Ketua KPK Dinilai Langgar Putusan MK Bila Pecat Staf karena Gagal Tes

MK putuskan peralihan pegawai jadi ASN tak boleh merugikan

Jakarta, IDN Times - Ahli hukum bidang perundang-undangan dari Universitas Brawijaya, Malang, Aan Eko Widiarto mengatakan, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Komjen (Pol) Firli Bahuri akan melanggar putusan Mahkamah Konstitusi bila tetap berkukuh memberhentikan para pegawainya. Puluhan pegawai komisi antirasuah disebut-sebut akan dipecat karena tak lolos tes Wawasan Kebangsaan sebagai syarat beralih menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). 

"Itu bertentangan sekali dengan putusan hakim MK (yang disampaikan pada 4 Mei 2021). Pengangkatan itu (menjadi ASN) merupakan amanat dari UU KPK yang baru Nomor 19 Tahun 2019, di mana seluruh pegawainya harus diangkat menjadi ASN," ungkap Aan ketika dihubungi IDN Times melalui telepon, Rabu (5/5/2021). 

Ia menjelaskan, pegawai komisi antirasuah beralih menjadi ASN demi mematuhi ketentuan UU KPK yang sudah direvisi. Itu tertuang di dalam Pasal 1 ayat 6 UU KPK yang berbunyi "pegawai KPK adalah ASN." Itu, kata dia, bukan pilihan dari pegawai yang bersangkutan untuk menjadi ASN. 

"Ketika ASN demi UU, maka seharusnya prosesnya pun juga demi UU. Tidak boleh ada proses yang menghambat mereka untuk bisa menjadi ASN dan itu diperkuat dengan putusan MK kemarin. Jangan sampai beralihnya mereka menjadi ASN malah menyebabkan mereka tidak memperoleh pekerjaan atau kepangkatannya turun," tutur dia lagi. 

Lalu, opsi apa yang dimiliki oleh para pegawai KPK bila pimpinan tetap berkukuh memberhentikan mereka dengan alasan tak lolos tes wawasan kebangsaan?

1. Proses penertiban pegawai yang memiliki ideologi berbeda sebaiknya dilakukan usai jadi ASN

Ketua KPK Dinilai Langgar Putusan MK Bila Pecat Staf karena Gagal TesDok. Biro Humas KPK

Menurut Aan, alih-alih melakukan proses seleksi di tahap awal sebelum menjadi ASN, lebih baik semua pegawai komisi antirasuah tidak dipersulit beralih jadi pegawai negeri. Bila ditemukan pelanggaran ketika sudah menjadi ASN, seperti memiliki ideologi kanan atau kiri, maka bisa ditindak dengan menggunakan UU ASN yang berlaku. Di dalam aturan tertulis itu, ada banyak nilai yang harus dipegang oleh seorang ASN. 

"Nilai-nilai yang ada di dalam UU ASN itu mulai dari memegang teguh ideologi Pancasila, setia mempertahankan UUD 1945, mengabdi kepada negara dan aturan lainnya yang berjejer hingga poin O yaitu meningkatkan sistem pemerintahan yang demokratis sebagai perangkat sistem karier," ujar pria yang juga menjabat sebagai Wakil Dekan Bidang Umum dan Keuangan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya itu. 

Ia menilai, tidak ada jaminan proses screening yang dilakukan di awal peralihan menjadi ASN, maka dapat memastikan pegawai itu tak berubah melakukan perbuatan radikal. "Itu kan bukan logika yang linear," tutur dia. 

Dalam beberapa kasus, banyak ASN yang tidak diketahui sudah terpapar paham ekstremisme. Aan juga menilai perlakuan berbeda malah dirasakan oleh para ASN yang semula berstatus eselon III dan IV. Sesuai dengan instruksi Presiden Joko "Jokowi" Widodo, posisi itu dihapuskan agar struktural menjadi ramping. 

Para ASN di posisi itu yang semula berkedudukan jabatan administratur lalu berubah menjadi jabatan fungsional. "Seharusnya, bila aturannya memperlakukan semua ASN sama, seharusnya mereka juga melalui proses screening tadi," ungkapnya. 

Berdasarkan data dari Kementerian Pendayagunaan dan Aparatur Negara, kebijakan baru Jokowi tadi akhirnya memangkas 39 ribu jabatan ASN. "Tapi, kan proses screening itu tidak ada. Menpan-RB tiba-tiba langsung mengeluarkan surat untuk menetapkan SK bagi mereka yang semula duduk di jabatan administratur ke jabatan fungsional. Itu tanpa proses apapun," ujarnya. 

Baca Juga: Hari Ini KPK Umumkan Hasil Tes Wawasan Kebangsaan Pegawainya

2. Tes wawasan kebangsaan pegawai KPK mirip screening di era Orde Baru

Ketua KPK Dinilai Langgar Putusan MK Bila Pecat Staf karena Gagal TesSejumlah Aparatur Sipil Negara (ASN) Pemprov NTB bersiap mengikuti apel pagi di Kantor Gubernur NTB di Mataram, NTB, Senin (28/12/2020). ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi

Aan juga menjelaskan, proses peralihan ASN yang dialami oleh pegawai KPK mirip seperti yang terjadi di era Orde Baru di tahun 1960-an hingga 1970-an. Ketika itu orang-orang yang ingin menjadi ASN akan diseleksi untuk mencari tahu apakah mereka bersimpati terhadap paham komunis. 

"Jadi, kalau ada sangkut pautnya dengan komunis, pasti akan dicoret. Mau sepinter apapun individu tersebut," ujar Aan. 

Sementara, di era sekarang, seleksi dilakukan untuk mencari bila ada yang terpapar paham radikalisme. "Jadi, mirip-mirip. Bila dulu mencoret yang tidak percaya Tuhan (Atheis), sekarang dicari yang kuat dalam ber-Tuhan dan jadi sasaran empuk," tutur dia. 

Ia mengaku bersyukur diangkat menjadi ASN di awal kemunculan era reformasi. Saat itu, banyak pihak yang sudah antipati terhadap proses screening ideologi. Proses screening itu, kata Aan, kerap dilakukan oleh penguasa untuk melabeli kelompok tertentu dan pihak tersebut harus memiliki pandangan yang sama dengan pemerintah.

"Kalau dulu kan bila PNS tidak berafiliasi dengan ABG (ABRI, Golkar dan Birokrat) ya sudah bisa dikandangkan (dipenjara). Modus itu sekarang kembali direplikasi," ungkapnya. 

Ia menduga pihak-pihak tertentu sudah memahami geopolitik yang terjadi di komisi antirasuah. Ada kelompok yang dilabeli Taliban dan yang tidak. Itu sebabnya dilakukan tes penerimaan ASN yang metodenya belum pernah digunakan. "Karena ingin menyisir yang radikal-radikal ini," katanya. 

3. Amnesty International Indonesia menilai tes wawasan kebangsaan jadi screening ideologi

Ketua KPK Dinilai Langgar Putusan MK Bila Pecat Staf karena Gagal TesIlustrasi gedung KPK (ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso)

Senada dengan Aan, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia (AII) Usman Hamid mengatakan, tes wawasan kebangsaan yang dilakukan pimpinan KPK terhadap para pegawainya untuk beralih jadi ASN, diduga sekadar dalih untuk menyingkirkan individu yang tak memiliki pandangan politik yang sama dengan pemerintah. Menurut dia, tes wawasan kebangsaan yang dijalani pegawai KPK terkesan diskriminatif. 

"Ini sama saja kembali mundur ke era pra-reformasi, tepatnya pada 1990 ketika setiap pegawai negeri harus melalui litsus atau penelitian khusus atau bersih lingkungan yang diskriminatif," kata Usman, Selasa kemarin. 

“Mendiskriminasi pekerja karena pemikiran dan keyakinan agama atau politik pribadinya, jelas merupakan pelanggaran atas kebebasan berpikir, berhati nurani, beragama dan berkeyakinan. Ini jelas melanggar hak sipil dan merupakan stigma kelompok yang sewenang-wenang," tutur Usman lagi. 

https://www.youtube.com/embed/-6vTWsJX4po

Baca Juga: Dikabarkan Tak Lolos Jadi ASN KPK, Novel: Upaya Singkirkan Orang Baik

Topik:

  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya