Yusril Dicibir karena Nilai Hak Angket DPR soal Usut Pemilu Tak Tepat

Jakarta, IDN Times - Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Indonesia (UI), Yusril Ihza Mahendra, mendapat cibiran dari warganet usai mengomentari soal wacana hak angket DPR untuk menelusuri dugaan kecurangan Pemilu 2024.
Warganet di jejaring media sosial menilai, Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) itu tidak konsisten karena membuat narasi yang kontradiktif.
Dalam pernyataannya baru-baru ini, Yusril menyebut bahwa hak angket tidak tepat digunakan untuk mengusut dugaan kecurangan pemilu.
1. Warganet sindir kicauan Yusril yang dianggap kontradiktif dengan sikap saat ini

Sejumlah warganet mengkritisi sikap Yusril saat ini terhadap hak angket dengan mengingatkan kembali pernyataan kicauan yang pernah dibuat beberapa tahun lalu.
Salah satu akun Twitter yang mengkritisi, @ch_chotimah2 mengatakan, dirinya menolak lupa. Pasalnya, Yusril sempat menyebut dalam kicauannya bahwa hak angket untuk menyelidiki kekacauan DPT pernah digunakan pada Pemilu 2009.
Akun itu juga mengutip cuitan Yusril lainnya soal pemilu curang.
"Menolak lupa. DPR dulu pernah gunakan hak angket untuk menyelidiki kekacauan DPT Pemilu 2009," cuit akun itu mengutip kicauan Yusril pada 2014 lalu.
"Kalau pemilu curang maka penjahat politik dan koruptor lah yang berkuasa di negara ini. Demokrasi mati seketika. #DukungHakAngket kawal demokrasi," sambung dia.
2. Yusril sebut perselisihan hasil pemilu tak tepat melalui hak angket

Sebelumnya, Yusril menilai langkah koalisi pasangan capres-cawapres nomor urut satu dan tiga yang berencana menggunakan hak angket dugaan kecurangan Pemilu 2024 tidak tepat.
Menurut Yusril, pihak yang tidak puas terhadap hasil Pemilu 2024 dapat membawa hal tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK). Hal itu diatur dalam Pasal 20A Ayat 2 UUD 1945 bahwa hak angket dikaitkan dengan fungsi parlemen yang melakukan pengawasan yang bersifat umum terhadap hal apa saja yang menjadi objek pengawasan parlemen.
"Apakah hak angket dapat digunakan untuk menyelidiki dugaan kecurangan dalam pemilu? Dalam hal ini pilpres oleh pihak yang kalah? Menurut hemat saya, tidak. Karena di dalam UUD 1945 telah memberikan pengaturan khusus terhadap perselisihan hasil pemilu yang harus diselesaikan melalui Mahkamah Konstitusi (MK)," ujar dia, dikutip dalam keterangan tertulis, Jumat (23/2/2024).
Mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) itu menjelaskan, dalam Pasal 24C UUD 1945 dengan jelas mengatakan salah satu kewenangan MK adalah mengadili perselisihan hasil pemilihan umum. Dalam hal ini, MK dapat mengadili pilpres pada tingkat pertama dan terakhir. Yusril pun mengingatkan putusannya bersifat final dan mengikat.
Menurut Yusril, para perumus amandemen UUD 1945 nampaknya telah memikirkan bagaimana cara yang paling singkat dan efektif untuk menyelesaikan perselisihan hasil pemilu yaitu melalui MK.
3. Penggunaan hak angket berpotensi berujung chaos

Lebih lanjut, Yusril mengatakan, penggunaan hak angket bisa menyebabkan perselisihan hasil Pilpres 20234 berlarut-larut tanpa kejelasan kapan akan berakhir.
"Hasil angket pun hanya berbentuk rekomendasi atau paling jauh adalah pernyataan pendapat DPR," kata pendukung pasangan capres-cawapres nomor urut dua, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka itu.
Sementara, menurut Yusril, putusan MK lebih memberikan kepastian hukum. Penggunaan hak angket malah akan membawa Indonesia ke dalam ketidakpastian.
"Justru berpotensi berujung kepada chaos yang harus kita hindari. Kalau niatnya mau memakzulkan Presiden Jokowi, maka akan membawa negara ini ke dalam jurang kehancuran," ujarnya.
Proses pemakzulan pun memakan waktu yang relatif panjang. Dimulai dengan angket yang direncanakan pasangan capres-cawapres nomor urut satu dan tiga, hingga diakhiri pernyataan DPR bahwa presiden telah melanggar ketentuan yang diatur dalam UUD 1945 Pasal 7B. Pasal 7B berisi usulan pemberhentian presiden atau wakil presiden.
Dalam Ayat 1 tertulis usulan pemberhentian presiden dapat dimulai dari pengajuan DPR kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dengan lebih dulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa presiden telah melakukan perbuatan pelanggaran hukum.
Pelanggaran yang dimaksud mulai dari pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela.
Baca berita terbaru terkait Pemilu 2024, Pilpres 2024, Pilkada 2024, Pileg 2024 di Gen Z Memilih IDN Times. Jangan lupa sampaikan pertanyaanmu di kanal Tanya Jawab, ada hadiah uang tunai tiap bulan untuk 10 pemenang.