Teken Keppres, Jokowi Dinilai Tak Mampu Tuntaskan Pelanggaran HAM
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - SETARA Institute menilai pembentukan Tim PAHAM oleh pemerintah hanya proyek mempertebal impunitas dan pemutihan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu yang belum tuntas diselesaikan oleh negara.
Hal tersebut menyusul ditandatanganinya Keputusan Presiden (Keppres) tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu oleh Presiden Joko "Jokowi" Widodo.
Ketua SETARA Institute, Hendardi, mengatakan, langkah pemerintah tersebut membuktikan bahwa Jokowi tidak mampu (unable) dan tidak mau (unwilling) menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM, bahkan kasus yang sudah diselidiki Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
"Alih- alih merangkai kepingan fakta dan informasi untuk mengakselerasi mekanisme yudisial yang selama ini menjadi perintah UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Jokowi justru menutup rapat tuntutan publik dan harapan korban akan kebenaran dan keadilan," kata dia, dikutip dari siaran pers, Selasa (16/8/2022) malam.
Baca Juga: Jokowi Sudah Teken Keppres untuk Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat
1. Keppres bagian dari persekongkolan untuk mencetak prestasi absurd bagi Jokowi
Menurut Hendardi, daya rusak Tim PAHAM tersebut akan berdampak luar biasa pada upaya pencarian keadilan.
Hal itu karena tidak diberi mandat pencarian kebenaran untuk memenuhi hak korban dan publik (right to the truth) sebagai dasar kelayakan apakah suatu peristiwa bisa dibawa ke proses pengadilan HAM atau direkomendasikan diselesaikan melalui jalur non yudisial.
Ia mengatakan, karena pilihan non yudisial telah ditetapkan, maka Jokowi dinilai telah mengingkari mandat UU Nomor 26 Tahun 2000 yang menyatakan, penyelesaian pelanggaran HAM yang terjadi sebelum tahun 2000 bisa diadili melalui Pengadilan HAM Ad Hoc.
"Dapat dibayangkan, segera setelah Tim PAHAM menyelesaikan tugasnya, maka Jokowi akan mengklaim bahwa semua pelanggaran HAM telah diselesaikannya," kata dia.
"Jokowi bukan tidak paham alur penyelesaian pelanggaran HAM, tetapi nyata bahwa Keppres ini bagian dari persekongkolan berbagai pihak untuk mencetak prestasi absurd bagi Jokowi, pemutihan bagi yang selama ini diduga terlibat pelanggaran HAM, dan bahkan bagi para pejabat dan lingkaran kekuasaan yang selama ini tersandung tuduhan pelanggaran HAM, sehingga terus menerus gagal dalam pencapresan," lanjut Hendardi.
Baca Juga: Menko Mahfud MD: Indonesia Tak Punya Catatan Pelanggaran HAM di PBB
2. Jokowi teken Keppres Tim Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu
Editor’s picks
Sebelumnya, Presiden Jokowi mengatakan, dirinya telah meneken Keppres tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu.
Tim tersebut nantinya akan mengusut kejahatan HAM masa lalu yang belum terselesaikan sampai saat ini.
Hal itu disampaikan Jokowi saat menyampaikan Pidato Kenegaraan di Sidang Tahunan MPR RI 2022 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (16/8/2022).
"Keputusan Presiden Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu yang telah ditandatangani," kata Jokowi.
Dalam draf Keppres yang beredar, tim tersebut disingkat Tim PAHAM dengan sejumlah anggota yang di antaranya dianggap sebagai sosok bermasalah terkait pelanggaran HAM masa lalu.
Baca Juga: Peristiwa Kudatuli Disebut Belum Jadi Dugaan Pelanggaran HAM Berat
3. Pemerintah terus memberikan perhatian serius untuk penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu
Dalam pidato kenegaraan tersebut, Jokowi menekankan, pemerintah terus memberikan perhatian serius untuk penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu.
"Hal terkait upaya penyelesaian pelanggaran HAM Berat masa lalu, yaitu RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR) yang dalam proses pembahasan," kata Jokowi.
4. Keppres yang diterbitkan harus ditolak dan dipersoalkan secara hukum dan politik
Secara ringkas, lanjut Hendardi, Tim PAHAM hanya panitia yang dibentuk Jokowi untuk memberikan santunan kepada korban yang ditujukan untuk pembungkaman atas tuntutan dan aspirasi korban.
Padahal, dalam hukum HAM internasional dan konsep transitional justice bukan hanya right to reparation (hak atas pemulihan) yang harus dipenuhi tetapi right to truth (hak atas kebenaran), right to justice (hak atas keadilan) dan guarantees of non-repetition (jaminan ketidakberulangan).
"Keppres yang diterbitkan sehari sebelum hari Kemerdekaan RI ini bukan hanya harus ditolak tetapi harus dipersoalkan secara hukum dan politik. Alih-alih memberikan kebahagiaan Hari Merdeka, Jokowi justru mengubur aspirasi dan harapan korban untuk tidak pernah bisa merdeka dari impunitas dan ketidakadilan," ucap dia.
Baca Juga: Komnas HAM Soroti Sejumlah Pelanggaran Berat yang Belum Tuntas