Ilustrasi masyarakat di kawasan hutan. (ANTARA FOTO/Anis Efizudin)
Andi kemudian menyoroti pasal ‘pemutihan’ atas kegiatan usaha yang terlanjur sudah berada di kawasan hutan. Perppu Ciptaker ini tak memberikan sanksi pidana bagi pelaku usaha di kawasan hutan yang tidak memiliki perizinan.
Pemerintah justru memberikan waktu kepada pelak usaha di kawasan hutan untuk menyelesaikan administrasi dalam kurun tiga bulan.
“UU Ciptaker memberi waktu kepada mereka untuk menyelesaikan persyaratan administrasi dalam kurun waktu tiga tahun. Dalam Perppu, isinya tak jauh beda, hanya menyebutkan spesifik batas waktu sampai 2 November 2023,” kata Andi.
Pasal 162 Perppu Ciptaker juga disebut berpotensi mengkriminalisasi masyarakat penolak tambang. Aturan ini disebut berpotensi menjadi pasal karet yang dapat digunakan untuk mengkriminaliasi masyarakat penolak kegiatan tambang.
Dalam pasal tersebut diatur sanksi berupa pidana kurungan paling lama satu tahun atau denda paling banyak Rp100 juta bagi orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan dari pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), Izin Pertambangan Rakyat (IPR) dan Surat Izin Pertambangan Batuan (SIPB).
“Jadi berdasarkan catatan di atas, pandangan kami soal subtansi tidak berubah, bahwa UU Ciptaker yang kini dilanjutkan dalam bentuk Perppu ini, memang mempreteli kerangka perlindungan lingkungan dan sosial," ujar Andi.