Melawan Lupa, Wadah Pegawai KPK Pasang Penghitung Waktu Kasus Novel  

Waktu yang terus bergerak menandakan kasusnya tidak diusut

Jakarta, IDN Times - Berbagai upaya terus dilakukan oleh Wadah Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi ( WP KPK) agar kasus teror yang menimpa penyidik senior Novel Baswedan tidak hilang ditelan waktu. Salah satunya dengan memasang layar penghitung waktu yang terus bergerak sejak penyidik berusia 40 tahun itu disiram air keras pada 11 April 2017. 

Menurut Ketua WP, Yudi Purnomo, pemasangan layar penghitung waktu itu bermula dari insiatif dari para pegawai. Kemudian, mereka realiasasikan mulai Selasa (11/12). 

"Bahwa ini pengingat bagi Rakyat Indonesia bahwa ada serangan teror kepada penyidik KPK yang berusaha memberantas korupsi di negeri ini. Kasusnya pun hingga kini belum diungkap," ujar Yudi kepada IDN Times pada sore ini. 

Sementara, Novel yang ikut menghadiri peluncuran layar penghitung waktu itu terlihat tetap bekerja seperti biasa. Dengan mengenakan topi berwarna hitam, celana bahan dengan warna senada dan kemeja lengan pendek berwarna putih, Novel masih tetap bersemangat mendorong agar Presiden Joko "Jokowi" Widodo tidak lupa terhadap janjinya untuk mengungkap kasus teror air keras yang nyaris merebut kedua penglihatannya. 

"Pada hari ini, kita semua kembali mengingat bahwa saya selaku penyidik KPK telah diserang oleh seseorang, beberapa kelompok. Saya anggap itu adalah serangan yang luar biasa," kata Novel ketika berbicara di hadapan media.

Pasca teror yang menimpa dirinya, Novel memang mendapat pengawalan di kediamannya. Namun, baginya hal tersebut tidak cukup ampuh. Perlindungan yang paling efektif kata dia yaitu apabila polisi berhasil menangkap pelaku penyerangan terhadap dirinya. 

"Saya khawatir orang-orang yang selama ini berani menyerang justru akan semakin berani karena tahu ini tidak diproses," kata mantan Kasatreskrim di Polres Bengkulu itu. 

Lalu, apa pendapatnya mengenai wacana penggunaan panic button khusus bagi penyidik dan penyelidik KPK? Inisiatif itu diluncurkan oleh para pimpinan KPK sebagai upaya mitigasi. 

1. Novel menagih komitmen Presiden untuk memberantas korupsi

Melawan Lupa, Wadah Pegawai KPK Pasang Penghitung Waktu Kasus Novel  (Penyidik Novel Baswedan) ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak

Di peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia (Hakordia), Presiden Joko "Jokowi" Widodo kembali menegaskan komitmennya untuk terus memperkuat KPK dan memberantas rasuah. Namun, komitmen itu terdengar seperti pepesan kosong, apabila kasus teror yang menimpa penyidik KPK justru tidak berhasil diusut. 

"Saya berharap Presiden masih mau memposisikan diri sebagai Bapak Presiden, pemimpin negara yang berkepentingan sekali terhadap pemberantasan korupsi," ujar Novel. 

Menurut Novel, selain membuat pelaku penyerangan tidak kapok, juga memicu menurunnya semangat pemberantasan korupsi di Indonesia. 

"Tetapi, semoga semua itu tidak terjadi. Oleh sebab itu, saya doakan semoga Presiden memiliki keberanian (untuk membentuk TGPF)," tutur dia. 

Novel tetap beranggapan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) independen menjadi solusi yang jitu. Sebab, apabila kasusnya masih ditangani oleh polisi hingga hari ini, maka sulit untuk diproses. Apalagi Novel kerap bolak-balik menyatakan ada dugaan keterlibatan oknum jenderal dalam terornya itu. 

Baca Juga: Dianggap Tak Serius Tangani Kasus Novel Baswedan, Begini Reaksi Istana

2. Novel menilai pimpinan KPK juga tidak berbuat banyak untuk mengungkap teror terhadap pegawainya

Melawan Lupa, Wadah Pegawai KPK Pasang Penghitung Waktu Kasus Novel  jurnalpolisi.com

Selain berharap kepada Presiden, Novel sebenarnya juga bisa menggantungkan harapan kepada lima pimpinannya di KPK. Sayangnya, hingga kini kelima pimpinan itu justru dinilai Novel kurang mendorong agar kasus terornya terungkap. Bahkan, kasus teror yang menimpa penyidik KPK lainnya juga didiamkan saja. 

"Saya tidak tahu apakah hal itu karena adanya tekanan atau ancaman pihak tertentu terhadap pimpinan KPK atau faktor lain," kata Novel kepada IDN Times. 

Apabila sikap pimpinan KPK tetap dibiarkan seperti itu, maka diprediksi bisa membuat lembaga antirasuah semakin lemah. Sebab, para pegawai tidak akan berani mengungkap kasus-kasus besar. 

"Maka dari itu, dukungan dari Presiden begitu penting. Kalau Presidennya tidak berani (mengambil sikap), maka pimpinan juga tidak akan berani," tutur dia.

Salah satu teror keji yang menimpa penyidik KPK lainnya yakni pelemparan bom molotov. Walaupun setelah dicek, bom itu ternyata palsu. 

3. Novel heran dirinya malah diserang oleh Komisioner Ombudsman

Melawan Lupa, Wadah Pegawai KPK Pasang Penghitung Waktu Kasus Novel  (Komisioner Ombudsman Adrianus Meliala ketika memberikan keterangan pers) ANTARA FOTO/Reno Esnir

Dalam kesempatan itu, Novel turut menyatakan kebingungannya lantaran malah diserang oleh Komisioner Ombudsman, Adrianus Meliala. Dalam sesi jumpa pers, Adrianus kembali menyatakan Novel tidak kooperatif untuk mengungkap kasus terornya. Itulah penyebab mengapa Polri lambat mengungkap kasusnya. 

Novel mencoba berpikir positif bahwa apa yang disampaikan oleh Adrianus bukan mewakili institusi Ombudsman melainkan, itu pernyataan pribadi. 

"Saya tidak yakin itu serangan dari Ombudsman. Tapi, saya jadi curiga Pak Adrianus punya conflict of interest," tutur Novel menjawab pertanyaan media. 

Sebab, sejak awal Novel sudah mengaku keberatan ketika Adrianus ikut dilibatkan Ombudsman untuk meminta keterangan terkait maladministrasi dalam pengungkapan kasusnya. Menurut Novel, ada banyak kebohongan yang disampaikan oleh Adrianus, antara lain ia belum pernah diperiksa polisi, jumlah Berita Acara Pemeriksaan (BAP) hanya dua lembar, dan ia enggan berbicara kepada tim kepolisian. 

"Padahal, saat dimintai keterangan ada tim dari biro hukum, tim saya dan kuasa hukum serta Ombudsman. Tapi, sebelum dilakukan pemeriksaan, Pak Adrianus malah menyerang saya secara pribadi," katanya. 

 

4. Komisioner Ombudsman Adrianus Meliala sempat meminta maaf ke Novel

Melawan Lupa, Wadah Pegawai KPK Pasang Penghitung Waktu Kasus Novel  IDN Times/Fitang Budhi Adhitia

Usai Novel menyatakan keberatan atas serangan pribadi yang dilontarkan Adrianus Meliala, ahli di bidang krimologi itu kemudian menyampaikan permintaan maaf. Ia pun menjelaskan pernyataannya di media bukan sikap resmi Ombudsman, melainkan kalimat pribadi. 

Novel pun memilih memaafkan Adrianus, lantaran sudah mengenal pengajar ilmu kriminologi cukup lama. 

"Tapi, perspektif saya bahwa Pak Adrianus memiliki conflict of interest tetap tidak berubah," kata dia.

5. Perlindungan terbaik bagi pegawai KPK bukan menggunakan panic button

Melawan Lupa, Wadah Pegawai KPK Pasang Penghitung Waktu Kasus Novel  ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

Novel juga sempat mengomentari adanya wacana penggunaan tombol panik (panic button) bagi penyidik dan penyelidik yang berisiko dalam bekerja memberantas korupsi. Menurut dia, tombol panik bukan lah sebuah solusi. 

"Karena kan panic button tetap ada jeda dan waktu. Sudah keburu diserang pelaku," kata Novel. 

Ia pun mengaku juga tidak nyaman dijaga 24 jam sehari. Alih-alih memberikan perlindungan fisik, menurut Novel perlindungan terbaik yakni dengan mengungkap pelaku teror yang menyiramkan air keras ke wajahnya. 

"Apabila tiap serangan diungkap maka setidak-tidaknya akan membuat orang takut melakukan hal serupa," kata dia. 

Baca Juga: Kasus Terornya Belum Terungkap, Novel Baswedan Sempat Merasa Putus Asa

Topik:

Berita Terkini Lainnya