Klaim Vaksin Nusantara Ampuh Lawan Mutasi COVID-19 di Tengah Polemik

Dukungan DPR pada Vaksin Merah Putih justru lemah

Jakarta, IDN Times - Epidemiolog dari Universitas Griffith, Brisbane, Australia, Dicky Budiman, menyentil klaim sepihak yang disampaikan mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto, soal kemanjuran Vaksin Nusantara.

Dalam rapat kerja bersama Komisi VII pada Rabu, 16 Juni 2021, Terawan mengklaim vaksin berbasis sel dendritik itu ampuh menghadapi varian baru virus corona Delta yang lebih mematikan. 

"Gampang sekali, hanya butuh delapan hari. Antigennya tinggal saya ganti, kan itu antigen itu adalah rekombinan, jadi dari spike S, dia mutasi mana. Lalu, tinggal digabung-gabung saja dan ditambahi mutasi asal Inggris, India, dan Afrika Selatan," ungkap Terawan saat rapat tersebut di gedung DPR Senayan. 

Dalam rapat tersebut, bahkan Terawan menyebut tengah menyiapkan uji klinis tahap ketiga. Sedangkan, hasil dari observasi Badan Obat dan Pengawas Makanan (BPOM) menunjukkan tahap uji klinis satu, banyak kaidah ilmiah yang sudah tak dipenuhi tim peneliti Vaksin Nusantara. BPOM urung memberikan izin untuk uji klinis tahap kedua dan meminta agar tim peneliti mengulang kembali tahapannya dari pra klinis. 

Menurut Dicky, dalam dunia sains sangat tidak wajar klaim sepihak yang tidak didukung dengan data. "Itu (klaim sepihak) hanya ada di dunia politik atau jualan produk. Tapi, ketika berbicara vaksin bukan berbasis klaim. Klaim baru dapat disampaikan setelah ada riset atau uji klinis yang dilakukan peer review," ujar Dicky melalui pesan suara kepada IDN Times pada Jumat, 18 Juni 2021. 

Ia mengatakan, vaksin CoronaVac yang telah didistribusikan resmi oleh pemerintah saja belum memiliki data efektivitas di dunia nyata melawan mutasi baru corona varian Delta. "Apalagi Vaksin Nusantara. Vaksin AstraZeneca saja dianggap kurang efektif dibandingkan Pfizer yang messenger mRNA," tutur dia. 

Lalu, mengapa tiba-tiba Komisi VII mengundang Terawan dalam rapat kerja kemarin? Sebab, salah satu tujuan Terawan hadir untuk meminta dukungan politik agar timnya bisa melanjutkan uji klinis tahap III.

1. Terawan diundang dalam rapat Komisi VII karena kembangkan vaksin yang diklaim buatan dalam negeri

Klaim Vaksin Nusantara Ampuh Lawan Mutasi COVID-19 di Tengah PolemikIDN Times/Teatrika Putri

Wakil Ketua Komisi VII Eddy Soeparno mengatakan alasan komisinya mengundang Terawan lantaran ia tengah mengembangkan riset vaksin yang digadang-gadang bisa ikut mengatasi pandemik COVID-19. Selain Terawan, turut hadir Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Amin Soebandrio dan Ketua Konsorsium Riset dan Inovasi COVID-19 Ismunandar. 

"Kami ingin mengetahui sejauh mana progress dari pada penelitian vaksin-vaksin dalam negeri. Karena masalah riset berada di bawah Komisi VII. Intinya kami ingin mengetahui bagaimana perkembangan dari riset yang dibuat oleh anak bangsa," tutur Eddy saat dihubungi IDN Times, Kamis, 17 Juni 2021. 

Ia pun membantah Terawan sudah menyatakan keinginan bergabung dengan konsorsium vaksin nasional. Sebab, selama ini pengembangan Vaksin Nusantara menggunakan dana secara swadaya dan bukan anggaran negara. Dalam rapat dengan Komisi VII, Terawan mengklaim menggunakan dana pribadi mencapai Rp2 miliar. 

"Vaksin Nusantara itu dananya secara swadaya, Beliau juga bisa bekerja sendiri. Yang ingin disampaikan kepada kami adalah kemajuan penelitiannya sejauh mana dan kendala apa yang dihadapi," kata Eddy. 

Politikus dari Partai Amanat Nasional (PAN) itu juga sempat menyaksikan sendiri bagaimana proses demo pembuatan vaksin berbasis sel dendritik. Sebab, Terawan ikut membawa peralatan medis ke ruang rapat. 

"Tetapi, tidak ada penolakan juga yang disampaikan oleh Beliau agar tak masuk dalam konsorsium vaksin nasional. Jadi, ibaratnya tidak ada pembahasan detail ke sana," ujar Eddy. 

Sementara, Ketua Konsorsium Riset dan Inovasi COVID-19 Ismunandar, tak menutup pintu kepada siapa saja bisa masuk ke dalam konsorsium tersebut. "Tetapi, harus ada penyampaian niat dulu untuk bergabung. Kemudian, secara internal akan ada pemantauan dan evaluasi," kata dia. 

Baca Juga: Dukung Kelanjutan Vaksin Nusantara, Komisi VII Siap Patungan Rp10 Juta

2. Epidemiolog sayangkan dukungan terhadap Vaksin Merah Putih minim

Klaim Vaksin Nusantara Ampuh Lawan Mutasi COVID-19 di Tengah PolemikIlustrasi vaksin COVID-19 (IDN Times/Arief Rahmat)

Dicky juga sempat menyayangkan mengapa anggota parlemen tak begitu ngotot dan kekeh mendukung pengembangan Vaksin Merah Putih yang dikembangkan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman. Padahal, vaksin COVID-19 itu lebih mengikuti kaidah sains. 

"Situasi COVID-19 ini kan potensi akan berlangsung dalam jangka panjang. Seharusnya ini yang lebih didukung, karena masih banyak pekerjaan rumah mengenai risetnya," ujarnya. 

Sedangkan, menurut Ismunandar, Vaksin Merah Putih akan rampung pada 2022. Ismunandar pun berharap vaksin produksi dalam negeri itu juga memiliki manfaat  melawan varian baru COVID-19. 

"Tapi, hasil atau buktinya ya tentu nanti setelah kita punya vaksinnya," kata dia. 

Sedangkan, Kepala Lembaga Eijkman Amin Soebandrio mengatakan pihaknya akan terus memantau perkembangan mutasi baru Sars-CoV-2 yang kini beredar di tanah air. Bila diperlukan, vaksin-vaksin yang kini tengah dikembangkan disesuaikan dengan varian yang ada. 

"Apabila memang dianggap perlu untuk melakukan penyesuaian, maka vaksin itu bisa disesuaikan agar bisa cover varian-varian baru yang beredar," tutur Amin. 

3. Keterlibatan BPOM dalam setiap pengembangan vaksin dibutuhkan

Klaim Vaksin Nusantara Ampuh Lawan Mutasi COVID-19 di Tengah PolemikCatatan minus Vaksin Nusantara dari BPOM (IDN Times/Sukma Shakti)

Dicky menegaskan dalam setiap pengembangan vaksin, tetap dibutuhkan kehadiran BPOM. Apalagi kini, Terawan tetap berencana memproduksi massal Vaksin Nusantara. Meski, hasil evaluasi uji klinis tahap I yang dilakukan BPOM menunjukkan vaksin tersebut tak memenuhi kaidah ilmiah. 

"Sangat harus melibatkan BPOM. Apa rujukan yang bisa mengeluarkan BPOM karena yang diberi amanat oleh undang-undang ya BPOM. Kalau tidak melibatkan BPOM, berarti (pengembangan vaksinnya) ilegal dan tidak bisa dipertanggung jawabkan hasil produknya, baik secara ilmiah maupun secara regulasi," kata dia. 

Dicky juga menegaskan meski tujuan pengembangan vaksin sel dendritik tidak untuk kepentingan komersial, peran BPOM tetap tak bisa dihilangkan.

Sementara, Eddy mengakui Komisi VII tidak bisa menganjurkan agar BPOM memberikan izin bagi uji klinis ketiga. Itu sebabnya Komisi VII menggagas adanya rapat gabungan antara Komisi I, Komisi VI, Komisi IX dan Komisi XI. 

"Tujuannya agar kita dapat mengurai permasalahan-permasalahan yang terdapat dalam pengembangan vaksin dalam negeri," kata Eddy. 

Ia juga menepis Komisi VII tak memperhatikan pengembangan Vaksin Merah Putih. Justru, ia mengaku prihatin anggaran pengembangan Vaksin Merah Putih yang kecil, sehingga jadi penghambat dalam realisasi produksi vaksin tersebut. 

Baca Juga: Diakui Bukan Program TNI, Penelitian Vaksin Nusantara Tetap di RSPAD

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya