari 28 Relawan Uji Klinis I Vaksin Nusantara Alami KTDKepala BPOM, Penny K. Lukito (Tangkapan layar YouTube komisi IX DPR)

Hal lain yang menjadi catatan Penny selaku Kepala BPOM yaitu, semua pertanyaan yang dilayangkan saat sesi hearing dengan tim ahli malah dijawab oleh peneliti dari AIVITA Biomedica Inc, Amerika Serikat. Padahal, peneliti itu tidak tertulis namanya di dalam protokol penelitian. 

"Peneliti utama yaitu Dr. Djoko (RSPAD Gatot Subroto) dan dr. Karyana (Balitbangkes) tidak dapat menjawab proses-proses yang berjalan, karena tidak mengikuti jalannya penelitian," ujar Penny. 

Proses pembuatan vaksin sel dendritik, kata dia, bukan dilakukan oleh peneliti di dalam negeri, melainkan peneliti dari AIVITA Biomedica Inc, Amerika Serikat. Pihak AIVITA memang pernah memberikan pelatihan terhadap staf di RSUP dr. Kariadi, tetapi pelaksanaannya tetap dilakukan oleh peneliti asing. 

"Ada beberapa komponen tambahan dalam sediaan vaksin yang tidak diketahui isinya dan tim dari RS Kariadi tidak memahaminya," ungkap Penny lagi. 

Baca Juga: Komisi IX Bantah Ada Keputusan Jadi Relawan Vaksin Nusantara di RSPAD

Topik:

  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya