Ilustrasi sinagoge (Facebook/Yaakov Baruch)
Yahudi di Indonesia turut menghadapi aturan-aturan keagamaan yang mendiskriminasi kelompok minoritas. Seperti Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan Agama, Undang-Undang Administrasi Kependudukan, serta Surat Keterangan Bersama (SKB) atau Peraturan Bersama (Perber) Dua Menteri mengenai pembangunan rumah ibadah.
Menurut Ketua Pengembangan Organisasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Febionesta, aturan yang ada sebenarnya tidak menempatkan negara pada posisi meresmikan atau mengakui suatu agama. Melainkan, melindungi enam agama besar dari praktik penodaan agama.
Sayangnya, masyarakat dan kebanyakan pejabat cenderung salah memahami aturan tersebut. Islam, Katolik, Kristen, Buddha, Hindu, dan Konghucu malah dipahami sebagai agama “resmi” atau agama yang “diakui” negara.
Pemerintah seolah menjadi otoritas yang sah untuk “memverifikasi” agama. Lebih buruk lagi, miskonsepsi itu ternyata memengaruhi produk legislasi, praktik birokrasi, dan kehidupan sehari-hari.
Contoh sederhana adalah penulisan agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP). Penganut agama minoritas hanya memiliki dua pilihan, yaitu mengaku sebagai salah satu pemeluk enam agama atau mengosongkannya. Diskriminasi serupa berlanjut pada pencatatan kelahiran, perkawinan, bahkan kematian.
Salah satu penganut Yahudi di Manado, Vecky Ashalom menceritakan, meski pernikahannya dijalankan sesuai ritual Yahudi, tapi untuk pencatatan sipil dia terpaksa meminta surat pernikahan dari gereja.
“Susah kalau pure ingin semuanya (dari ritual sampai pencatatan) secara Yahudi,” kata Vecky, kepada IDN Times.
Di sektor pendidikan, pemerintah tidak menyediakan pengajar agama di sekolah-sekolah selain enam agama yang telah “diakui”. Adapun mereka yang kolom agamanya dikosongkan, harus siap untuk dicap sebagai atheis atau bahkan penganut ajaran sesat.
“Tak adanya pengakuan terhadap kelompok agama minoritas di luar agama ‘diakui’ dalam administrasi kependudukan, pada praktiknya telah mendorong aksi intoleransi di tengah masyarakat,” tulis Febi, sebagaimana dikutip dari laman ylbhi.or.id.
Yaakov, yang baru 10 tahun menganut Yahudi, tidak mau ambil pusing dengan kolom agama. Sebab aturan KTP yang telah berlaku seumur hidup, sehingga dia tidak memiliki kewajiban memperbarui kolom agama. Di samping itu, dia merasa pengakuan negara tidak berdampak pada kadar keimanannya.
Kebanyakan penganut Yahudi di Indonesia baru kembali ke ajaran nenek moyangnya ketika sudah dewasa. Sekalipun memutuskan untuk menganut Yahudi sejak lahir, mereka tetap menulis agama lain di kolom agama KTP.
“Kelompok Yahudi Mizrachi di Surabaya (ada yang menganut Yahudi sejak lahir). Tapi di KTP ditulis agama lain,” kata Benjamin Meijer Verbrugge, satu-satunya Rabbi atau pemuka agama Yahudi di Indonesia, kepada IDN Times.
Benjamin ditahbiskan sebagai Rabbi Modern oleh Rabbi Mentor beraliran konservatif dan reform, setelah menamatkan studinya di Jewish Learning & Instruction Institute Rodfei Kodesh Chicago. Kemudian, dia ditahbiskan sebagai full Rabbi oleh Josep H. Gelberman di Rabbinical Seminary of New York, Amerika Serikat. Saat ini, di bawah bimbingan Rabbi Orthodox, dia sedang mempersiapkan studi lanjutan bakal kerabian Yahudi Orthodox.
Rabbi Ben juga mendirikan The United Indonesian Jewish Community (UIJC), yang merupakan paguyuban penganut Yahudi di Indonesia. Organisasi yang berdiri pada 28 Oktober 2010 itu telah memiliki 168 anggota, yang tersebar di berbagai kota. Di antara anggotanya adalah Vecky dan Yaakov.
Umat Yahudi juga kesulitan untuk melakukan ibadah Sabat yang dilaksanakan setiap Jumat sore hingga Sabtu sore. Menurut Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM), Beka Ulung Hapsara, perusahaan, terutama milik negara, wajib memberikan izin kalau ada pegawainya yang mengaku Yahudi dan ingin melakukan Sabat.
“Bila tidak diberikan izin, maka bisa dikatakan mereka telah melakukan pelanggaran HAM,” ungkap Beka.
Yaakov bercerita, ibadah Sabat yang dijalaninya kerap tidak sempurna karena masalah pekerjaan. “Dulu sih kantor libur hari Sabtu, jadi gak terlalu masalah. Tapi ya karena banyak kendala dan pekerjaan, jadi masih sering melanggar juga,” ungkapnya.
Sabat adalah hari istirahat untuk beribadah dalam Yahudi yang dirayakan dari sebelum matahari terbenam pada hari Jumat hingga Sabtu malam. Sabat melarang penganut Yahudi menjalankan sejumlah aktivitas, seperti bercocok tanam, memasak, bekerja, menjahit, bahkan mematikan atau menyalakan lampu. Hal itulah yang menyebabkan umat Yahudi harus memiliki waktu khusus agar khusyuk menjalankan Sabat.
Sementara itu, Rabbi Ben, menganggap pelaksanaan ibadah Sabat di tengah pandemik COVID-19 sebagai “berkah” di tengah musibah.
“Karena disuruh diam di rumah, jadi gak perlu ke mana-mana. Tapi ya karena gak bisa ibadah bersama, jadi kami Sabat pakai online. Sebenarnya gak boleh pakai teknologi, ada juga Rabbi lain (luar negeri) yang protes sama saya, tapi yang lain minta saya untuk bisa kasih ceramah dan doa, ya saya bilang gak apa-apa demi keimanan,” sambung lelaki yang bermukim di Lampung itu.
Merujuk kepada Undang-Undang Dasar 1945 dan sila pertama Pancasila, Beka menjelaskan bahwa kewajiban pemerintah adalah melindungi seluruh warga negara tanpa membedakan latar belakang.
Artinya, meski Yahudi bukan agama yang “diakui”, negara tetap wajib memberikan perlindungan kepada penganutnya. Negara juga tidak boleh membatasi hak beragama mereka.
“Hak beragama mereka sama dengan enam agama yang ‘diakui’, menjalankan kepercayaan dengan bebas, punya pilihan bebas memilih agama dan kepercayaan, punya rumah ibadah, memiliki hak untuk berekspresi keagamaan,” terang dia.
Lelaki kelahiran Cilacap 1975 itu menambahkan, “yang berbeda adalah kalau kita bicara soal ekspresi keagamaan, tidak semua umat beragama bebas berekspresi. Contohnya, Yahudi kalau mau sosialisasikan tentang agamanya, bisa jadi mereka dapat serangan, dapat tekanan.”
Sebenarnya, hak beragama dan kebebasan untuk mengekspresikan ajaran agama adalah bagian yang tak terpisahkan dari HAM. Kewajiban negara juga untuk melindunginya. Tapi, negara hampir selalu tidak optimal dalam mengawasi dua hal tersebut. Alhasil, keberadaan Yahudi bak terkungkung dalam kotak, diberikan ruang tapi tidak bebas bergerak.
“Kalau ngomong hak, semuanya sama tanpa membedakan. Tapi kalau ngomong implementasi, itu baru beda. Jangankan Yahudi, yang sudah diakui saja, negara tidak bisa menjamin, hanya slogan,” kata Beka.
Sepengetahuan Beka, Komnas HAM belum pernah menerima aduan diskriminasi dari penganut Yahudi.
Sebaliknya, Rabbi Ben mengatakan, kelompok yang dibimbingnya pernah melapor ke Komnas HAM pada 2014, lantaran anggotanya dipukuli oleh empat jemaat Gereja Presbiterian.
Menurut Rabbi Ben, aduan itu ditindaklanjuti Komnas HAM dengan menegur gereja. Tapi, permintaan maaf tidak pernah diterima korban dan institusi keagamaan terkait.
Isu diskriminatif lainnya adalah SKB atau Perber Dua Menteri mengenai pembangunan rumah ibadah. Sebelum membangun rumah ibadah, disyaratkan mengumpulkan 90 KTP pengguna rumah ibadah, 60 KTP dari penduduk sekitar, rekomendasi kantor departemen agama kabupaten/kota, serta rekomendasi dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).
Menurut Beka, aturan itu memberatkan minoritas karena belum tentu penganut agamanya berjumlah 90 orang. “Terus rekomendasi juga harus bersinggungan dengan kepentingan politik pribadi atau golongan. Ya inilah, kadang-kadang negara kalah dengan kepentingan politik dan agama,” terang dia.
Satu-satunya rumah ibadah Yahudi yang masih aktif hingga hari ini adalah sinagoge di Manado. Sebelumnya, ada juga sinagoge Beth Shalom di Surabaya yang sudah berdiri sejak 1948. Namun, bangunan itu sudah rata dengan tanah sejak 2013 seiring konflik internal Yahudi dan resistensi dari kelompok intoleran.
Rabbi Ben tidak mau direpotkan dengan prosedur rumah ibadah. Menurutnya, umat Yahudi bisa beribadah di mana saja. Bila beribadah di ruang publik malah membahayakan jemaatnya, maka dia lebih menganjurkan untuk beribadah di rumah.
“Saya bahkan pernah lho ibadah 1,5 tahun di apartemen, itu orang gak ada yang tahu. Karena memang ibadahnya Yahudi tidak ramai,” kata Rabbi Ben.
Meski terkesan tidak mengeluh, Beka justru khawatir apa yang umat Yahudi rasakan merupakan sindrom minoritas. “Pada akhirnya mereka merasa negara tidak hadir, mereka pasrah, sehingga kalaupun nanti negara hadir, tidak akan ada bedanya.”