Pemerintah Bantah Instruksikan Daerah Ubah Data Laporan COVID-19

Ada selisih 2.526 kematian COVID-19 di data pusat dan daerah

Jakarta, IDN Times - Kantor Staf Presiden (KSP) membantah pemerintah pusat menginstruksikan pemerintah daerah, mengutak-atik data pelaporan COVID-19 sehingga selisih data tetap ditemukan. Justru, agar hal tersebut tidak terjadi, Kementerian Kesehatan kini langsung meminta data kasus virus corona kepada semua rumah sakit di daerah. Alhasil, pelaporan dan verifikasi pun tidak lagi dilakukan secara berjenjang. 

Pernyataan tersebut mengomentari temuan dari organisasi pemantau wabah, LaporCovid19, yang menyebut masih ditemukan selisih angka kematian COVID-19 di data pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Selisih angka kematian pada April 2021 dilaporkan mencapai 2.526. 

Temuan tim relawan LaporCovid19 menemukan pada April 2021 angka kematian pasien yang positif tertular COVID-19 mencapai 47.642. Data itu, menurut LaporCovid19 bisa lebih tinggi, karena masih ada 12 provinsi yang belum memperbarui datanya lantaran situsnya bermasalah. Sedangkan, pada bulan yang sama, pemerintah melaporkan 45.116 orang yang meninggal akibat COVID-19. 

"Kami tidak pernah mengeluarkan instruksi untuk utak-atik data (COVID-19). Data itu selalu diutak-atik dari bawah. Tapi ya begitulah situasinya. Karena kami butuh data yang real time," ujar Deputi II KSP, Abetnego Tarigan, ketika berbicara pada webinar LaporCovid19 bertajuk "Paparan Kajian LaporCovid-19: Kekuasaan dan Peran Militer Dalam Merespons Pandemik COVID-19", Rabu (18/8/2021).

Lantaran ada perbedaan data itulah, akhirnya pemerintah pusat melalui Kemenkes memutuskan untuk meminta data langsung ke semua fasilitas kesehatan dan rumah sakit di daerah.

"Kan justru bingung ya," tutur Abetnego. 

Salah satu daerah yang sempat dituding tidak melaporkan angka kematian secara real time adalah Kota Bekasi, Jawa Barat. Lantaran pelaporan data yang tidak beres itu, pemerintah pusat memutuskan tidak menggunakan sementara waktu angka kematian sebagai indikator bagi penentuan level Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). 

Apa komentar pemerintah mengenai angka kematian yang masih tinggi selama masa pandemik COVID-19?

1. KSP sebut angka kematian masih tinggi, karena warga lebih memilih isolasi mandiri di rumah

Pemerintah Bantah Instruksikan Daerah Ubah Data Laporan COVID-19Deputi II Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Abetnego Tarigan ketika mengisi webinar LaporCovid19 (Tangkapan layar YouTube LaporCovid19)

Dalam diskusi tersebut, Abetnego sempat menyinggung mengenai angka kematian akibat COVID-19 yang masih tinggi sekarang ini. Tren sejak Juli lalu, angka kematian konsisten lebih dari 1.000 jiwa per hari.

Bila merujuk ke situs pencatat pandemik COVID-19 World O Meter, angka kematian harian di Indonesia selalu berada di peringkat teratas di dunia. Akumulasi angka kematian akibat virus corona di Tanah Air sudah mencapai 121.141. 

Menurut Abetnego, kasus kematian tetap tinggi meski angka kasus harian mulai melandai, disebabkan keengganan warga dipindahkan ke fasilitas isolasi mandiri terpusat.

"Mereka gak mau keluar dari rumah, maunya (mereka) isoman (isolasi mandiri) terus," kata dia. 

Itu sebabnya, tutur Abetnego, pemerintah kemudian membuat program pengiriman obat bagi pasien gejala ringan dan tanpa gejala yang menjalani isoman di rumah. Ketika diajak berpndah ke fasilitas isolasi mandiri terpusat, warga justru menolak. 

"Akhirnya sebagian harus dipaksa oleh Satpol PP, personel TNI dan Polri karena meski sudah (kondisinya) kritis, mereka masih tetap di situ (di rumah)," ujarnya. 

Abetnego mengaku sempat berbicara dengan beberapa pihak dan keluarga pasien COVID-19. Menurut dia, warga tetap lebih memilih berada di rumah karena bila berada di fasilitas isolasi mandiri terpusat, seolah tengah di penjara karena pergerakan mereka dibatasi. 

"Warga yang seperti ini jumlahnya banyak. Makanya, kami sedang mencari pendekatan apa yang efektif untuk bisa menuntaskan masalah ini," tutur dia. 

Baca Juga: Wakil Ketua MPR: Indikator Kematian Jangan Dihapus, Tapi Diperbaiki

2. LaporCovid19 menilai warga banyak yang meninggal di rumah karena nakes mulai terbatas

Pemerintah Bantah Instruksikan Daerah Ubah Data Laporan COVID-19Ilustrasi pemakaman jenazah pasien COVID-19. (ANTARA FOTO/FB Anggoro)

Sementara, berdasarkan penelusuran LaporCovid19, akumulasi warga yang meninggal di luar rumah sakit sudah mencapai 3.007 orang. Data itu diperoleh dari 108 kota atau kabupaten yang berada di 18 provinsi. 

Relawan LaporCovid19, Firdaus Ferdiansyah, mengatakan salah satu penyebab tingginya angka kematian di rumah lantaran keterbatasan jumlah tenaga kesehatan atau nakes. Hal itu secara otomatis berdampak pada lambatnya respons dan penanganan terhadap pasien COVID-19. 

"Ini seharusnya juga menjadi perhatian pemerintah, misalnya, dengan memperbarui metode pelayanan, misalnya (nakes) bisa dihubungi melalui pesan pendek atau sumber daya tenaga kesehatannya ditambah," ujar Firdaus, ketika menjawab pertanyaan IDN Times hari ini. 

Selain itu, Firdaus juga mendorong agar insentif bagi nakes yang masih menunggak, agar segera dibayarkan. Dengan begitu, pelayanan nakes kepada pasien yang terpaksa isoman di rumah bisa lebih baik. 

3. Presiden Jokowi tak mau pilih opsi lockdown karena khawatir bisa picu kerusuhan

Pemerintah Bantah Instruksikan Daerah Ubah Data Laporan COVID-19Ilustrasi lockdown (IDN Times/Arief Rahmat)

Dalam diskusi tersebut, Abetnego juga menjelaskan alasan Presiden Joko "Jokowi" Widodo tak memilih opsi lockdown atau karantina wilayah dalam menghadapi pandemik COVID-19.

Menurut dia, Jokowi khawatir bila karantina wilayah diberlakukan maka bisa memicu terjadinya kericuhan, seperti yang terjadi di India pada 2020. Namun, kericuhan itu terjadi karena kurangnya sosialisasi dari pemerintah India hingga warga menjadi panik. 

"Waktu berbicara seperti itu, Beliau (Presiden Jokowi) melihat langsung apa yang terjadi di India. Hal itu selalu yang paling dikhawatirkan oleh presiden," ujar Abetnego. 

Alhasil, ia menambahkan, pemerintah mencari formulasi yang lebih sesuai dengan keadaan di Indonesia agar tidak menerapkan lockdown.

Abetnego juga mengatakan hingga saat ini tidak ada satupun negara yang sukses menangani pandemik COVID-19. Terutama ketika varian Delta mulai menyebar ke seluruh dunia. 

"Kasus-kasus (COVID-19) di Amerika Serikat dan Inggris sedang naik. Maka, dalam negara seperti Indonesia ya belum semuanya bisa dikatakan cukup oke," tutur dia. 

Oleh sebab itu, kata Abetnego, karena Presiden Jokowi memperkirakan pandemik COVID-19 bakal berlangsung panjang, pemerintah pusat akan terus memperkuat kemampuan pemerintah daerah.

Sementara, LaporCovid19 beralasan, lockdown menyebabkan pemerintah harus memenuhi kewajibannya menanggung semua biaya hidup warga, seperti yang tertuang dalam UU Kekarantinaan Nomor 6 Tahun 2018. Sehingga pemerintah enggan menerapkan karantina wilayah.

Dalam Pasal 55 ayat (1) tertulis, "selama dalam karantina wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat".

Baca Juga: Jubir Luhut: Jika Ingin Relaksasi, Indikator COVID-19 Harus Diperbaiki

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya