Komisi IX Bantah Ada Keputusan Jadi Relawan Vaksin Nusantara di RSPAD

"Itu keputusan individu, bukan kolektif Komisi IX"

Jakarta, IDN Times - Wakil Ketua Komisi IX DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Charles Honoris, membantah pernyataan yang beredar bahwa ada keputusan kolektif Komisi IX menjadi relawan vaksin Nusantara di RSPAD pada Rabu (14/4/2021). Menurut Charles, keputusan itu adalah pilihan individu anggota DPR dan tak bisa diatasnamakan keputusan komisi bidang kesehatan tersebut. 

"Komisi IX tidak pernah menyepakati secara kolektif untuk vaksinasi vaksin Nusantara," ungkap Charles melalui pesan pendek kepada IDN Times, Rabu (14/4/2021).

Ia menjelaskan saat ini situasi di DPR sedang memasuki masa reses. Sehingga, undangan penyuntikan vaksin COVID-19 Nusantara di RSPAD pun disampaikan secara personal melalui pesan pendek WhatsApp. 

"Undangan itu disampaikan oleh salah satu atau pimpinan Komisi IX, dan itu sifatnya undangan secara personal. Bukan kolektif mewakili kelembagaan Komisi IX DPR RI," tutur dia. 

Informasi adanya penyuntikan vaksin Nusantara kali pertama disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi IX dari Fraksi Partai Golkar, Melki Laka Lena. Ia mengatakan penelitian yang sifatnya terbatas itu tak membutuhkan izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). 

"Tapi ini kok sudah diatur macam akan memberikan EUA (Emergency Used Authorization). Kecuali kalau akan diproduksi massal dan dikonsumsi oleh publik, boleh BPOM menetapkan," kata Melki pada Selasa (13/4/2021) malam.

Apakah ada konsekuensinya tetap melakukan pemberian vaksin tanpa lampu hijau dari BPOM?

1. Selama ada kesepakatan antara peneliti dan pasien maka tak ada konsekuensi

Komisi IX Bantah Ada Keputusan Jadi Relawan Vaksin Nusantara di RSPADAnggota DPR Fraksi PDI Perjuangan Charles Honoris (istimewa)

Charles mengaku sudah sempat mengontak BPOM untuk menanyakan apakah ada konsekuensi apabila penyuntikan vaksin Nusantara yang tak diberi lampu hijau, tetap berjalan. Menurut BPOM, kata Charles, tak ada konsekuensi apa pun.

Namun, hal itu harus atas kesepakatan peneliti dan obyek penelitian yang menerima vaksin COVID-19. 

"Ini kan mungkin dianggap sebagai terapi, tetap bisa dijalankan," ungkap Charles. 

Namun, jika kegiatan pemberian vaksin menimbulkan dampak negatif hingga mengakibatkan kecacatan, maka tak menutup kemungkinan bisa menimbulkan konsekuensi hukum pidana atau gugatan perdata. Gugatan itu dialamatkan kepada peneliti vaksin Nusantara, yang dipelopori mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto. 

"Misalnya salah satu relawan mengalami kecacatan atau sakit parah, maka bisa saja partisipan melaporkan pihak peneliti secara pidana ke polisi atau melayangkan gugatan perdata," tutur dia.

Baca Juga: Sebagian Anggota DPR Uji Klinis Vaksin Nusantara di RSPAD Hari Ini

2. BPOM tak mempermasalahkan bila pemberian vaksin Nusantara hanya untuk penelitian

Komisi IX Bantah Ada Keputusan Jadi Relawan Vaksin Nusantara di RSPADInfografis Vaksin Nusantara. (IDN Times/Sukma Shakti)

Sementara, ketika dikonfirmasi, BPOM mengaku tak mempermasalahkan kegiatan pemberian vaksin Nusantara di RSPAD kepada anggota DPR. Proses yang dilakukan hari ini adalah melakukan pengambilan darah untuk dilakukan penelitian.

Juru bicara BPOM, dr Lucia Rizka Andalusia, mengatakan aktivitas itu tidak bisa digunakan lebih lanjut untuk memperoleh izin edar. 

"Kalau sebagai penelitian saja, tidak apa-apa. Asal tidak kemudian diminta menjadi produk yang diminta untuk izin edar," kata Lucia pada Rabu (14/4/2021). 

Bila yang diminta izin edar, maka BPOM masih menunggu kelengkapan dokumen Cara Pembuatan Obat yang baik (CPOB) dari tim peneliti vaksin Nusantara. Dokumen itu dibutuhkan untuk proses uji klinis tahap kedua.

BPOM sebelumnya memutuskan tak memberikan izin untuk uji klinis kedua lantaran ada banyak proses penelitian yang tidak sesuai kaidah. Mulai dari komite etik yang tak sesuai, proses produksi yang dilakukan oleh peneliti dari Amerika Serikat, hingga adanya komponen yang tidak layak disuntikan ke dalam tubuh manusia. 

Lucia pun membantah menghentikan penelitian vaksin Nusantara. Ia mengaku siap meninjau kembali vaksin Nusantara apabila persyaratan yang diminta BPOM sudah dipenuhi.

3. Formappi dorong anggota DPR terbuka sampaikan mereka jadi relawan vaksin

Komisi IX Bantah Ada Keputusan Jadi Relawan Vaksin Nusantara di RSPADPeneliti Formappi, Lucius Karus (IDN Times/Marisa Safitri)

Sementara, peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus mengatakan, anggota DPR seharusnya terbuka dengan menyebut aktivitas yang dilakukan hari ini merupakan bagian dari uji klinis. Sehingga, mereka menjadi relawan uji klinis bukan penerima vaksin Nusantara. Sebab, vaksin Nusantara menurut BPOM belum memenuhi syarat untuk diproduksi. 

"Saya kira harus jelas komunikasi dan informasi yang disampaikan oleh anggota DPR. Mereka justru harus tegas mengatakan bahwa mereka jadi relawan Vaksin Nusantara," ungkap Lucius yang dihubungi pada Rabu (14/4/2021) pagi. 

Menurutnya, penyampaian informasi dari DPR yang tidak lengkap akan membuat publik bingung, dan seolah-olah menciptakan persepsi vaksin itu sudah bisa diberikan ke anggota parlemen. Dia juga wanti-wanti dalam situasi pandemik seperti ini, anggota DPR memiliki tanggung jawab moral untuk ikut mencari solusi, bukan memberikan masalah baru. 

"Jangan memancing kebingungan publik dengan tindakan mereka karena alih-alih memberikan solusi, mereka malah membuat permasalahan semakin rumit," tutur dia. 

Lucius berharap agar kesediaan anggota DPR menjadi relawan vaksin Nusantara merupakan bentuk intervensi kepada BPOM. Apalagi, BPOM menilai vaksin yang disponsori perusahaan farmasi Amerika Serikat tersebut belum memenuhi standar kesehatan. 

Baca Juga: Fakta soal Vaksin Nusantara, Diinisiasi Terawan dan Ditolak Para Ahli

Topik:

  • Jihad Akbar

Berita Terkini Lainnya