Ini Rekam Jejak Tiga Hakim Agung yang Sidangkan Kasasi Terdakwa BLBI

Satu hakim sempat ikut disebut dalam perkara kasus korupsi

Jakarta, IDN Times - Upaya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menyeret eks Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temenggung ke bui, terhenti di tengah jalan. Dalam sidang kasasi yang digelar oleh Mahkamah Agung pada Selasa (9/7) kemarin, majelis hakim menyatakan pria berusia 58 tahun itu terbukti melanggar hukum namun tak masuk kategori perbuatan pidana. 

Hal tersebut jelas membuat KPK geleng-geleng kepala. Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang pun terlihat emosi ketika mengumumkan apa langkah lanjutan dari lembaga antirasuah semalam. Dalam putusannya, tiga majelis hakim agung memiliki opini yang berbeda-beda. Hakim Agung Salman Luthan menyatakan sependapat bahwa perbuatan Syafruddin tergolong ke ranah pidana, Syamsul Rakan Chaniago menyebut perbuatan terdakwa masuk ke ranah perdata, dan M. Askin menilai perbuatan Syafruddin tergolong kekeliruan administrasi. 

Maka, tak heran, pimpinan KPK lainnya yakni Laode M. Syarif menilai putusan tersebut janggal. 

"KPK merasa kaget karena putusan ini aneh bin ajaib karena bisa bertentangan dengan putusan hakim Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi," ujar Syarif melalui pesan pendek kepada IDN Times pada Selasa kemarin. 

Lalu, gimana sih rekam jejak ketiga hakim agung itu? Karena kejanggalan itu memicu dugaan transaksi di balik putusan kasasi bagi Syafruddin. 

1. Hakim Agung Salman Luthan yang dijagokan sebagai penerus Artidjo Alkostar

Ini Rekam Jejak Tiga Hakim Agung yang Sidangkan Kasasi Terdakwa BLBI(Hakim Agung Salman Luthan) www.mahkamahagung.go.id

Hakim Agung Salman Luthan termasuk salah satu hakim anggota yang menyatakan setuju (judex facti) dengan vonis hakim di Pengadilan Tinggi. Majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menyatakan Syafruddin bersalah karena telah memperkaya Sjamsul Nursalim dalam kasus BLBI. Maka, mereka memperberat vonis Syafruddin dari yang semula 13 tahun menjadi 15 tahun. Dendanya pun ditambah, dari Rp700 juta menjadi Rp1 miliar. 

Peneliti Indonesian Legal Roundtable (ILR), Erwin Natosmal Oemar memprediksi Salman bisa diharapkan menjadi penerus hakim agung Artidjo Alkostar yang sudah pensiun. 

"Saya pikir yang paling mendekati kinerja Artidjo hanya dia walaupun sampai saat ini belum ada catatan yang serius yang didapatkan koalisi masyarakat sipil antikorupsi terhadap Beliau. Terlepas dari itu, ia sering satu majelis dengan Artidjo," kata Erwin seperti dikutip dari harian Jawa Pos pada Mei 2018 lalu. 

Benar kah Salman bisa menjadi penerus Artidjo di Mahkamah Agung? Mari kita lihat rekam jejaknya. 

Salman merupakan hakim agung dari jalur non karier. Sehari-hari ia merupakan pengajar di di Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Ia kemudian diangkat sebagai hakim agung pada 2010 lalu. Ia adalah merupakan hakim agung gelombang awal yang lolos seleksi Komisi Yudisial (KY). 

Ketika menjadi hakim agung, Salman sudah terlihat berbeda. Ia menyatakan agar terdakwa kasus UU ITE, Prita Mulyasari dibebaskan di tingkat kasasi. Sayang, ia kalah suara. Alhasil, perempuan yang mengungkapkan keberatannya mengenai pelayanan di RS Omni Alam Sutera itu tetap dibui. 

Di kasus peninjauan kembali terdakwa pembunuh aktivis HAM Munir Said Thalib, Pollycarpus, Salman menolak memotong hukuman eks pilot Garuda tersebut. Lagi-lagi, ia kalah suara. Jadilah, hukuman bagi Pollycarpus disunat dari semula 20 tahun menjadi 14 tahun. 

Namun, ketika ia menyidangkan peninjauan kembali kasus penodaan agama yang dilakukan oleh Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama, Salman sepakat dengan Artidjo Alkostar dan menolaknya. 

Ketika menyidangkan kasus korupsi, rupanya Salman satu karakter dengan Artidjo. Galak. Salman menolak kasasi mantan Wali Kota Makassar, Ilham Arief Sirajuddin. Tapi, ia kalah suara. Hukuman Ilham disunat dari 6 tahun menjadi 4 tahun. Namun, vonis itu balik lagi menjadi 6 tahun usai Ilham mengajukan Peninjauan Kembali. 

Ia juga pernah mengadili kasus korupsi mantan Bupati Bangkalan, Fuad Amin. Salman menghukum mantan Ketua DPRD Bangkalan itu 13 tahun penjara. Ia juga mencabut hak politik Fuad selama 5 tahun. Selain itu, Fuad juga diwajibkan mengembalikan kerugian keuangan negara Rp250 miliar. 

Baca Juga: ICW Dorong Komisi Yudisial Periksa Hakim yang Lepasakan Terdakwa BLBI

2. Hakim agung Syamsul Rakan Chaniago pernah disebut dalam kasus perdagangan perkara

Ini Rekam Jejak Tiga Hakim Agung yang Sidangkan Kasasi Terdakwa BLBI(Hakim Agung Syamsul Rakan Chaniago) www.wikipedia.com

Dalam penelusuran pemberitaan nama hakim agung Syamsul Rakan Chaniago sempat muncul di kasus korupsi dugaan suap terkait pengaturan perkara dan komposisi yang disidangkan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada 2016 lalu. Terdakwa ketika itu, Kepala Subdit Kasasi Perdata Direktorat Pranata dan Tata Laksana Perdata Mahkamah Agung, Andri Tristianto Sutrisna, membenarkan transkrip pembicaraannya dengan staf panitera muda pidana khusus, Kosidah melalui pesan singkat Blackberry Messenger (BBM) pada 21 November 2015-22 Januari 2016. 

Dalam pembicaraan itu, ia meminta kepada Kosidah agar beberapa perkara hukum di Tasikmalaya dan Bengkulu tidak ditangani oleh hakim agung Artidjo Alkostar. 

"Benar Yang Mulia, Pak Andri minta agar berkas itu jangan ke Pak Artidjo, karena pada takut Yang Mulia," kata Kosidah ketika bersaksi. 

Kemudian, mereka terlibat pembicaraan soal tawar-menawar majelis hakim yang ditunjuk untuk menangani perkara. Beberapa nama hakim agung yang disebut adalah Hakim Syamsul Rakan Chaniago, Hakim Timur Manurung dan Hakim Syarifuddin. 

Syamsul ketika dikonfirmasi oleh media pada 2016 lalu tertawa mendengar fakta yang muncul di persidangan. 

"Saya gak kenal Andri. Ketemu saja tidak," kata Syamsul. 

Ia justru merasa namanya dicatut untuk diperjualbelikan oleh pihak-pihak tertentu yang ingin mengeruk keuntungan pribadi. KPK pada tahun 2016 pernah mengatakan akan memeriksa Syamsul terkait perkara tersebut. Namun, tidak ada kelanjutan dari pemeriksaan itu. 

Sementara, di kasus korupsi, Syamsul justru ikut meringankan hukuman bagi terpidana kasus Wisma Atlet di Hambalang, Angelina Sondakh. Di tingkat peninjauan kembali, hukuman bagi Angelina disunat dari 12 tahun menjadi 10 tahun. Dendanya tetap Rp500 juta dan tak perlu membayar uang pengganti senilai Rp12,58 miliar dan US$2,35 juta. 

Di tahun 2012 lalu, Syamsul juga pernah mengetok bebas terdakwa kasus korupsi Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum), Dirjen Administrasi Hukum Umum (AHU), Zulkarnain Yunus. Padahal, di tingkat pengadilan negeri Jakarta Selatan, Zulkarnain dinyatakan bersalah dan divonis 1 tahun. 

3. Hakim agung Mohammad Askin yang menyatakan perbuatan Syafruddin masuk ranah administrasi

Ini Rekam Jejak Tiga Hakim Agung yang Sidangkan Kasasi Terdakwa BLBI(Hakim agung Mohamad Askin) www.mahkamahagung.go.id

Mohamad Askin dilantik menjadi hakim tipikor pada tahun 2010 lalu di gedung Mahkamah Agung. Namun, sebelum berkarier sebagai hakim, ia juga menjadi guru besar tetap hukum pidana di Fakultas Hukum Universitas Hassanudin pada periode 1964-2000. 

Ia kemudian hijrah ke Jakarta dan mencoba peruntungan di dunia politik. Merujuk ke buku biografi yang ia tulis sendiri berjudul "Mengabdi Pada Tiga Lembaga", Askin kemudian terpilih menjadi anggota DPR periode 1999-2004. Ia pernah duduk di Komisi VIII yang membidangi Pertambangan dan Energi, Lingkungan Hidup, Riset dan Teknologi sekaligus merangkap sebagai anggota di Badan Legislasi DPR RI yang banyak menyiapkan  mengenai Rancangan Undang Undang.

Lalu, bagaimana rekam jejaknya dalam penanganan kasus korupsi? Ia tercatat pernah menolak putusan kasasi bagi koruptor, namun ada juga yang koruptor yang ia bebaskan. Pada (22/4) lalu, ia memimpin sidang kasasi mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan terkait kasus korupsi aset milik BUMD Jawa Timur, PT Panca Wira Usaha. 

Hasilnya, kasasi yang diajukan oleh jaksa penuntut umum (JPU) ditolak. Putusan itu sama seperti vonis di pengadilan tinggi. 

"Amar putusan tolak," demikian bunyi amar putusan 3029 K/PID.SUS/2018 seperti dikutip dari laman resmi kepaniteraan MA pada tahun ini. 

Namun, ketika ia satu majelis dengan Artidjo Alkostar, dalam kasus suap hakim PN Semarang, MA justru memperberat hukumannya di tingkat kasasi. Di tingkat banding, eks hakim PN Semarang, Pragsono divonis 6 tahun penjara. Sementara, di tingkat kasasi, hukumannya lebih berat menjadi 11 tahun. 

Majelis sepakat memperberat hukuman hakim Pragsono karena perbuatannya telah melanggar sumpah jabatan dan melanggar kode etik kehormatan hakim (code of conduct).

"Selaku hakim tipikor yang melakukan korupsi merupakan ironi bagi upaya penanggulangan korupsi di Indonesia," ujar majelis dengan putusan yang bulat.

Dalam kasus kasasi Syafruddin, Askin justru menilai perbuatan pidananya masuk ranah administrasi. 

Baca Juga: Satu Terdakwa Lepas, KPK Tak Berhenti Usut Kasus BLBI

Topik:

Berita Terkini Lainnya