[WANSUS] Jubir: Banyak Pasien yang Meninggal Saat Ini Dikira COVID-19

Akhirnya ketika mau dimakamkan banyak yang menolak

Jakarta, IDN Times - Nama dr. Achmad Yurianto kini seolah tak bisa dipisahkan dari penyakit menular COVID-19. Sejak ditunjuk oleh Presiden Joko "Jokowi" Widodo pada (19/3) lalu untuk menjelaskan mengenai virus yang bermula dari Kota di Wuhan, Tiongkok itu, praktis wajah pria yang akrab disapa Yuri itu muncul di televisi. Waktunya pun reguler setiap hari pukul 15:30 WIB. 

Keputusan Jokowi untuk menunjuk Yuri sebagai jubir khusus COVID-19 dan bukan Menkes Terawan Agus Putranto membuat publik bertanya-tanya. Apakah hal itu karena Jokowi tak puas dengan komunikasi publik mantan Direktur RSPAD Gatot Subroto itu? Pernyataan Terawan mengenai COVID-19 kerap blunder dan dipersepsikan menyepelekan COVID-19. 

Padahal, hingga Kamis (30/4), jumlah kasus positif COVID-19 di RI resmi menembus angka 10 ribu. Awal Maret lalu jumlahnya masih dua kasus. Penularannya yang begitu cepat dan masif membuat Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan COVID-19 sebagai pandemik.

Ketika ditanya alasan Jokowi menunjuknya, Yuri hanya menduga-duga mungkin karena media sudah kerap menerornya dengan pertanyaan mengenai COVID-19. 

"Kan waktu itu, saya sering ditanya rekan-rekan media waktu pemulangan ratusan mahasiswa dari Wuhan ke Kepulauan Seribu. Saya ikut mendampingi mereka selama dua minggu diobservasi kan?" tanya Yuri ketika berkunjung ke kantor IDN Media di kawasan Gatot Subroto, pada awal April lalu. 

Kendati menerima takdirnya ditunjuk oleh orang nomor satu di Indonesia untuk mengkomunikasikan mengenai COVID-19, namun Yuri mengaku kerap gusar. Ia merasa dianggap publik sebagai pembawa kabar buruk. 

"Karena kalau saya tampil di televisi, orang pasti sudah menyangka angka kasus positif COVID-19 pasti naik," tutur dia.

Pernyataan Yuri tersebut memang tidak terbantahkan. Bahkan, menurut analisa beberapa ahli, RI baru mulai merasakan puncak pandemik COVID-19. 

IDN Times juga sempat bertanya keberadaan bosnya. Yuri pun sempat berkelakar Terawan hingga saat ini masih menjabat sebagai Menkes. 

"Ada kok (Terawan) di kantor. Tapi, kan yang kalian cari saya toh?" tutur dia lagi. 

Yuri pun bersedia diwawancarai secara khusus oleh IDN Times mengenai COVID-19. Simak hasil oborolannya berikut ini:

1. Mengapa angka kasus positif COVID-19 di Indonesia dari hari ke hari terus semakin naik? Padahal, pemerintah sudah bolak-balik menyerukan agar dilakukan jaga jarak dan cuci tangan. Apakah imbauan itu tidak didengarkan?

[WANSUS] Jubir: Banyak Pasien yang Meninggal Saat Ini Dikira COVID-19(Profil juru bicara khusus COVID-19 dr. Achmad Yurianto) IDN Times/Sukma Shakti

Pertama, mari kita jeli melihat datanya dulu. Kalau kemudian masih ada kasus baru positif COVID-19 ini menunjukkan masih ada penularan. Yang pasti penularannya tidak berasal dari pasien yang ada di rumah sakit. Kalau dia (pasien di rumah sakit) maka kan gak akan ke mana-mana. Artinya di tengah-tengah masyarakat kita masih ada kasus positif yang berada di sekitar kita. 

Karena penyakit menular itu kan gak mungkin kalau gak ada sumbernya. Kedua, ada yang rentan tertular. Karena kalau tidak rentan walaupun ditulari maka tidak akan ada kasus baru. Berarti, ada orang yang rentan tertular. 
 

Baca Juga: Achmad Yurianto, Jubir Penanganan Virus Corona Pernah Tugas di TNI AD

2. Yang dimaksud orang yang rentan tertular itu yang sebelumnya sudah memiliki penyakit kronis kah?

Kalau dilihat dari prosesnya itu kan karena kontak terlalu dekat. Berarti, di luar masih banyak yang kontaknya terlalu dekat. Kemudian, kedua dan ini yang sering kali terjadi, penularannya terjadi tidak langsung. Bukan berarti orang sakit ketemu orang sehat, tidak. 

Orang sakit batuk dan bersin, kemudian virusnya keluar. Katakan di meja ini jatuh. Lalu, saya yang sakit pergi. Kemudian datang orang lain dalam waktu cepat tanpa sadar disentuh. Kan ada perpindahan virus dari meja tadi ke orang tersebut. 

Kemudian tanpa cuci tangan atau apa pun, orang itu memanipulasi mulut, hidung, mata dan sebagainya. Ia ketularan. Sering kali ini kasus yang kami temukan di rumah sakit. Ketika kami tanya apakah Anda sempat kontak dengan orang sakit dijawab enggak. "Saya gak ketemu siapa-siapa." Nah, yang paling banyak model seperti itu. Ketika kami tanya, apakah orang ini rajin cuci tangan, dijawabnya tidak. 

Padahal, sudah jaga jarak. Bahkan, kan tidak ketemu tadi dengan orang sakit. 

Contoh sederhana lainnya saya naik kereta. Di sebelah saya ada orang pakai masker, sementara saya enggak lalu saya batuk. Kan gak enak lalu tutup tangan dan gantungan lagi. 

Kemudian saya turun, orang yang mengenakan masker di belakang saya maju dan pegangan. Pindah lah virusnya. Kemudian begitu tiba, dia ditawari gorengan oleh temannya dan langsung diambil (tanpa cuci tangan). Mau setebal apapun maskernya, dibuka dong dan masuk (virusnya). Itu temuan kasus yang sering kami temukan. 

3. Jadi, penularan COVID-19 bisa meningkat hanya karena menyepelekan saran agar sering cuci tangan?

Iya. Itu lah cara saya memaknai mengapa pasien di luar (rumah sakit) terus bertambah. Menurut saya karena ada sumbernya dan ada orang yang rentan untuk tertular. Bisa karena kontak dekat atau kontak tidak langsung. Droplet yang tersebar itu kan masuk kontak tidak langsung dan hal itu masih terus terjadi. 

Maka, kami sudah tidak lagi mengeluarkan imbau. Sekarang kuncinya tinggal satu saja: jalankan. Yang kami inginkan sekarang yang bisa mengimbau itu bukan hanya pemerintah, tenaga kesehatan. Saya pikir kalau menganjurkan rajin cuci tangan itu kan gak perlu disarankan oleh tenaga kesehatan. Itu lah yang kita katakan harus saling mengingatkan. 

Yang jadi masalah misalnya orang yang masih muda dalam kasus tadi, dia pegangan lalu tertular, kemudian makan tanpa cuci tangan, maka di dalam tubuhnya ada virus. Tetapi, karena dia muda dan sehat yang muncul ringan-ringan saja. Bia saja hanya batuk pilek ringan. Gak panas tinggi. 

Seringkali merasa tidak sakit dan pulang ke rumah. Di rumah ada orang tuanya yang sudah lanjut usia, sudah menderita diabetes lama, ada yang hipertensi. Mereka ketularan. Maka gambaran dia yang ada di usia muda dengan yang orang lanjut usia akan beda banget. 

Padahal, selama di rumah, juga perlu diterapkan jaga jarak, karena di rumah orang tuanya sendiri. Menular lah di situ. 

4. Apakah ini yang menyebabkan anggota keluarga lain juga rentan tertular karena tidak ada jaga jarak di dalam rumah?

[WANSUS] Jubir: Banyak Pasien yang Meninggal Saat Ini Dikira COVID-19www.twitter.com/@ijey

Kami kan bertanya kepada pasien di rumah sakit; 'kamu kontak dekat dengan siapa kurang dari satu meter, akrab gitu?' Lalu dijawab; 'itu banyak, Pak'. Ketika apakah di rumah ada kontak dekat, pasien itu bilang tidak terlalu, tapi temannya di kantor. Akhirnya setelah kami tracing, ternyata orang (yang di kantor) positif (COVID-19) juga. Artinya, gambaran klasik ini bisa disaksikan di kasus-kasus masa lalu dan awal kemunculan penyakit. 

5. Bagaimana proses penelusuran kontak dekat terhadap pasien COVID-19?

Biasanya setelah ada pasien yang positif COVID-19, kami akan menanyakan alamatnya. Setelah itu tim dari dinas kesehatan akan menanyakan ke orang-orang di alamat itu untuk nanya siapa saja yang dekat si pasien. Yang sudah pasti yang tinggal satu rumah pasti. 

Kemudian, yang tinggal di rumah yang sama, dilakukan rapid test, skrining. Kemudian ditanyakan lagi riwayatnya selama 14 hari terakhir ke mana saja. Dijawab masih kerja. Lalu, kami tanya kantornya di mana. Kami tanya juga di kantor itu ada berapa orang dalam satu ruangan. Dari sana kami datangi juga kantornya. Model pelacakan seperti itu di seluruh Indonesia. 

Mengapa kami terus lakukan seperti itu karena kami ingin mencari kasus positif COVID-19 yang ada di luar rumah sakit. Tujuannya agar segera dilakukan isolasi biar tidak menular ke tempat orang lain. 

Isolasi itu tidak harus dimaknai dirawat di rumah sakit kan. Mana kala misalnya dia masih muda, keluhannya ringan, kita berikan advice agar isolasi di rumah saja. Bagaimana caranya agar ia tidak menularkan orang di rumah? Pertama, dia harus mengenakan masker. Kedua, jaga jarak dengan anggota keluarga di rumah, ketiga, untuk sementara gak usah makan bareng deh. Karena kalau makan kan, maskernya dilepas. Keempat, kami juga ingatkan hati-hati kalau bersin dan pakai masker. Oleh sebab itu kuncinya ada di pola PHBS (Pola Hidup Bersih Sehat). 

Sering kali karena kita akrab di rumah gitu ya, begitu tiba di rumah lalu merasa capek dan merasa haus, buka kulkas, botol minum itu langsung diminum saja dan gak dituang ke gelas. Setelah itu dari botol yang sama diminum oleh anggota keluarga lain di rumah. 

Hal-hal semacam ini lah yang harus kita putuskan. Kalau ini bisa diputuskan, maka rantai penularan Insya Allah bisa diputuskan. Bila penularannya berhasil diputus, maka virus ini akan hilang dengan sendirinya. 

Misalnya kita berdua, ada satu yang sakit dan satu lagi enggak. Saya akhirnya tertular, kemudian Anda sembuh dan saya sembuh. Virus ini kan sudah gak ketemu (inang lagi). Ke sana sudah kebal, ke sini (saya) juga sudah kebal. Akan ada Imunoglobulin yang muncul sebagai antibodi dia

6. Tapi, di beberapa negara lain ditemukan kasus orang yang sudah sembuh justru tertular COVID-19 lagi. Bagaimana penjelasan soal itu?

Setiap infeksi virus pasti memberikan kekebalan (ke tubuh), problemnya seberapa lama kekebalan itu muncul. Kalau penyakit hepatitis, kita sudah punya kajian ilmiahnya kebal seumur hidup. Sementara, untuk penyakit meningitis ketika hendak naik haji hanya berlaku dua tahun. 

Sedangkan, ini kan virus baru yang baru kita kenal. Berapa lama (daya tahan tubuh bisa bertahan) kami belum tahu. 

7. Kini penambahan pasien COVID-19 bertambahnya setiap hari mencapai ratusan. Itu sudah diprediksi sebelumnya oleh Kemenkes?

Kalau melihat penambahan grafik per hari dulu ya itu kan naiknya hanya dua, lalu melonjak jadi 7, lalu ke-34. Sekarang, sudah berada di angka ratusan tiap hari. Artinya, dalam tanda petik, ini sudah agak stabil. 

Tetapi, saya memaknainya dua, apakah penambahan jumlah pasien positif COVID-19 di luar hanya segitu. Ini yang memang kami harapkan bisa terkendali atau kapasitas laboratoriumnya hanya sanggup memeriksa segitu. 

Oleh sebab itu, di data awal, kami tidak akan mengambil kesimpulan apapun terkait interpretasi data itu. Kami melihatnya ini masih terjadi penularan di luar (rumah sakit). Jadi, kami tidak melihat sudah agak terkendali. Tetapi, ini berarti penularan masih terjadi di luar. 

Karena dalam gambaran kami ini sudah local transmission kok. Ini sudah bukan imported case kok. Angka imported case sudah tidak signifikan. 

Kalau dulu kan harus datang dari luar masuk (ke Indonesia). Sekarang sudah saling menular semua di dalam (Tanah Air). Walau pintu (masuk ke Indonesia) sudah ditutup, tetapi penularan kan jalan terus. 

8. Bukankah kurva penularan COVID-19 bisa terus semakin meningkat karena pekerja RI di luar memutuskan pulang?

[WANSUS] Jubir: Banyak Pasien yang Meninggal Saat Ini Dikira COVID-19(Gambar protokol pulang ke rumah usai bepergian) IDN Times/Arief Rahmat

Pasti, bisa. Bukan berarti ada local transmission ini, lalu kami melonggarkan pengawasan dari luar, tidak. Tetapi, kami harus melakukan pengawasan. 

Ketika nanti banyak pekerja migran yang datang, kita kan tetap harus melakukan prosedur yang sebelumnya toh? Datang dilakukan pemeriksaan, bahkan, kita akan lakukan rapid test dan dikarantina. 

Tetapi, bukan berarti yang terjadi (penularan) di dalam ini harus nunggu dari luar, karena sudah tidak lagi. Kalau kita tanya ke pasien, apakah mereka pernah ke luar negeri, jawabannya enggak. Artinya, orang tidak perlu ke luar negeri untuk bisa terkena penyakit ini. Ekstremnya ini pernah terjadi di kapal pesiar Diamond Princes

9. Mengapa Kemenkes tidak menggandeng lebih banyak laboratorium untuk mempercepat proses hasil tes?

Semula kan kita memiliki 38 laboratorium. Itu semua yang kita gandeng dari perguruan tinggi, swasta dan sebagainya.

Mengapa laboratorium ini tidak bisa banyak, satu ini pemeriksaan virus. Ada sebuah standar yang berlaku di seluruh dunia, laboratorium untuk memeriksa virus harus BSL (Bio Security Level 2). Artinya, kita ketika memeriksa virus, harus ada bio safety. Virusnya gak boleh tertular ke orang yang mengerjakan. Bio security, virus tidak boleh lepas keluar sehingga menular ke lebih banyak orang. Sehingga tidak semua orang, laboratorium mampu melakukan itu. 

Di Indonesia setelah dihitung-hitung hanya 38, yang existing di Indonesia hanya segitu. Sudah kami maksimalkan. 

Kemudian, setelah AS menggunakan mesin yang baru TCM. Mesin itu menggunakan catridge khusus. Kalau memang TCM, lho di Indonesia, mesin itu sudah ada di 132 rumah sakit. TCM biasanya kami gunakan untuk pengobatan TBC yang resisten terhadap obat. 

Oleh karena itu, kami berpikir mesin ini juga bisa digunakan (untuk memeriksa hasil tes COVID-19), Tetapi, setelah kami cek ke pabriknya harus ada catridge khusus dan ada setting sedikit dari alat. Per malam ini, sudah masuk 100 catridge untuk kalibrasi mesin. Kita tinggal membiasakan SDM. 

Kemudian, kami akan mendatangkan 112 ribu catridge. Nanti, akan kami aktifkan 132 mesin ditambah 38 laboratorium. TCM ini bisa digunakan untuk memeriska hasil tes PCR yang closed circuit. 

10. Apakah PSBB sudah menjadi metode yang tepat yang dipilih Indonesia untuk menahan laju penyebaran COVID-19?

[WANSUS] Jubir: Banyak Pasien yang Meninggal Saat Ini Dikira COVID-19(IDN Times/Arief Rahmat)

Ketentuan ini kan menjalankan UU lama sebelumnya nomor 6 tahun 2018 mengenai karantina. Itu ada tahapan-tahapannya. Diawali dengan satu karantina rumah, kedua karantina rumah sakit, ketiga, karantina wilayah dan ada PSBB. Artinya, kita berjalan pada sistem ini. Mari kita lihat dulu definisi karantina dulu. 

Karantina itu sebenarnya membatasi sebaran penyakit. Kalau kita berbicara dalam konteksi COVID-19, faktor pembawanya adalah manusia. Kalau malaria faktor pembawanya nyamuk. Berarti yang harus diatur adalah pergerakan orang nih. Mereka sebagai pembawa penyakit itu kami batasi. 

Oleh sebab itu, pembatasan sosial dimaknai dengan pembatasan aktivitas sosial orangnya. Sebenarnya kan dari dulu sudah diwujudkan dengan nama 'social distancing' kemudian diubah menjadi 'physical distancing'. Kemudian bekerja, belajar dan beribadah dari rumah. Lalu, dianjurkan tidak keluar rumah kecuali kalau penting banget.

Itu yang kita namakan membatasi aktivitas sosial dan bukan hubungan sosial. Ternyata setelah berjalannya waktu upaya satu-satunya cara untuk menghentikan penyebaran ini tidak berjalan dengan baik. Ini lah yang kemudian kita inginkan agar berskala luas. 

Misalnya tempat-tempat yang menimbulkan kerumunan seperti hang out ke kafe, ya sudah dalam situasi seperti ini, kafenya tutup dulu. Restoran tetap dibolehkan buka tapi hanya melayani pesanan take away saja. Kadang-kadang kalau kita makan di restoran atau warung, kita tidak tahu siapa yang di depan atau belakang kita. 

Rumah sakit harus buka, begitu juga apotik. Lalu, toko sembako tetap buka. Untuk sementara waktu dan terpaksa toko pakaian tutup deh. Kemudian, kami dorong untuk melakukan bisnisnya secara online. 

Artinya, ada pembatasan sosial dalam skala lebih besar agar mengurangi pergerakan sosial orang untuk memperkecil ruang untuk ketemunya orang pada jarak yang tidak aman. Di sini potensi penularannya. 

PSBB itu tidak menghilangkan upaya tracing dan skrining. Kami justru malah lebih intens melakukannya. Di satu sisi kalau kami melakukan tracing tetapi orang tetap mondar-mandir kan sama saja dengan kejar-kejaran (penyakitnya).

11. Mengapa opsinya tidak memberlakukan lockdown total saja?

Karena tak semua tempat sukses memberlakukan lockdown. Satu contoh seperti di kapal pesiar Diamond Princess yang lepas jangkar di Yokohama. Otoritas di Jepang mengatakan Anda harus di-lockdown, tidak boleh keluar (dari kapal). Apa yang terjadi? Dalam waktu singkat ada 20 persen kasus baru. 

Kapal itu berubah menjadi episentrum baru karena orangnya hanya muter-muter di situ saja. Jadi, bukan menahan sesuatu di tempat tertentu tetapi membuat jarak. 

Ada implikasi yang cukup banyak bila kita menutup, bukan sekedar penyakitnya tapi kehidupan sosial menjadi masalah. Di Indonesia juga kan tidak ada satu pun daerah yang mandiri. Anda tahu dari mana asal sembakonya, berasnya, sayur dipasok dari mana. 

Toh, ada juga negara yang tak menerapkan lockdown dan berhasil. Tapi, yang menyebabkan sukses itu bukan karena tes massal, melainkan physical distancing bukan ngetesnya. Kemudian PHBS (pola hidup bersih dan sehat). 

12. Apakah ada kemungkinan Indonesia juga menjadi episentrum COVID-19?

Saya tidak melihatnya pada angka yang terpotong. Apalagi ketika berbicara mengenai virulensi sebuah penyakit. Karena prosentase kematian dihitung dari rumus berapa yang meninggal dibagi berapa yang positif dikalikan seratus persen, kalau yang (jumlah pasien) positif bertambah terus, maka prosentasenya akan turun. Sementara, kalau kasus positif tidak bertambah, sedangkan yang nambah naik kasus meninggal prosentasenya naik. 

Bila kita melihat data beberapa waktu lalu ada yang lebih mengerikan lagi di Provinsi Bali. Yang meninggal 1, yang positif satu, berarti kan prosentase kematiannya 100 persen. Ketemu satu kasus positif dan meninggal, berarti itu kan 100 persen tingkat kematiannya. 

Apakah kemudian COVID-19 dipersepsikan jahat banget sehingga yang meninggal 100 persen, kan tidak. Oleh sebab itu, kami tidak terlalu terpaku dengan angka itu, ini sesuatu variabel yang dinamis dan tidak bisa untuk mengukur keganasan penyakit. 

Kalau sekarang ini kami yakini kasus positif bukan hanya data yang kami miliki, karena itu semua berdasarkan data konfirmasi laboratorium. 

13. Mengapa bisa terdapat perbedaan data soal jumlah kasus positif dan kematian COVID-19 di pusat dengan daerah?

[WANSUS] Jubir: Banyak Pasien yang Meninggal Saat Ini Dikira COVID-19(Angka pemakaman di DKI Jakarta yang melonjak drastis di bulan Maret 2020) IDN Times/Sukma Shakti

Ada 38 laboratorium (sekarang sudah naik jadi 70) yang menerima spesimen dari rumah sakit mana pun atau dari pemeriksaan mana pun. Hasil pemeriksaannya dikirim ke kami di pusat. 

Di kami direcap dalam data yang besar, disertai dengan keterangan lengkap. Katakan kami mendapatkan data dari Balai Besar Pemeriksaan di Surabaya. Hari ini mereka meeriksa 50 (spesimen), tetapi ini yang jadi problem hasilnya baru ketahuan dua hari lagi, karena memang mesinnya begitu. 

Dari pemeriksaan hanya lima misalnya yang diketahui positif. 45 dikatakan negatif dan data itu masuk ke kami. 

Setelah masuk ke saya, data ini kemudian dimasukan lagi ke rumah sakitnya untuk dipegang oleh mereka dan menjadi data pegangan agar bisa disampaikan ke pasien. 

"Oh, bapak ternyata hasilnya negatif dan boleh pulang. Oh ini positif, harus diisolasi." Ketika ada yang diisolasi maka data ini disampaikan ke dinas, maka dinas lah yang melakukan tracing. Pada saat tracing, mereka akan menemukan kasus yang dicurigai dengan menyebutnya sebagai "ODP" atau "PDP". Atau masih konfirmasi dari hasil rapid test. Sebab, rapid tes dengan PCR kan berbeda. 

Data ini lah yang kemudian simpang siur sehingga tidak sama. Salah satu contoh mengenai angka kematian. Dari data kita berdasarkan hasil pemeriksaan pasien, kalau dia meninggal maka dimasukan ke dalam penghitungan. 

Tetapi, ada orang yang meninggal di daerah tapi hasil laboratoriumnya belum keluar. Jadi, ragu-ragu ini (mereka mau mencatat) disebut karena apa. Yang paling gampang ya disebut karena COVID-19. Jadi, disebut di daerah yang meninggal sudah dua, padahal di data kami hanya satu (yang meninggal). 

Kami memilih menunggu (hingga hasil tes laboratoriumnya keluar). Kalau benar hasilnya meninggal, kami susulkan datanya yang meninggal itu. Tetapi, sering kali sekarang semuanya menduga meninggalnya karena COVID-19 tanpa ada konfirmasi dan diterjemahkan sendiri oleh daerah. 

Saya sempat merasa lucu juga ada pasien yang meninggal karena (penyakit) jantung. Tetapi, karena sedang musim COVID-19, saya banyak ditanya media untuk konfirmasi. Saya tanya ke rumah sakit apa betul itu pasien COVID-19. Rumah sakit mengatakan itu pasien jantung. 

Implikasi ke pasien itu bukan hanya ia disebut tertular COVID-19, karena saat pemakaman jadi gak ada yang mau terima. Ini lah yang membuat blunder. 

14. Apakah laboratorium tidak bisa mempercepat proses pengetesan spesimen COVID-19 agar tak memakan waktu dua hari?

Kalau untuk mesin pemeriksaan tes PCR di Indonesia ya harus memakan waktu dua hari. Makanya, kami akan menggunakan mesin dari Amerika Serikat yang namanya TCM itu. Hasilnya bisa keluar dalam waktu lima jam. 

Kalau soal urutan pasien, kami menyerahkan ke hasil laboratorium. Bukan berdasarkan siapa yang melapor lebih dulu atau meninggal duluan. 

Kalau lapor dulu, dasarnya apa pasien itu dikatakan terpapar COVID-19 kalau gak ada hasil laboratoriumnya. Bila disangka COVID-19, maka individu itu masuk PDP dong.

Ketika berbicara soal standar pemakaman, semua orang yang terkena penyakit menular, bukan hanya COVID-19, wafat karena AIDS, hepatitis pun, jasadnya dibungkus dengan plastik. 

Bagi kami yang terpenting di Kemenkes, kami menyampaikan berbasis data. Kami kan tidak bisa menyampaikan secara resmi dalam bentuk asumsi. Sebab, yang kami laporkan hari itu akan masuk ke WHO. 

15. Pengobatan apa yang diberikan kepada pasien yang sembuh dari COVID-19?

Ada standar yang sudah dibuat oleh Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), di antaranya pada pasien dengan kasus yang menengah sampai severed, di protokolnya kalau saya tidak salah baca oseltamivir ditambah dengan chloroquin. Jadi, obat ini kombinasi. 

Antibiotik itu diberikan mana kala ada infeksi sekunder. Jambu biji itu vitamin C dibanding lebih tinggi dibanding tablet yang kita konsumsi sehari-hati. Buah yang paling tinggi kandungan vitamin C nya itu jambu.  Tapi, saya juga perlu mengingatkan kalau ada yang memiliki riwayat gastritis, lambung atau maag, hati-hati jangan langsung konsumsi jambu biji di pagi hari. 

16. Dalam prediksi Kemenkes, kapan Indonesia akan keluar dari pandemik COVID-19?

Bagi kami semua teori matematik punya dasar. Bagi kami, Kemenkes, tidak berbicara bagaimana nanti, naiknya. Yang penting sekarang aja dikurangi dengan menjaga jarak, lalu mempraktikan cuci tangan. Itu saja dulu. 

Karena kalau kita bicara skenario terburuk, kita malah lupa berpikir agar jangan peristiwa itu tidak terjadi. Sebab, bila itu benar-benar terjadi Indonesia tidak akan mampu (menangani semua pasien). Amerika Serikat yang punya banyak sumber daya yang lebih baik dari Indonesia, tumbang juga. Begitu juga Italia. Kurang kaya apa kedua negara tadi dibandingkan Indonesia, toh tumbang juga. 

Oleh karena itu kita tidak berpikir bagaimana skenario terburuk dan hitung-hitungan kapasitas kita, sekarang yang paling penting bagaimana mencegah agar jangan sampai itu terjadi. 

https://www.youtube.com/embed/tjxHELqn72E

Baca Juga: Achmad Yurianto: Boleh Mudik saat Ada Virus Corona, tapi...

Topik:

Berita Terkini Lainnya