Pemerintah Harus Pastikan Keamanan WNI Saat Evakuasi dari Afghanistan

Bandara di Kabul hanya terima pesawat militer untuk mendarat

Jakarta, IDN Times - Anggota Komisi I DPR, Sukamta, mewanti-wanti pemerintah untuk memastikan keselamatan dan keamanan warga negara Indonesia (WNI) yang hendak dievakuasi dari Kabul, Afghanistan. Berdasarkan data yang dirilis oleh Kementerian Luar Negeri ada 15 WNI yang saat ini terdata untuk dievakuasi. 

"Sejumlah WNI yang berada di sana, baik yang bekerja di KBRI maupun yang sedang bekerja di Afghanistan secara umum, keselamatan mereka harus jadi perhatian dari pemerintah," kata Sukamta melalui keterangan tertulis pada Kamis (19/8/2021). 

Meski kelompok militan Taliban telah memberikan jaminan keamanan bagi warga asing agar bisa meninggalkan Afghanistan, tapi Sukamta menilai pernyataan itu seperti adagium peluru yang tidak punya mata. 

"Jadi, harus terus diwaspadai dan perkembangan WNI dipantau. Bila perlu evakuasi harus segera dilakukan secepatnya," tutur anggota fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu. 

Sementara, saat ini Bandara Internasional Hamid Karzai sudah kembali dibuka dan beroperasi sejak Selasa, 17 Agustus 2021. Sebelumnya, bandara itu ditutup oleh militer Amerika Serikat karena terjadi kekacauan paska ratusan warga Afghanistan yang ingin meninggalkan negaranya. Mereka khawatir bakal mengalami tindak kekerasan bila hidup di negara di bawah kepemimpinan Taliban. 

Lalu, bagaimana Indonesia harus menyikapi pergantian rezim kepemimpinan di Afghanistan?

1. RI harus dorong terjadinya rekonsiliasi damai antara Taliban dengan Pemerintah Afghanistan

Pemerintah Harus Pastikan Keamanan WNI Saat Evakuasi dari AfghanistanAnggota Komisi I DPR RI Fraksi PKS Sukamta (Dok. pks.id)

Sukamta mengusulkan agar pemerintah menggunakan pengaruhnya agar ikut menjadi juru damai di Afghanistan. Menurut Sukamta, sebagai penguasa di Afghanistan saat ini, maka Taliban harus bertanggung jawab untuk membangun kembali negara itu dengan damai dan tanpa konflik. 

"Indonesia memiliki hubungan baik dengan Afghanistan termasuk Taliban di dalamnya yang kini menguasai negara itu. Peran-peran strategis Indonesia di masa lalu bisa menjadi modal saat ini untuk berperan lebih aktif dalam upaya rekonsiliasi damai membangun kembali Afghanistan," kata Sukamta. 

Komunikasi antara Pemerintah Indonesia dengan Taliban dan Afghanistan tergolong baik. Sebab, sejak 2019 lalu, pemerintah ikut terlibat dalam perjanjian damai di Qatar. Bahkan, perwakilan kelompok Taliban sempat berkunjung ke Jakarta pada 2019 dan menemui Wakil Presiden ke-10 dan 12, Jusuf "JK" Kalla. 

Dalam wawancara khusus dengan jurnalis senior Kompas, Wisnu Nugroho, JK mengaku mengundang perwakilan Taliban ke kediamannya dan makan bersama. Salah satu topik yang dibahas yakni mengenai rencana untuk mengakhiri konflik di Afghanistan. 

JK menyadari mengundang Taliban ke kediamannya bukan tanpa risiko. Salah satunya kini sudah tersemat persepsi ia bagian dari kelompok pendukung Taliban. 

"Bahwa Amerika itu menganggap teroris, ya terserah Amerika. Bagi dia (Taliban), menganggap dirinya pejuang. Jangan kita ikuti pandangan Amerika saja atau pandangan NATO. Justru, Amerika itu menduduki negara Afghanistan sama dengan Uni Soviet dulu menduduki Afghanistan," kata JK dalam wawancara yang tayang pada Februari 2021 lalu. 

Baca Juga: Keamanan Memburuk, Pemerintah Segera Evakuasi WNI dari Afghanistan

2. Indonesia dan masyarakat internasional harus mendorong agar Taliban tak lagi jadi tempat berlindung kelompok teroris

Pemerintah Harus Pastikan Keamanan WNI Saat Evakuasi dari AfghanistanANTARA FOTO/REUTERS/Parwiz

Sukamta juga mendorong pemerintah dan masyarakat internasional menyerukan kepada kelompok Taliban agar tak lagi menjadikan Afghanistan sebagai tempat berlindung kelompok teroris seperti Al-Qaeda dan ISIS. Bila melihat kilas balik pada 2001 lalu, Amerika Serikat menginvasi Afghanistan dan menggulingkan Taliban lantaran mereka menolak menyerahkan Osama bin Laden yang bersembunyi di sana.

Osama diburu oleh Pemerintah Negeri Paman Sam karena menjadi dalang aksi teror di gedung kembar World Trade Centre (WTC) dan Pentagon. Berdasarkan data yang dikutip dari stasiun berita BBC, peristiwa keji itu menyebabkan 2.977 orang meninggal dunia. 

"Perang terhadap terorisme global melawan ISIS, Al-Qaeda dan kelompok terorisme lainnya harus dilakukan oleh Pemerintah Afghanistan yang dipimpin oleh Taliban. Hal ini dilakukan agar jangan sampai terulang perang panjang yang merugikan rakyat Afghanistan," kata Sukamta lagi. 

Pemerintah juga diminta memberikan masukan agar Taliban bertransformasi menjadi lebih inklusif, akomodatif dan moderat. Sehingga, bisa mengakomodir kepentingan dari berbagai pihak termasuk kaum perempuan untuk bersama membangun Afghanistan. 

Komitmen untuk menjadi lebih inklusif memang sudah disampaikan oleh Taliban ketika memberikan keterangan pers kali pertama usai menguasai Afghanistan. Tetapi, menurut salah satu anggota senior di Taliban, Waheedullah Hashimi, di bawah rezim kepemimpinan mereka, Afghanistan tidak akan menerapkan sistem negara demokrasi. 

"Karena kan sudah jelas kami akan menggunakan sistem negara syariah Islam dan itu yang akan terjadi," ungkap Waheedullah seperti dikutip dari laman The Hindu pada Rabu, 17 Agustus 2021 lalu. 

3. PKS desak Indonesia ikut ratifikasi Konvensi Pengungsi agar bisa bantu pengungsi Afghanistan

Pemerintah Harus Pastikan Keamanan WNI Saat Evakuasi dari AfghanistanIlustrasi Penampungan Pengungsi (IDN Times/Mardya Shakti)

Hal lainnya yang dikhawatirkan terjadi sebagai dampak pergantian rezim yakni semakin meningkatnya jumlah warga Afghanistan yang mengungsi ke negara lain, termasuk ke Indonesia. Di Indonesia saja, sudah ada lebih dari 8.000 pengungsi asal Afghanistan.

Mereka sudah terkatung-katung tidak jelas lantaran belum mendapat negara ketiga untuk tempat bermukim secara permanen. Biasanya mereka transit di Indonesia lantaran ingin mencari suaka ke Selandia Baru atau Australia. 

"Mirisnya dalam beberapa tahun terakhir terjadi peningkatan angka bunuh diri dari para pengungsi ini. Kami dari F-PKS DPR dalam isu pengungsi ini agar segera meratifikasi Konvensi Pengungsi," kata Sukamta. 

Saat ini, Indonesia belum meratifikasi Konvensi Internasional tahun 1951 dan Protokol 1967 tentang status pengungsi. "Supaya Indonesia bisa menjadi bagian dari penyelesaian masalah pengungsi dunia," tutur dia lagi. 

Menurut pejabat Kementerian Luar Negeri, Andi Rachmiyanto, Indonesia hingga kini belum meratifikasi konvensi itu karena jumlah penduduk Indonesia dan masih di atas 10 persen yang berada di bawah garis kemiskinan. "Jumlah penduduk Indonesia yang total 250 juta jiwa dan 14 persennya berada di bawah garis kemiskinan," kata Andi pada 2016 lalu. 

Saat ini, badan PBB untuk urusan pengungsi (UNHCR) yang akan menentukan status warga asing yang mengaku mengungsi dari negaranya. 

Baca Juga: Janji Taliban: Burqa Tidak Wajib dan Perempuan Boleh Kuliah

Topik:

  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya