ICJR: Lapas Overcrowding Gegara Mudahnya Jebloskan Orang ke Penjara
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati, mengatakan penyebab lembaga pemasyarakatan (Lapas) mengalami overcrowding atau kepadatan penghuni adalah karena mudahnya menjebloskan individu ke penjara. Salah satu perkara yang menyebabkan orang mudah dibui adalah kasus narkotika.
Maidina menyebut mayoritas narapidana yang saat ini berada di Lapas karena terlibat kasus narkotika. Misalnya, mayoritas penghuni Lapas Klas I Tangerang yang terbakar pada dini hari tadi pun merupakan napi kasus narkotika.
Padahal, ia menilai sebagian besar dari napi itu merupakan pengguna narkotika rekreasional yang tak perlu dibui. Mereka bisa dipulihkan dengan cara rehabilitasi.
"Karena masalah utamanya mayoritas penghuni Lapas itu pengguna nakotika. Angkanya mencapai 50 prsen dari jumlah penghuni di suatu Lapas. Padahal, seharusnya di dalam undang-undang itu ada ketentuan alternatif selain pemenjaraan bagi kasus narkotika," ujar Maidina ketika dihubungi IDN Times pada Rabu (8/9/2021).
Menurut Maidina, perlu ada seruan khusus yang datang dari Presiden Joko "Jokowi" Widodo bahwa kasus narkotika tak semuanya harus menggunakan pidana penjara.
"Selain itu, perlakuan terhadap pengguna narkotika tidak semuanya harus ditempatkan dalam lembaga tertentu seperti rumah sakit atau tempat rehabilitasi. Mereka juga bisa rawat jalan," tutur dia.
Berdasarkan penelitian yang dikutip ICJR, dari sembilan pengguna narkotika hanya satu yang punya problematik misalnya ada ketergantungan. Sisanya, tidak akan menimbulkan dampak berat seperti adiksi.
Maidina pun yakin hampir separuh kapasitas Lapas akan lebih longgar bila pelaku yang terlibat kasus narkotika tidak semuanya dijebloskan ke penjara. Tetapi, sayangnya kebijakan tersebut tidak diterapkan, sehingga jumlah napi yang masuk ke Lapas tetap jauh lebih banyak ketimbang napi yang keluar.
Lalu, apakah tidak ada prosedur khusus di Lapas yang bisa digunakan bila terjadi bencana?
1. Jumlah petugas lapas yang mengawasi napi sudah tidak berimbang
Sebelumnya, di dalam jumpa pers, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Yasonna Laoly mengakui kondisi di Lapas Klas I Tangerang mengalami kelebihan penghuni. Jumlahnya mencapai 400 persen.
Idealnya Lapas Klas I Tangerang hanya dihuni 600 napi. Tapi, faktanya Lapas tersebut dijejali lebih dari 2.072 warga binaan.
Menurut Maidina, jumlah napi yang melebihi kapasitas menimbulkan berbagai masalah. Pertama, fokus pembinaan bagi napi tidak akan bisa berjalan optimal. Sebab, fokus pemerintah hanya ingin mengeluarkan napi sebanyak-banyaknya agar Lapas tidak penuh.
Kedua, jumlah petugas Lapas yang mengawasi napi juga tidak berimbang. Alhasil, bila terjadi bencana, petugas Lapas tidak bisa memberikan bantuan secara maksimal.
"Idealnya di dalam Lapas, satu pegawai mengawasi lima napi. Tetapi, di lapangan satu pegawai mengawasi 45 napi. Jumlah pegawai akan semakin menyusut karena mereka bekerja dengan sistem shift. Itu artinya satu petugas bisa memberikan pengawasan buat ratusan napi," ungkap Maidina.
Keterbatasan jumlah SDM ini diyakini juga yang menyebabkan napi yang dapat diselamatkan dari peristiwa kebakaran minim. Maka, 40 orang meninggal di tempat dan satu orang lainnya kehilangan nyawa ketika dibawa ke rumah sakit.
Baca Juga: Presiden Harus Evaluasi Menkumham soal Kebakaran Maut Lapas Tangerang
2. ICJR mempertanyakan prosedur evakuasi bila terjadi bencana
Maidina pun mengatakan Direktorat Jenderal Lembaga Pemasyarakatan Kemenkumham memang memiliki prosedur bila terjadi bencana. Tetapi, prosedur itu sangat sederhana.
"Ketika terjadi kebakaran, maka petugas akan memberikan tanda bahaya. Ketika petugas membutuhkan bantuan, maka mereka bisa berkoordinasi dengan aparat. Itu kan cukup sederhana secara substansi," kata Maidina.
Padahal menurutnya prosedur tidak bisa sesederhana itu. Sebab, ketika ada proses evakuasi maka harus mempertimbangkan kondisi dan denah bangunannya.
"Ini memang harus kita pertanyakan kepada Ditjen PAS," tutur dia.
Ia menilai prosedur mitigasi untuk menghadapi bencana pun tidak diikuti. Hal itu terbukti ketika terjadi gempa bumi di Palu, Sulawesi Tengah, pada 2018.
Menurut keterangan dari pihak kepolisian, ada 1.420 napi yang kabur dari Lapas ketika gempa berkekuatan magnitudo 7,4 mengguncang Palu dan Donggala. Tetapi, menurut mereka, ada yang sengaja dibiarkan kabur agar bisa menyelamatkan diri dari gempa.
3. 41 napi tewas karena tak mampu diselamatkan petugas Lapas
Di tempat terpisah, Yasonna menjelaskan napi di Lapas Klas I Tangerang tewas karena mereka terkunci di dalam selnya. Petugas Lapas, kata dia, tidak sanggup menerjang api untuk melakukan evakuasi terhadap semua napi di blok C2.
Ia menerangkan petugas Lapas mulai menyadari api mulai melalap sel sekitar pukul 01.45 WIB. Petugas Lapas kemudian langsung menghubungi petugas lainnya di bagian depan dan ditindaklanjuti dengan mengontak petugas pemadam kebakaran.
"13 menit kemudian sesudah ditelepon, 12 mobil pemadam kebakaran datang," kata pria yang juga politikus PDI Perjuangan itu ketika memberikan keterangan pers.
Ia menambahkan api berhasil dipadamkan dalam kurun waktu kurang dari 90 menit. Sayangnya, dalam kurun waktu itu, api sudah menyambar beberapa sel.
"Protap lapas, (sel) itu memang harus dikunci. Ketika diketahui (kebakaran), petugas langsung berusaha melakukan evakuasi, tapi api sudah meluas," tutur dia.
Ia mengatakan di blok C2 ada 80 napi yang berhasil diselamatkan. Sedangkan, 40 napi meninggal di lokasi dan satu korban lagi kehilangan nyawa ketika dibawa ke rumah sakit.
Kemenkumham juga menyediakan hotline bagi keluarga korban untuk mencari informasi. Nomor yang bisa dihubungi yakni 0813 83557 758.
Baca Juga: [BREAKING] Menkumham Sebut Kapasitas Lapas Tangerang Lebih hingga 400 Persen