Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) RI di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Sebagaimana diketahui, MK menggelar sidang pendahuluan pengujian Pasal 222 Undang-Undang 7/2017 tentang pemilihan Umum (Pemilu).
Sidang panel perkara nomor 80/PUU-XXI/2023 tersebut dipimpin Hakim Ketua Saldi Isra, didampingi Hakim Arief Hidayat dan Suhartoyo. Feri Amsari selaku kuasa hukum Pemohon I menuturkan, pihaknya dirugikan dalam pemberlakuan syarat ambang batas minimum perolehan suara partai politik atau gabungan partai politik dalam mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Di samping itu, Pemohon I juga melihat partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi ketentuan Pasal 222 UU Pemilu lalu tidak ada yang mencerminkan, memperjuangkan, atau memiliki tujuan yang sejalan dengan perjuangan dan gagasan Pemohon I.
Sebab sebagai partai politik yang memiliki fokus pada isu perburuhan, pertanian, agraria, lingkungan hidup, masyarakat adat, Partai Buruh bercita-cita mewujudkan negara kesejahteraan yang di antaranya berlandaskan pada kedaulatan rakyat; lapangan kerja; pemberantasan korupsi; jaminan sosial.
Sementara dalam memenuhi syarat ambang batas itu, dibutuhkan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional. Berpedoman pada Pemilu Legislatif sebelumnya, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) hanya memperoleh 8,21 persen, sedangkan Partai Demokrat hanya 7,77 persen, bahkan gabungan kedua partai politik itu pun tidak memenuhi ketentuan Pasal 222 UU Pemilu.
“Ideologi Partai Buruh sungguh berbeda dengan partai lainnya sehingga penyamarataan ini membuat diskriminasi melalui koalisi partai dengan menyatukan suatu yang berbeda di alam demokrasi. Dengan demikian telah cukup alasan dan kerugian bagi Pemohon I karena pemberlakuan ketentuan Pasal 222 UU Pemilu dan telah memiliki kedudukan hukum dalam mengajukan permohonan ini,” sebut Feri.
Sementara Pemohon II pernah ditunjuk Partai Buruh sebagai bakal calon legislatif DPR untuk Pemilihan Umum 2024 dari daerah pemilihan Kalimantan Tengah. Akibat sistem pemilihan umum dengan ketentuan Pasal 222 UU Pemilu, Pemohon II mengaku berisiko mengalami kerugian apabila warga dalam daerah pemilihan, pendukung, dan calon konstituen menanyakan alasan partainya tergabung dalam koalisi gabungan partai politik yang mendukung UU Cipta Kerja.
Sedangkan Pemohon III membatalkan niat menjadi bakal calon legislatif dari Partai Buruh untuk Pemilihan Umum 2024. Sebab, ketentuan Pasal 222 UU Pemilu tersebut dinilai memaksa Partai Buruh untuk bergabung dalam koalisi gabungan partai politik, jika ingin mengusung calon Presiden dan calon Wakil Presiden.
Sementara dengan tujuan ideologis dari Partai Buruh yang menolak UU Cipta Kerja, tidak mungkin bagi partai untuk berkoalisi dengan partai yang dapat mengusung calon presiden dan calon wakil presiden. Oleh karena itu, Pemohon III mengalami kerugian karena batal menjadi bakal calon legislatif dari Partai Buruh untuk Pemilihan Umum pada 2024 mendatang.
Feri juga menambahkan para pemohon mengajukan agar Majelis Hakim Konstitusi berkenan menjatuhkan putusan sebelum tanggal 19 Oktober 2023, memberikan waktu yang cukup bagi para pemohon, KPU dan instansi terkait lainnya untuk mengadakan penyesuaian yang diperlukan atas hasil putusan a quo.
Sementara dalam petitumnya, pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Persyaratan pengusulan Pasangan Calon tidak diberlakukan bagi Partai Politik Peserta Pemilu yang belum pernah mengikuti Pemilu anggota DPR sebelumnya”.