Sekolah Rakyat Prabowo, Harapan Anak Miskin atau Diskriminasi Baru?

- Glensky dan Fadilah, anak miskin, tersenyum masuk Sekolah Rakyat dengan perlengkapan gratis.
- Sekolah Rakyat menyasar anak-anak dari keluarga miskin dan ekstrem untuk memutus rantai kemiskinan.
- Anggaran sebesar Rp1,19 triliun disiapkan untuk mendukung pelaksanaan program Sekolah Rakyat di seluruh Indonesia.
Jakarta, IDN Times – Langkah Fadilah Pratama (12) tak secepat teman-temannya. Ia berjalan pelan, menyeret sandal jepit yang sudah usang, di tengah barisan anak-anak berseragam rapi dengan sepatu hitam mengilap.
Mimpi Fadil hampir terkubur oleh kerasnya dunia, kini mulai perlahan hidup. Pantauan IDN Times, Fadil dan 75 anak yang masuk kalangan miskin dan miskin ekstrem tampak tersenyum dan semangat saat memasuki Gedung Sentra Handayani di Jakarta Timur, tidak sabar mengikuti pembelajaran di Sekolah Rakyat yang akan dimulai pada 14 Juli mendatang.
Program Sekolah Rakyat merupakan inisiatif Presiden Prabowo, yang menyasar anak-anak dari keluarga masuk dalam Desil 1 dan 2 Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Tahun ini, program akan dimulai di 100 titik rintisan di seluruh Indonesia.
Namun, dari 100 titik lokasi Sekolah Rakyat, baru 63 yang siap pada 14 Juli mendatang. Sementara 37 titik lokasi ditargetkan menyusul pada akhir bulan.
Penelusuran IDN Times, di Sentra Handayani terdapat gedung baru untuk Sekolah Rakyat yang sudah siap menyambut siswanya, meski ada beberapa bangunan yang belum siap dihuni. Bentuk bangunan ini dirancang dengan arsitektur modern yang bersih dan fungsional, bau cat masih terasa di beberapa bagian. Warna putih dan oranye bata memberi kesan segar, dengan balkon berpagar merah sebagai aksen tegas.
Di tengah bangunan terdapat taman hijau dan jalur pejalan kaki beratap. Bangunan ini terbagi sejumlah bagian, salah satunya asrama putra dan putri yang terpisah.
Memasuki asrama, terdapat dua ranjang tingkat, lemari besi, serta meja belajar. Ruangan tersebut tampak lega dan hanya diisi empat siswa. Nama siswa tertulis di depan pintu asrama.
1. Senyum Glensky kenek dayung jadi penghuni asrama Sekolah Rakyat

Salah satu siswa, Muhammad Glensky (13), nampak bercanda dengan teman satu kamar meski belum mengenal lama. Dia dengan antusias menunjukkan peralatan sekolah yang didapat secara gratis, mulai tas, buku, sepatu, seragam, bahkan perlengkapan mandi.
"Senang banget, apalagi nanti katanya dapat laptop juga," ucapnya sambil memeluk buku.
Glensky mengatakan, dia bekerja membantu paman sebagai kenek perahu menyeberangkan penumpang di sungai kawasan Jakarta Utara dan terkadang mencari ikan.
Kala itu tak ada seragam sekolah. Tak ada jam istirahat. Hanya air sungai yang terus mengalir, dan tubuh kecil Glensky yang berdiri di ujung perahu, menantang arus dan panas matahari.
“Dapet dua puluh atau enggak, paling gede tiga puluh sih,” ucapnya pada IDN Times di gedung Sekolah Rakyat Sentra Handayani, Jakarta Timur, Rabu (9/7/2025).
Namun hari ini, Glensky tak lagi membawa dayung. Ia memeluk buku, mengenakan seragam baru. Senyumnya mengembang saat melangkah masuk ke asrama Sekolah Rakyat bersama temannya.
2. Sekolah Rakyat menyasar anak-anak dari keluarga miskin dan miskin ekstrem

Sekolah Rakyat adalah program strategis nasional gagasan langsung Presiden Prabowo Subianto untuk memutus rantai kemiskinan serta mempersiapkan Generasi Emas 2045.
Menteri Sosial Syaifullah Yusuf menjelaskan, Kementerian Sosial memang ditunjuk sebagai penanggung jawab operasional Sekolah Rakyat, namun penyelenggaraan ini merupakan kerja bersama lintas kementerian dan lembaga sebagaimana diatur dalam Inpres Nomor 8 Tahun 2025 tentang pengentasan kemiskinan.
“Banyak pihak terlibat sebagai pengarah dan pembina dari berbagai kementerian hingga BUMN, BKN, dan pemerintah daerah. Untuk mendukung pelaksanaan, telah dibentuk berbagai Satgas yang masing-masing dipimpin oleh kementerian teknis terkait. Karena itu, penting untuk dipahami bersama bahwa Kementerian Sosial tidak berjalan sendiri,” ucapnya.
Pria yang akrab disapa Gus Ipul itu mengatakan, saat ini masih ada anak-anak dari keluarga yang belum beruntung, yang putus atau bahkan belum pernah bersekolah. Sehingga Presiden Prabowo ingin mereka sekolah di tempat berkualitas.
"Presiden Prabowo ingin agar anak-anak kita memiliki pendidikan yang baik, sehingga ke depan lebih baik dari orang tuanya," katanya.
Gus Ipul menjelaskan, Sekolah Rakyat menyasar anak-anak dari keluarga miskin dan miskin ekstrem yang tidak atau belum pernah sekolah, maupun yang terancam putus sekolah.
Berdasarkan data BPS Susenas Maret 2024, terdapat 4.160.429 anak usia sekolah atau 7,63 persen yang tidak atau belum pernah sekolah dan tidak sekolah lagi. Selain itu, 74,51 persen kepala rumah tangga miskin ekstrem hanya berpendidikan SD ke bawah, menunjukkan kuatnya transmisi kemiskinan akibat rendahnya pendidikan orang tua.
Saat ini sebanyak 9.755 siswa telah terdaftar dalam tahap ini, dan jumlah itu akan bertambah pada tahap kedua yang ditargetkan menjangkau total 20 ribu siswa.
"Rekrutmen guru dan siswa sudah selesai, Alhamdulillah, besok saat mulai belajar, akan ada pemeriksaan kesehatan. Ini dicek rutin tiap tahun," ucap Gus Ipul.
Ia juga menekankan bahwa Sekolah Rakyat tidak menerapkan seleksi akademik. Sebagai gantinya, akan dilakukan pemetaan DNA talenta dan tes psikologi untuk mengenali potensi siswa. Teknologi yang digunakan dalam proses ini membantu guru memahami kekuatan dan arah profesi masa depan siswa.
"Tolong dicatat, tiga hal ini harus kita cegah yaitu bullying, kekerasan seksual, dan intoleransi. Ini wajib diawasi bersama. Siswa juga akan mendapat 6 set seragam, makan 3 kali sehari, dan perlengkapan belajar lengkap," tambah Gus Ipul.
3. Anggaran sebesar Rp1,19 triliun untuk Sekolah Rakyat

Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto menargetkan pembangunan 200 Sekolah Rakyat di seluruh Indonesia.
Tak main-main untuk mewujudkan Sekolah Rakyat program prioritas Prabowo, Kemensos membutuhkan tambahan anggaran sebesar Rp1,19 triliun untuk Kementerian Sosial (Kemensos) guna mendukung pelaksanaan program Sekolah Rakyat tahap pertama di tahun ini.
Gus Ipul menyampaikan bahwa anggaran Sekolah Rakyat telah mendapatkan restu dari Kementerian Keuangan dan Bappenas.
"Alhamdulillah, usulan kami untuk Sekolah Rakyat telah dibahas dan disetujui. Komisi VIII pun telah menyetujui dalam rapat ini," ujar Gus Ipul saat rapat kerja bersama di Nusantara II, Senayan, Jakarta, Senin (7/7/2025), yang dipimpin langsung oleh Ketua Komisi VIII DPR RI, Marwan Dasopang.
Tambahan anggaran sebesar Rp1,19 triliun itu dialokasikan untuk berbagai kebutuhan program Sekolah Rakyat, dengan rincian sebagai berikut, dikutip dari laman DPR:
Pengembangan kurikulum: Rp3 miliar
Gaji guru: Rp119 miliar
Biaya operasional sekolah: Rp497 miliar
Jaringan komunikasi dan data: Rp11 miliar
Gaji, tunjangan kinerja, dan tunjangan profesi guru: Rp177 miliar
Layanan sarana dan prasarana internal: Rp341 miliar
Sementara Menteri Pekerjaan Umum (PU), Dody Hanggodo, menjelaskan, Kementerian PU melalui Direktorat Jenderal Prasarana Strategis telah mengalokasikan anggaran sekitar Rp1 triliun untuk renovasi 200 titik Sekolah Rakyat Tahap I yang tersebar di seluruh Indonesia.
Selain itu, Kementerian PU juga tengah mempersiapkan pembangunan Sekolah Rakyat Tahap II.
"Untuk Sekolah Rakyat Tahap II, kami sedang memverifikasi kelayakan lokasi satu per satu, yang nantinya akan menyerap ribuan tenaga kerja," ungkap Dody.
Dody juga mengungkapkan bahwa tantangan terbesar dalam proyek ini adalah pengadaan meubelair yang bersifat customize, sehingga membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan proses fisik.
"Untuk mempercepat Tahap II, pengadaan meubelair bahkan kami mulai lebih awal sebelum pembangunan fisik dilaksanakan," tambahnya.
4. Sekolah Rakyat timbulkan diskriminasi hanya politisasi

Namun, program mulia ini nampaknya masih menimbulkan tanda tanya. Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, menilai program Sekolah Rakyat akan menimbulkan masalah baru serta memperlebar kesenjangan. Diskriminasi baru di dunia pendidikan akan tercipta.
"Malah memperlebar kesenjangan. Soalnya, Sekolah Rakyat kan justru berpotensi membuat pendidikan makin tidak inklusif," ujarnya saat dihubungi IDN Times.
Mestinya, lanjut Ubaid, pendidikan saat ini sudah inklusif, beragam, di mana siswa kaya-miskin, disabilitas, anak desa, atau kota dalam satu lingkungan sekolah.
"Nah, kalau anaknya orang miskin dimasukkan ke Sekolah Rakyat, sementara anak orang kaya ke sekolah unggulan, itu berarti pendidikan jadi sangat eksklusif. Ketika pelayanannya dipisah-pisah seperti itu, risikonya bisa jadi diskriminatif. Selain itu, program ini tentu butuh anggaran besar," ucapnya.
Ubaid juga menyoroti pengelolaan Sekolah Rakyat di bawah Kemensos. Dia mengatakan Kemensos tidak punya rekam jejak untuk mengelola sekolah.
Sementara selama ini, layanan pendidikan di bawah Kemendikdasmen dan Kemendikbudristek masih menimbulkan masalah klasik dalam dunia pendidikan: mulai banyak anak yang tidak bisa masuk sekolah karena kebijakan, nasib guru-guru yang masih sangat sengsara, status guru yang tidak jelas, infrastruktur yang rusak, sampai kualitas pengajaran yang juga masih rendah.
"Nah, sekarang muncul layanan pendidikan baru di bawah kementerian yang tidak punya pengalaman di bidang itu. Nasib gurunya bagaimana, kualitas kurikulumnya bagaimana, arah pendidikannya ke mana? Ini seperti ladang percobaan baru," ucapnya.
Masalah akan muncul karena program ini sangat politis. Ubaid khawatir dengan keberlanjutan Sekolah Rakyat karena digagas oleh Presiden Prabowo.
"Program ini sangat politis. Kalau menterinya ganti, atau presidennya ganti lima tahun lagi, programnya akan tetap berlanjut atau tidak? Kalau tidak, lalu bagaimana nasib siswa-siswanya?" ujarnya.
5. Rawan korupsi dan tumpang tindih

Ubaid menambahkan, program ini juga bisa membuka peluang baru korupsi. Berdasarkan pengalaman, dunia pendidikan rawan korupsi.
"Sangat rawan diselewengkan. Lihat saja, soal laptop Chromebook saja bisa menyeret pejabat tinggi, bahkan menteri jadi saksi segala. Janganlah memperpanjang daftar hitam pengelolaan dana pendidikan. Kalau sektor pendidikan saja sudah buruk, sektor lainnya juga pasti akan terdampak," katanya.
Senada, pengamat pendidikan Darmaningtyas memberi dua catatan penting. Pertama, soal tata kelola Sekolah Rakyat. Ia menyoroti peran Kementerian Sosial dalam bidang pendidikan yang menurutnya rawan tumpang tindih kewenangan.
“Kemensos seharusnya memperkuat sisi sosial. Pendidikan sebaiknya tetap menjadi domain Kemendikbud dan Kemenag,” ujarnya.
Selain itu, Darmaningtyas mengkhawatirkan efek segregasi sosial yang membuat anak miskin terperangkap dalam lingkaran kemiskinan.
“Kalau orang miskin dikumpulkan jadi satu tanpa jembatan relasi sosial dengan kalangan lain, mereka bisa terperangkap dalam lingkaran kemiskinan.”
6. Tugas pemerintah bukan sekadar membangun tetapi merawat kepercayaan rakyat

Menanggapi kekhawatiran tersebut, Ketua Tim Formatur Sekolah Rakyat, Prof. M. Nuh, mencontohkan SMA Unggulan CT Arsa Foundation yang khusus untuk siswa miskin namun melahirkan lulusan unggul.
“Tidak soal siapa kita kumpulkan, tapi bagaimana kita membangkitkan semangat mereka untuk mendobrak batas,” tegasnya.
Menurutnya, interaksi lintas sekolah dan dunia luar juga akan diperkuat agar tidak terjebak dalam eksklusivitas sosial. Dia menjelaskan bahwa program ini merupakan langkah preventif, bukan reaktif.
“Biasanya kita bantu setelah miskin. Sekarang kita cegah agar anak-anak keluarga miskin tidak ikut jatuh miskin,” ucap mantan Menteri Pendidikan tersebut.
Dia menjelaskan, sekolah gratis ini akan menerapkan kurikulum nasional namun diperkaya dengan karakter, keagamaan, keterampilan hidup (life skills), dan fasilitas berbasis digital. Model boarding school atau asrama juga akan diterapkan untuk mengurangi beban biaya personal peserta didik.
Berbeda dari revitalisasi sekolah umum, Sekolah Rakyat dirancang sebagai respons spesifik terhadap persoalan akses yang kerap tak tersentuh biaya personal yang masih membebani meski biaya operasional digratiskan, serta ketimpangan fisik dan geografis.
Wakil Menteri Sosial, Agus Jabo, menyadari betul bahwa keberhasilan Sekolah Rakyat akan sangat ditentukan oleh tata kelola dan pengawasan. Ia menekankan bahwa satuan tugas (Satgas) telah dibentuk lintas kementerian, dengan sistem audit internal dan eksternal yang melibatkan BPKP hingga DPR.
“Kami ingin memastikan setiap rupiah itu betul-betul menyentuh mereka yang berhak,” ucapnya.
Meski menyimpan asa besar, Sekolah Rakyat tak luput dari ujian dari eksekusi teknis hingga legitimasi kelembagaan. Namun di negeri yang terlalu lama menyaksikan jurang pendidikan jadi warisan turun-temurun, program ini bisa menjadi langkah paling ambisius dalam menjangkau mereka yang kerap dilupakan.
Fadilah dan Glensky hanyalah dua dari ribuan anak yang kini melihat secercah harapan. Dari perahu kayu tanpa seragam hingga bisa memeluk buku, mereka adalah wajah dari mimpi yang sempat nyaris padam.
Kini, tugas pemerintah bukan sekadar membangun sekolah, tetapi merawat kepercayaan rakyat bahwa Sekolah Rakyat bukan proyek seremonial atau sekadar warisan politik semusim. Karena tanpa kepercayaan rakyat, semua janji tinggal wacana; tapi dengan kepercayaan, Fadilah, Glensky, dan ribuan anak lain bisa benar-benar melangkah menuju pendidikan yang lebih adil dan setara.