Sejarah Hak Angket DPR, Pernah Dipakai Era Soekarno hingga Jokowi

Jakarta, IDN Times - Hak angket DPR belakangan kembali mengemuka usai pihak paslon nomor urut satu, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan paslon nomor urut tiga, Ganjar Pranowo-Mahfud MD mendorong pengusutan dugaan kecurangan Pemilu 2024.
Menurut berbagai catatan sejarah, hak angket pertama kali dipakai pada era kepemimpinan Presiden pertama RI, Soekarno.
Kala itu, pada tahun 1950-an Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA), R. Margono Djojohadikusumo mengusulkan agar DPR menggunakan hak angket untuk menyelidiki untung-rugi penggunaan devisa oleh pemerintah sesuai dengan UU Pengawasan Devisen tahun 1940. Namun hingga terbentuk kabinet hasil Pemilu 1955, nasib angket tersebut tidak jelas.
Selanjutnya, pada masa Presiden Soeharto tahun 1980, DPR pernah menggulirkan hak angket karena ketidakpuasan atas jawaban soal kasus yang menyangkut H Thahir dan Pertamina. DPR merasa tidak puas dengan pernyataan yang disampaikan Soeharto dan Mensesneg Sudharmono dalam Sidang Pleno DPR pada 21 Juli 1980.
Saat itu, panitia angket terdiri dari 20 orang (14 orang dari FPDI, 6 dari FPP). Namun angket ini berujung penolakan oleh Sidang Pleno DPR.
Kemudian, hak angket juga pernah digunakan DPR pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Gus Dur kala itu mengeluarkan memorandum tentang pembubaran parlemen. Memorandum itu pun disambut dengan hak angket DPR tentang kasus Bulog dan sumbangan sultan Brunei (Buloggate dan Bruneigate) pada tahun 2000.
Selain hak angket, pada era pemerintahan Gus Dur juga ada beberapa hak interpelasi yang digulirkan DPR. Hingga akhirnya pada tahun 2001, Gus Dur di-impeach dan digantikan oleh Megawati Soekarnoputri yang kala itu merupakan Wakil Presiden RI.
Pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri hak angket DPR juga digunakan untuk menyelidiki dana nonbujeter Bulog terkait kerugian negara Rp40 miliar.
Kala itu diduga terjadi penyelewengan dana nonbujeter Bulog. Pengadilan pun sudah memvonis pejabat yang terlibat kasus itu. Namun pada saat bersamaan, DPR menggunakan hak angket sehingga putusan pengadilan pun menguap begitu saja.
Hak angket DPR pun dipakai DPR untuk mengusut sejumlah kasus pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), di antaranya terkait hak angket penjualan kapal tanker Pertamina, kasus BLBI, Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2009, dan kasus Century.
Terakhir, hingga jelang akhir pemerintahan Presiden Joko "Jokowi" Widodo, DPR baru sekali mengajukan hak angket.
Hak angket itu terkait Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2017. Pengajuan hak angket oleh DPR itu imbas KPK menyelidiki kasus korupsi e-KTP yang melibatkan Ketua DPR RI saat itu, Setya Novanto.
1. Hak angket DPR diatur dalam UU Nomor 17 Tahun 2014
DPR RI dalam menjalankan tugas dan fungsinya, khususnya terkait pelaksanaan fungsi pengawasan, mempunyai tiga hak. Salah satu di antaranya hak angket.
Aturan tentang hak angket DPR RI tertuang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Dalam Pasal 73 UU Nomor 17 Tahun 2014 dijelaskan bahwa, "Dalam hal pejabat negara dan/atau pejabat pemerintah sebagaimana dimaksud pada Ayat 2 tidak hadir memenuhi panggilan setelah dipanggil tiga kali berturut-turut tanpa alasan yang sah, DPR dapat menggunakan hak interpelasi, hak angket, atau hak menyatakan pendapat atau anggota DPR dapat menggunakan hak mengajukan pertanyaan".
Kemudian, tentang pengusulan hak angket termuat dalam Pasal 199 UU Nomor 17 Tahun 2014. Dijelaskan bahwa hak angket diusulkan oleh paling sedikit 25 orang anggota DPR RI dan lebih dari 1 fraksi kepada pimpinan DPR RI dalam rapat paripurna dan dibagikan kepada semua anggota.