LaporCovid19: Pemerintah Harus Minta Maaf, Akui Karut Marut Pandemik

"Akhiri komunikasi bahwa kita sedang baik-baik saja"

Jakarta, IDN Times - Inisiator LaporCovid19, Irma Hidayana mendesak pemerintah untuk meminta maaf kepada rakyat lantaran tidak berusaha secara maksimal menangani pandemik. Bila kilas balik ke belakang, pemerintah sempat menyangkal dan meremehkan bahaya COVID-19. Kini, 16 bulan berlalu sikap tak berbeda juga masih ditunjukkan. 

"Kami mohon diakui bahwa di lapangan memang terjadi (fasilitas kesehatan sudah kolaps). Bila pemerintah terus membantah dengan menjawab bahwa kami sudah mengkonversi beberapa rumah sakit umum menjadi rumah sakit COVID-19, sementara di lapangan keluarga berjuang luar biasa untuk mendapatkan bantuan agar bisa dirawat di rumah sakit," kata Irma dalam diskusi virtual yang digelar oleh LP3ES Jakarta dan tayang di YouTube pada Senin, 5 Juli 2021 lalu. 

Pernyataan Irma tersebut untuk merespons komentar yang disampaikan oleh Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kemenkes, dr. Siti Nadia Tarmizi yang berisi fasilitas kesehatan di Indonesia belum kolaps akibat lonjakan pasien COVID-19. Ia justru mengaku pemerintah terkesan tidak berempati kepada keluarga korban yang meninggal karena kesulitan memperoleh fasilitas kesehatan. 

Irma mengatakan pemerintah seharusnya tak lagi berpatokan kepada data keterisian tempat tidur (BOR) milik Kemenkes yang perbaruan datanya tak real time. "Ketika kami melihat data Sistem Informasi Rawat Inap (Siranap) dan data di Dinkes terlihat ada bed yang kosong, tapi ketika dihubungi ternyata penuh," tutur dia. 

Sehingga, data yang ada di sistem pemerintah tidak nyambung dengan kondisi di lapangan. Sebab, kini ruang perawatan di rumah sakit rujukan COVID-19 memang penuh. 

"Pemerintah malah menggunakan data ini (yang tidak update). Data yang hanya berupa angka statistik dan bukan refleksi situasi di lapangan," ujarnya lagi. 

Lalu, apa yang bisa dilakukan oleh pemerintah untuk memperbaiki situasi?

1. LaporCovid19 tegaskan Indonesia tidak sedang dalam keadaan baik-baik saja

LaporCovid19: Pemerintah Harus Minta Maaf, Akui Karut Marut PandemikInisiator LaporCovid19, Irma Hidayana ketika mengikuti diskusi virtual LP3ES (Tangkapan layar YouTube LP3ES)

Dalam diskusi itu, Irma menyentil pola komunikasi yang diterapkan oleh pemerintah dengan dalih agar tak menciptakan kepanikan di ruang publik. Padahal, kondisinya saat ini angka kematian akibat COVID-19 terus melonjak. 

"Kita tidak sedang baik-baik saja karena pencitraan yang menjelaskan bahwa kita sedang baik-baik aja itu hanya menumbuhkan ketidakwaspadaan masyarakat," ujar Irma. 

Ia menambahkan tidak ingin publik kembali disalahkan oleh pemerintah lantaran dianggap tak mematuhi protokol kesehatan. Publik, kata Irma, akan bersikap tidak terjadi apa-apa, bila pemerintah terus menggaungkan bahwa situasi saat ini tak darurat. 

Ia pun juga menolak bila harus diajak mengikhlaskan kekeliruan yang terjadi di masa lalu dan fokus mencari solusi untuk atasi pandemik saat ini. "Tidak bisa, karena apa yang terjadi saat ini merupakan buah dari ketidakberhasilan penanganan pandemik di masa lalu," tutur dia lagi. 

"Jadi, mari kita akui bahwa situasi sudah karut-marut, minta maaf dan memberikan bantuan konkret," ujarnya. 

Baca Juga: Kemenkes Bantah Faskes Kolaps, LaporCovid19: Jangan Disangkal Pak Budi

2. Tiga kegagalan pemerintah dalam mengatasi pandemik COVID-19

LaporCovid19: Pemerintah Harus Minta Maaf, Akui Karut Marut PandemikDosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Herlambang P. Wiratraman (Tangkapan layar YouTube LP3ES)

Di dalam diskusi itu, pengajar di Universitas Airlangga Herlambang P. Wiratraman turut mengakui bahwa negara tidak ikut hadir dalam upaya penyelamatan hak warga. Dalam catatannya, setidaknya ada tiga kegagalan pemerintah dalam mengatasi pandemik yang nantinya bisa digugat oleh warga baik secara politik atau hukum. 

Pertama, pemerintah sudah gagal ditandai dengan terjadinya lonjakan kasus. Terutama di angka kematian dan penularan COVID-19. 

"Ini bukan tidak diingatkan oleh banyak pihak dan bahkan banyak yang mendesak untuk tarik rem darurat tapi tak didengarkan," kata Herlambang. 

Indikasi kegagalan kedua, fasilitas kesehatan sudah kolaps. Saat ini di lapangan, sudah banyak rumah sakit yang tak lagi mampu menerima pasien. Bahkan, untuk tes COVID-19 saja tak sanggup melayani. 

Ketersediaan vaksin dan tabung oksigen sudah mulai habis. Hal tersebut juga jadi faktor penyumbang tingginya angka kematian dalam satu bulan terakhir. 

"Seharusnya setiap ada satu nyawa melayang, negara punya tanggung jawab dan peran di situ," ujarnya. 

Indikasi ketiga negara telah gagal melindungi rakyatnya yakni dari tingginya jumlah tenaga kesehatan yang terpapar COVID-19 dan meninggal. Ia merujuk kepada data dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pada 27 Juni 2021 lalu, 405 dokter meninggal dunia akibat COVID-19. 

"Dalam catatan saya dari 1-27 Juni ada 31 dokter yang meninggal dan itu menambah deretan nakes yang wafat," kata dia. 

3. Tujuh Menkes di negara lain mundur karena gagal tangani pandemik, RI sebaliknya

LaporCovid19: Pemerintah Harus Minta Maaf, Akui Karut Marut PandemikPresiden Jokowi Video Call dengan Suster Fira (Tangkapan Layar IG TV @jokowi)

Herlambang menambahkan tiap kegagalan yang dilakukan oleh pemerintah sebenarnya sudah tertuang konsekuensinya di dalam undang-undang. Ia juga menggaris bawahi seharusnya pemerintah menggunakan standar hukum yang sesuai dalam prinsip negara hukum. Legitimasi keadaan darurat sejak awal pun, kata dia lagi, sudah tidak tepat. 

"Negara juga sudah absen dalam memenuhi hak-hak dasar warga selama pandemik, khususnya sosial dan budaya," ujarnya. 

Ada dua aturan yang setidaknya telah dilanggar pemerintah. Pertama, UUD 1945 pasal 28H ayat 1 yang berbunyi setiap orang berhak untuk sehat dan berhak memperoleh layanan kesehatan. Kedua, UUD 1945 pasal 34 ayat 3 berbunyi negara bertanggung jawab atas penyediaan layanan kesehatan. 

"Dari situ sudah terbukti pemerintah gagal menjalankan konstitusi," kata Herlambang. 

Idealnya, kata dia, ada perbaikan kebijakan dari pemerintah. Tapi, untuk menunjukkan rasa empati pun sulit dilakukan. 

Herlambang mengatakan di luar negeri tujuh menteri kesehatan sampai mundur karena gagal mengatasi pandemik COVID-19. Sebab, ketika menjabat justru terjadi kematian yang tinggi. 

Sementara, di Indonesia, butuh waktu enam bulan bagi Jokowi untuk mencopot Terawan Agus Putranto dari posisi Menkes. 

Baca Juga: Sentil Luhut, KawalCOVID19: Sejak April Kami Sudah Teriak Ada Lonjakan

Topik:

  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya