Survei: Warga Lebih Banyak Mau Divaksin Merah Putih Dibanding VakNus

Tapi Vaksin Nusantara lebih populer dari Vaksin Merah Putih

Jakarta, IDN Times - Vaksin Nusantara yang diinisiasi mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto lebih populer ketimbang Vaksin Merah Putih. Hal itu terungkap dari temuan survei nasional yang dilakukan Indikator Politik Indonesia (IPI) pada 17-21 September 2021. 

Hasil survei tercatat, jumlah responden yang mengetahui Vaksin Nusantara sebanyak 32 persen. Sedangkan, hanya 19 persen yang tahu Vaksin Merah Putih. 

Tetapi, uniknya ketika ditanyakan lebih lanjut kepada responden yang mengetahui, mereka lebih banyak memilih disuntik Vaksin Merah Putih bila vaksin tersebut sudah tersedia, yakni 61,1 persen.

"Sebanyak 58,4 persen responden lebih memilih untuk disuntik Vaksin Nusantara bila sudah diizinkan," kata Direktur Eksekutif IPI, Burhanuddin Muhtadi ketika memaparkan hasil survei, Minggu, 26 September 2021. 

Hal ini menandakan meski Vaksin Nusantara lebih populer, tetapi responden lebih percaya terhadap Vaksin Merah Putih yang diteliti di beberapa kampus. Vaksin Nusantara lebih populer karena dianggap kontroversial dan proses pembuatannya tidak mengikuti kaidah medis yang ditetapkan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Temuan tersebut sejalan dengan pendapat epidemiolog dari Universitas Griffith, Brisbane, Australia, Dicky Budiman, yang menyebut dalam pembuatan dan pengembangan vaksin, tidak bisa mengandalkan testimonial dari orang lain. Semuanya didasarkan pada temuan data. 

Apalagi temuan menarik lainnya menyangkut vaksinasi COVID-19?

1. Mayoritas responden tidak setuju vaksin dibuat berbayar

Survei: Warga Lebih Banyak Mau Divaksin Merah Putih Dibanding VakNusHasil survei yang merekam pernyataan responden soal vaksin COVID-19 berbayar (Tangkapan layar power point survei Indikator)

Berdasarkan survei Indikator Politik Indonesia (IPI), sebanyak 57,9 persen responden mengaku kurang setuju bila vaksin COVID-19 dibuat berbayar. Hanya 31,1 persen responden saja yang setuju bila publik harus membeli vaksin COVID-19. 

Reaksi ini seolah menanggapi rencana pemerintah yang bakal membuat vaksin COVID-19 mulai 2022 tak lagi gratis. Kementerian Kesehatan menyiapkan opsi vaksin booster berbayar mulai 2022, lantaran pemerintah tak lagi sanggup menanggung biaya seperti pada pemberian dosis pertama dan kedua. 

"Skema booster ini sudah kami buat sekalipun memang pemerintah tidak mampu ya melakukan pembayaran semua penduduk seperti sekarang ini. Jadi, akan kami prioritaskan terutama yang masuk BPJS itu yang penerima bantuan iuran, masyarakat miskin," ungkap Maxi dalam acara daring yang disiarkan melalui kanal YouTube Lawan COVID-19 ID, pada 7 September 2021. 

Setelah dihitung, pada 2022 pemerintah hanya akan menanggung biaya pemberian vaksinasi COVID-19 bagi 87,4 juta jiwa. Sementara, masyarakat lainnya bisa membeli vaksin COVID-19 di apotek dengan kisaran harga US$7-US$8 atau sekitar Rp100 ribu. 

Baca Juga: [CEK FAKTA] Benarkah Turki Pesan 5,2 Juta Dosis Vaksin Nusantara?

2. Sebanyak 39,7 persen responden tidak setuju vaksin booster berbayar

Survei: Warga Lebih Banyak Mau Divaksin Merah Putih Dibanding VakNusSeorang warga di Kota Palu disuntik vaksin COVID-19 di salah satu gerai pelayanan vaksin gratis di Taman Gor Palu, Jumat (4/6/2021). IDN Times/Kristina Natalia

Sementara, berdasarkan hasil survei, mayoritas responden IPI mengaku tidak setuju bila vaksin booster atau dosis ketiga tak diberikan secara gratis. Angkanya mencapai 39,7 persen. Sebanyak 14,2 persen responden mengaku tidak setuju sama sekali bila vaksin booster berbayar. 

Tetapi, di sisi lain, sebanyak 32,6 persen responden mengaku setuju bila vaksin booster dikenakan biaya. Sementara, organisasi pemantau wabah, LaporCovid-19 menegaskan tidak etis bagi pemerintah menjual vaksin COVID-19 selama pandemik masih ada. 

“Kalau kita lihat vaksin di pasar sudah ada ya, misalnya vaksin flu tapi itu kan tidak terjadi pandemik. Jadi, selama pandemik masih ada sangat tidak etis kalau itu dilepas ke pasar,” ujar Co-Lead Koalisi Warga Untuk Lapor Covid-19, Ahmad Arif, pada 8 September 2021. 

Ia menambahkan, kondisi pandemik merupakan situasi gawat darurat. Maka ketika vaksin dilepaskan ke pasar untuk diperjual belikan tentu yang bisa membelinya adalah orang yang memiliki kekuatan dan uang.

3. Kemunculan varian Delta mendorong masyarakat berebut ingin divaksinasi

Survei: Warga Lebih Banyak Mau Divaksin Merah Putih Dibanding VakNusEpidemiolog dari Universitas Indonesia (UI) Dr. Pandu Riono (Tangkapan layar Zoom Indikator Politik Indonesia)

Sementara, dari sudut pandang epidemiolog Universitas Indonesia (UI), Pandu Riono, pemerintah dan warga baru menyadari bahayanya COVID-19 ketika varian Delta merebak luas. Alhasil, warga yang semula enggan divaksinasi kini berebut mendapat vaksin. 

"Maka seiring berjalannya waktu resistensi terhadap vaksin menurun, meskipun masih ada. Gerakan antivaksin pun juga masih ada," ungkap Pandu dalam diskusi virtual yang sama. 

Ia juga menyebut bila masyarakat patuh dengan mengikuti aturan bahwa yang beraktivitas di luar rumah sudah divaksinasi dan negatif COVID-19, maka lonjakan kasus bisa dihindari. Meskipun kini, sejumlah pembatasan sudah mulai dilonggarkan. 

Dalam diskusi itu, Pandu juga menyebut tingginya angka kematian selama rentang Juli hingga Agustus terjadi lantaran masih banyak warga yang belum menerima vaksinasi lengkap.

"Tenaga kesehatan pun kemarin banyak yang meninggal karena mereka juga belum semua menerima vaksinasi lengkap dua dosis atau ada juga yang enggan divaksinasi," tutur dia. 

Pandu mengatakan negara tidak bisa menjual vaksin COVID-19, lantaran sudah menjadi kewajiban negara. Di sisi lain, Indonesia banyak menerima donasi vaksin dari sejumlah negara, sehingga tidak etis vaksin dari donasi malah dijual ke masyarakat. 

Baca Juga: Dukung Kelanjutan Vaksin Nusantara, Komisi VII Siap Patungan Rp10 Juta

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya