Siasat Meraup Cuan dari Bisnis Tes PCR dan Antigen di Saat Pandemik 

ICW menghitung ada potensi keuntungan mencapai Rp10,46 T

Jakarta, IDN Times - Elly Rosita Silaban terlihat gusar ketika mengetahui pengumuman yang disampaikan oleh Kementerian Kesehatan pada 16 Agustus 2021 lalu. Di situs resminya, Kemenkes mengumumkan penurunan harga tes swab Real Time - Polymerase Chain Reaction (RT-PCR). 

Melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan nomor HK.02/02/I/2845/2021 tentang batas tarif tertinggi pemeriksaan RT-PCR, tertulis batas atas di Pulau Jawa dan Bali ditetapkan Rp495 ribu. Sedangkan, batas atas pemeriksaan RT-PCR di luar Pulau Jawa dan Bali ditetapkan mencapai Rp525 ribu. Harga itu sudah turun dibandingkan ketetapan batas atas sebelumnya yakni Rp900 ribu. 

Namun, bagi Elly yang bekerja sebagai buruh harian, harga Rp495 ribu masih dianggap terlalu mahal. Apalagi kini, tes usap PCR digunakan sebagai alat screening untuk bisa mengakses fasilitas umum selain vaksin COVID-19. 

Perempuan yang menjabat sebagai Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) itu mendesak pemerintah, agar harga tes usap PCR dibuat semurah mungkin. 

“Menurut saya, bukan masyarakat kecil saja yang protes dengan harga PCR yang terbilang tinggi. Bahkan, Garuda yang notabene perusahaan penerbangan milik BUMN juga ikut keberatan. Soalnya, harga tes PCR yang mahal ini menyebabkan jumlah penumpang di pesawat mereka turun drastis," ujar Elly yang dihubungi Minggu, 29 Agustus 2021 lalu. 

Ia mengatakan, meski harga tes swab PCR sudah turun tetapi tetap belum menjadi kabar gembira bagi warga. Apalagi kondisi keuangan rakyat di masa pandemik memburuk. 

"Apalagi tes PCR COVID-19 ini hanya berlaku 1X24 jam saja. Menurut saya di tengah situasi yang sulit dan pandemik belum mereda, pemerintah harusnya memihak rakyat kecil," kata dia lagi. 

KSBSI secara khusus berharap, harga tes swab PCR bisa turun di bawah Rp100 ribu. Bila perlu, ujar Elly, pemerintah menggratiskan tes itu bagi kelompok warga yang tidak mampu. 

"Intinya KSBSI keberatan kalau harga tes PCR COVID-19 masih di atas Rp100 ribu. Kondisi buruh sekarang ini sedang banyak yang mengalami pengurangan upah dan terkena Pemutusan Hubungan Kerja. Jadi, sangat berpengaruh pada kondisi perekonomian mereka,” tutur dia. 

Curhat Elly menggambarkan sulitnya bagi pekerja harian untuk tetap bisa bertahan dan sehat di masa pandemik COVID-19. Dalam pandangan peneliti Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, aspirasi Elly tidak berlebihan. Malah, kata dia, seharusnya harga tes usap PCR sudah dapat diturunkan bahkan gratis sejak lama. 

Temuan Indonesia Corruption Watch (ICW) justru menggambarkan ada potensi cuan yang diraih oleh layanan penyedia jasa tes usap PCR, tidak main-main jumlahnya mencapai Rp10,46 triliun. Bagaimana cuan yang sedemikian besar itu bisa diraih?

1. Potensi keuntungan Rp10,46 triliun diperoleh dari selisih harga resmi batas atas tes swab PCR

Siasat Meraup Cuan dari Bisnis Tes PCR dan Antigen di Saat Pandemik Penetapan batas atas tes swab PCR per 16 Agustus 2021 (IDN Times/Aditya Pratama)

Peneliti ICW, Wana Alamsyah, mengatakan bahwa ada potensi keuntungan finansial yang besar yang diteguk oleh penyedia jasa tes swab PCR ketika harganya masih melambung tinggi.

Berdasarkan data ICW, dari periode Oktober 2020 hingga Agustus 2021, tercatat ada keuntungan finansial sekitar Rp10,46 triliun yang diraih. Angka itu diperoleh dari selisih harga tes swab PCR yang ditetapkan paling tinggi Rp900 ribu lalu pada Agustus 2021 berubah menjadi Rp495 ribu. 

Wana mengatakan, meski pemerintah sudah meminta agar harga tes swab PCR diturunkan, tetapi tidak pernah diatur berapa persen margin keuntungan yang boleh diraup oleh penyedia jasa tes swab PCR.

"Hal ini membuka celah permainan harga di pasaran," ujar Wana pada 20 Agustus 2021 lalu. 

Ia juga menjelaskan, di saat harga tes swab PCR masih bertengger di angka Rp900 ribu, ada perputaran uang mencapai sekitar Rp23,2 triliun. Uang itu berasal dari tes swab PCR saja yang dihitung pada periode Oktober 2020 hingga Agustus 2021. Maka, tak heran bila banyak pihak yang ingin menjadikannya sebagai lahan bisnis. 

Wana mendapatkan angka Rp23,2 triliun dengan mendata jumlah laboratorium yang berhak melakukan tes swab PCR. Angkanya berkisar 300 hingga 796 laboratorium. Jumlah spesimen yang dites pada periode itu mencapai 25.840.025. Maka, ditemukan angka mencapai Rp23,2 triliun. 

Sementara, ketika ditelusuri lebih jauh, ada peningkatan tes swab PCR setiap bulan. Angka pemeriksaan tertinggi terjadi pada Juli 2021 lalu yakni 6.134.842. Momen tersebut bertepatan dengan puncak penularan kasus COVID-19 akibat varian Delta.

Sedangkan, pada periode Agustus, ICW hanya menghitung pada tanggal 1-15 saja. Sebab, pada 16 Agustus 2021, harga tes swab PCR sudah turun. 

Temuan lain dari analisa mereka yakni rata-rata per hari Kemenkes hanya memeriksa 82.293 spesimen. Padahal, sebelumnya mereka menjanjikan akan melakukan tes hingga 400 ribu orang per hari.

Baca Juga: Menkes Targetkan 500 Tempat Umum Gunakan Aplikasi Peduli Lindungi

2. LaporCovid-19 temukan ada pengusaha yang berupaya mengakali harga tes untuk dapat cuan

Siasat Meraup Cuan dari Bisnis Tes PCR dan Antigen di Saat Pandemik Ilustrasi Swab Test (ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat)

Meski batas atas harga tes swab PCR sudah diturunkan, tetapi itu tak mengurangi niat sejumlah individu untuk tetap mengeruk keuntungan. Relawan LaporCovid-19, Amanda Tan, mengatakan bahwa ia menemukan klinik swasta yang memberlakukan harga berlapis untuk tes swab PCR. Semakin cepat hasilnya keluar maka harga yang dikenakan makin mahal. 

Peraturan Kemenkes menetapkan dengan biaya Rp495 ribu, maka hasilnya harus keluar dalam waktu 24 jam. Maka, klinik swasta itu memberlakukan tarif Rp750 ribu untuk hasil tes yang keluar dalam kurun waktu 16 jam dan Rp900 ribu untuk hasil tes yang dirilis dalam waktu 10 jam. 

"Hal ini bisa terjadi karena di dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan, tidak ada ketentuan yang menyebutkan klinik mandiri dilarang menerapkan strategi bisnis demikian," ujar Amanda. 

Ia juga menemukan di lapangan, ada upaya penyedia layanan tes usap untuk memangkas komponen biaya esensial. Tujuannya, agar bisa memaksimalkan keuntungan dan menutup selisih harga yang harus ditanggung oleh pihak penyedia layanan tes usap. 

"Mereka sering kali memangkas insentif tenaga kesehatan, alat pelindung diri, masker, dan alat kesehatan lainnya," kata dia. 

Amanda pun mendorong pemerintah melakukan pengawasan ketika sudah ada penyesuaian harga batas atas tes usap PCR. Tujuannya, agar warga tak lagi menjadi pihak yang dirugikan. 

3. Tes swab COVID-19 gratis sering dikeluhkan karena lama keluar hasilnya

Siasat Meraup Cuan dari Bisnis Tes PCR dan Antigen di Saat Pandemik Ilustrasi tes swab. ANTARA FOTO/Muhammad Arif Pribadi

Amanda juga mengatakan, puskesmas memang memberikan layanan tes swab PCR gratis bagi warga untuk kepentingan pelacakan kontak erat. Namun, berdasarkan data yang mereka terima, justru selama di bulan Juni dan Juli lalu, keluhan paling banyak yang disampaikan oleh warga disebabkan puskesmas. 

"Jumlahnya mencapai 64 persen dan terkait 3T, termasuk testing," kata Amanda. 

Dari sejumlah keluhan itu, LaporCovid-19 mencatat keluhan mengenai harga tes swab PCR yang mahal, lamanya waktu hasil pemeriksaan tes swab PCR, hingga jadwal tes swab PCR yang tidak jelas.

Amanda juga mengkritisi Kemenkes yang tidak terbuka terkait komponen apa saja yang bisa membentuk harga tes swab PCR. Termasuk berapa keuntungan yang diambil oleh para penyedia jasa tes swab PCR tersebut. 

Peneliti YLBHI, Muhammad Isnur, pun turut mendorong agar tes swab PCR bisa diberikan secara gratis kepada warga. Khususnya, bagi kepentingan pelacakan dan deteksi kontak erat. 

Pemerintah pula yang harus melakukan inisiatif untuk melakukan tes dan pelacakan kontak dekat pasien. Sebab, bila ada satu saja kontak erat yang tak dites, maka ada peluang individu tersebut sudah menularkan ke yang lain. 

"Kalau begitu, berapa banyak warga yang harus dilacak dengan tes atau warga harus melakukan tes swab PCR mandiri kalau mau inisiatif. Kenyataannya di lapangan, warga sering kali tak mampu secara finansial membayar Rp500 ribu untuk tes PCR. Makan sehari-hari saja tidak mampu," kata Isnur.

"Sekarang ini, untuk bisa mendapatkan pemasukan Rp50 ribu, Rp100 ribu saja warga sudah tidak mampu dan itu jumlahnya banyak. Lalu, disuruh lagi PCR dengan mengeluarkan biaya Rp500 ribu, mana sanggup," tutur dia lagi. 

Ia pun menyayangkan pemerintah hanya memberikan tes swab PCR gratis hanya untuk acara kementerian atau instansi tertentu saja. Saat ini bila kementerian atau instansi pemerintah mengadakan acara, peserta diwajibkan untuk tes swab lebih dulu sebagai syarat screening

"Kenapa gak hal yang sama dilakukan pemerintah bagi warga yang tak mampu," ungkapnya. 

4. Harga tes swab PCR masih bisa turun ke angka Rp300 ribu

Siasat Meraup Cuan dari Bisnis Tes PCR dan Antigen di Saat Pandemik Infografik bisnis tes PCR dan antigen di Indonesia (IDN Times/Aditya Pratama)

Harga tes usap PCR turun menjadi Rp495 ribu setelah ramai pemberitaan soal biaya tes swab PCR di India yang hanya Rp96 ribu. Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Tjandra Yoga Aditama mengonfirmasi hal itu. Yoga yang pernah berkantor di New Delhi sebagai Direktur WHO di kawasan Asia Tenggara mengatakan, murahnya tes swab PCR lantaran pemerintah memberikan subsidi bagi warganya. 

"Kalau harga tes lebih murah, maka jumlah tes di negara kita juga dapat lebih banyak, sehingga lebih mudah mengendalikan penularan di masyarakat," ujar Tjandra dalam keterangan tertulis, 15 Agustus 2021 lalu. 

Ia menambahkan, murahnya harga tes swab PCR di India bisa juga dihasilkan dari fasilitas keringanan pajak yang diberlakukan pemerintah. Kemungkinan lain yakni disebabkan murahnya bahan baku untuk industri dan tenaga kerja yang besar jumlahnya.

"Semua kemungkinan ini perlu dianalisa lebih lanjut. Tetapi yang jelas, selain tarif PCR, harga obat-obatan di India juga amat murah bila dibandingkan di Indonesia," tuturnya lagi. 

Ia mengatakan, murahnya tes swab PCR di India bukan hal baru. Ketika tarif swab PCR di Tanah Air masih dibanderol Rp1 juta, biaya untuk tes swab di India pada 2020 hanya Rp480 ribu. Dengan biaya itu, petugas kesehatan langsung datang ke rumahnya. 

Sementara, menurut Sekretaris Jenderal Perkumpulan Organisasi Perusahaan Alat-alat Kesehatan dan Laboratorium atau Gakeslab, Randy H. Teguh, harga alat tes PCR untuk COVID-19 masih memungkinkan untuk ditekan ke harga Rp300 ribu. Perhitungan itu diambil dari kisaran harga reagen (bahan yang diperlukan dalam PCR) di pasaran yang kini sudah berkisar Rp100 ribu hingga Rp150 ribu. Harga itu turun setengahnya dari tahun lalu yakni Rp150 ribu sampai Rp300 ribu.

"Kalau dilihat dari situ (harga reagen) memungkinkan (tes PCR turun jadi Rp300 ribu)," ujar Randy ketika dihubungi pada 29 Agustus 2021. 

Ia menjelaskan, harga tes swab PCR bisa diturunkan hingga Rp300 ribu bila tes dilakukan dengan teknologi konvensional. Ia menyebut, ada tiga jenis teknologi PCR, yaitu konvensional, close system atau open system, dan Tes Cepat Molekuler (TCM).

"Konvensional masih perlu dua tahap proses. Jadi, ada ekstraksi lalu nanti masuk ke mesin untuk mendeteksi virus. Kalau yang close system atau TCM itu hanya satu kali proses," jelasnya.

5. YLKI menilai tidak etis pemerintah ambil keuntungan dari pajak tes swab PCR

Siasat Meraup Cuan dari Bisnis Tes PCR dan Antigen di Saat Pandemik Ketua Harian YLKI Tulus Abadi memberikan keterangan pers. (IDN Times/Indiana Malia)

Sementara itu, ketika dihubungi pada 28 Agustus 2021, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, menyayangkan bila pemerintah baru bereaksi menurunkan lagi harga tes swab PCR setelah ramai pembicaraan soal biaya tes di India. Menurut dia, harga tes swab PCR seharusnya sudah lama diturunkan karena negara-negara produsen reagen semakin banyak. 

"Dari segi permintaan dan supply kan lebih banyak supply-nya, sehingga harga sudah bisa ditekan. Nah, ini yang justru tidak terjadi," kata Tulus. 

Ia pun meminta agar Kementerian Kesehatan tidak perlu memungut penerimaan negara bukan pajak (PNPB) yang diperoleh dari tes COVID-19. Ia memperoleh informasi, dari satu kali tes swab antigen, Kemenkes mendapat pemasukan Rp10 ribu. 

"Jadi, kalau mau harganya turun, maka PNPB yang notabene income bagi Kemenkes itu harus dihilangkan. Negara harus rela kehilangan pemasukan dari konsumen, baik dari tes antigen atau PCR," ujarnya. 

Ia menegaskan, tidak etis bagi pemerintah yang tetap memungut pajak dari warganya di tengah situasi pandemik COVID-19. Tulus juga mengusulkan agar negara turun tangan untuk mengatur impor alat-alat kesehatan untuk tes COVID-19. Menurut dia, sebaiknya ditentukan saja dari awal negara mana yang bisa dirujuk untuk mengimpor karena memberikan harga lebih murah. 

"Walaupun harga murah tetapi tidak boleh mengabaikan kualitasnya ya. Jadi, standarnya juga harus ikut diatur," kata dia lagi. 

Ia pun mendesak agar dilakukan audit harga tes swab PCR. Tujuannya, agar bisa diketahui berapa struktur harga tes PCR yang sesungguhnya. 

Audit tata niaga juga dibutuhkan untuk mengetahui apakah ada dugaan praktik persaingan usaha yang tidak sehat. "Misalnya, apakah ada dugaan kartel harga? Maka KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) harus turun tangan melakukan investigasi untuk membuktikan," ungkap Tulus. 

Baca Juga: ICW Soroti Dirjen di Kemenkes yang Rangkap Jabatan Komut Kimia Farma

Topik:

  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya