Potret pemuda Indonesia. (Dok. Shantanu)
Tentang kurangnya aktivisme yang solid
Hilya kemudian menyampaikan pendapatnya, “Di sisi lain, Indonesia memiliki sejarah panjang soal mobilisasi politik dari atas ke bawah, dengan kekuasaan dan pengambilan keputusan terkonsentrasi di tangan kelompok elite. Kurangnya aktivisme dari bawah ke atas di Indonesia dapat dikaitkan dengan beberapa faktor yang saling terkait. Undang-undang yang restriktif akan kebebasan berpendapat dan berserikat telah mempersulit masyarakat untuk berorganisasi dan melakukan mobilisasi demi perubahan sosial dan politik.”
“Selain itu, interaksi yang kompleks antara politik identitas dan dinamika kekuasaan telah menciptakan perpecahan yang mendalam diantara masyarakat, sehingga menyulitkan gerakan akar rumput untuk melakukan mobilisasi ke berbagai kelompok yang berbeda. Sifat masyarakat Indonesia yang beragam dan terdesentralisasi menghadirkan tantangan bagi gerakan-gerakan akar rumput untuk bersatu dan bergerak dalam isu-isu bersama. Akibatnya, kurangnya suara yang bersatu telah membatasi dampak kolektif aktivisme dari bawah ke atas dalam mengatasi permasalahan sosial dan melakukan advokasi perubahan. Negara kepulauan terbesar di dunia ini adalah rumah bagi ratusan kelompok etnis, yang masing-masing memiliki identitas budaya, bahasa, dan agama yang berbeda,” tegasnya.
Tentang gerakan sosial horizontal yang terfragmentasi pasca tahun 2010
Menurunnya jumlah serikat organisasi masyarakat sipil di Indonesia pasca tahun 2010 dapat disebabkan oleh kombinasi faktor internal dan eksternal.
Aktivisme skala kecil di era internet telah mengubah lanskap gerakan sosial, memungkinkan individu dan kelompok kecil untuk memberikan dampak yang berarti dengan cara yang tidak terbayangkan sebelumnya. Platform media sosial telah memainkan peran penting dalam transformasi ini, menyediakan ruang bagi individu untuk berbagi cerita, menggalang dukungan, dan mengorganisir aksi kolektif. Hashtag, kampanye viral, dan petisi online telah berperan penting dalam meningkatkan kesadaran dan memobilisasi masyarakat untuk mengatasi isu-isu sosial yang mendesak.
Hilya menambahkan, keterhubungan yang disediakan oleh internet telah memungkinkan para aktivis akar rumput menjangkau khalayak global, memobilisasi dukungan, dan mengadvokasi perubahan dalam skala yang dulunya hanya bisa dilakukan oleh organisasi-organisasi besar dan mapan.
Dalam lanskap baru ini, dia melanjutkan, batasan-batasan tradisional dalam aktivisme telah dikaburkan, sehingga memungkinkan terjadinya kolaborasi dan koneksi antar berbagai kelompok dan komunitas.
"Aktivis skala kecil memanfaatkan kehadiran online mereka untuk membangun koalisi, berbagi sumber daya, dan memperkuat suara satu sama lain. Namun, lanskap yang terfragmentasi ini juga menghadirkan tantangan. Dengan banyaknya isu yang saling bersaing untuk mendapatkan perhatian, akan sulit bagi para aktivis skala kecil untuk menerobos kebisingan dan membuat suara mereka didengar oleh orang-orang yang berkuasa dan membentuk serikat aktivis untuk mengadvokasi perubahan struktural bersama. Selain itu, sifat aktivisme online yang bersifat sementara kadang-kadang dapat mengundang keterlibatan dan dukungan yang bersifat sementara juga.”
“Tetapi, aktivisme online tidak boleh kita tinggalkan pula. Tanpa adanya aktivisme bottom-up yang kuat, Indonesia akan terus menghadapi tantangan terkait keadilan sosial, hak asasi manusia, dan kesenjangan struktural. Jadi, di tengah lautan suara, PR-nya adalah bagaimana kita menyatukan mereka semua untuk mencapai tujuan bersama? Bagaimana kita dapat saling bergandengan tangan, berjalan menuju jalan yang sama?” tanya Hilya.
Menutup wawancara dengan penuh ambisi, Hilya mengatakan, “Itulah sebabnya kami bangga menjadi lembaga think tank pertama dan satu-satunya di Indonesia yang dengan berani menyatakan bahwa kami menentang pelembagaan kemiskinan (kemiskinan struktural) dan mempelopori inisiatif pertama untuk memberikan basis data gratis yang dapat diakses publik mengenai pergerakan sosial horizontal dari perkotaan ke pedesaan di seluruh Indonesia, khususnya yang bergerak pada pengentasan kemiskinan.”
Bibliography
Chakravorty, S. (2012, January 1). Regional Development in India: Paradigms Lost in a
Period of Great Change. https://doi.org/10.2747/1539-7216.53.1.21
McKinsey. (2012, September). The Archipelago Economy: Unleashing Indonesia's Potential. New York, New York, United States. Retrieved from https://www.mckinsey.com/~/media/mckinsey/featured%20insights/asia%20pacific/the%20archipelago%20economy/mgi_unleashing_indonesia_potential_executive_summary.ashx
(WEB)