Pemohon perkara nomor Perkara Nomor 110/PUU-XXIII/2025 usai menggelar sidang pendahuluan (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Pemohon pun menyoroti sejumlah ketentuan yang sempat berlaku mengenai syarat memenangkan pilkada dan mengalami berbagai perubahan. Seperti contoh, yang diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2008, di mana paslon kepala daerah harus memperoleh suara lebih besar dari 50 persen untuk dapat ditetapkan sebagai paslon terpilih. Namun jika tidak terpenuhi dan terdapat pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 30 persen, maka paslon tersebut dapat dinyatakan sebagai paslon terpilih. Jika tidak terdapat pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 30 persen, maka dilakukan pemilihan putaran kedua.
Ketentuan tersebut berubah pada UU Nomor 1 Tahun 2015 yaitu paslon kepala daerah harus memperoleh suara lebih besar dari 30 persen untuk dapat ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih. Jika tidak ada pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 30 persen, maka dilakukan pemilihan putaran kedua yang diikuti oleh calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua pada putaran pertama.
Kemudian pada UU Nomor 8 Tahun 2015, sudah tidak ada lagi ketentuan besaran syarat perolehan suara minimal untuk ditetapkan sebagai paslon terpilih, dan paslon yang memperoleh suara terbanyak terlepas dari besaran perolehan suaranya otomatis akan ditetapkan sebagai paslon terpilih. Menurut para Pemohon, ketentuan tersebut diubah tanpa adanya parameter yang jelas sehingga merupakan bentuk ketidakpastian hukum yang adil dan juga bentuk kemunduran demokrasi.
Berikutnya, tidak terdapat perubahan pada Pasal 107 ayat 1 dan ayat 2 serta Pasal 109 ayat 1 dan ayat 2 dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 dengan UU Pilkada sebelumnya. Hanya terdapat penambahan ayat 3 terkait ketentuan pilkada untuk calon tunggal.
Sementara itu, MK melalui Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 telah menurunkan ambang batas pencalonan kepala daerah dari 20 persen jumlah kursi DPRD atau 25 persen perolehan suara sah DPRD, menjadi 6,5 persen hingga 10 persen perolehan suara sah DPRD, tergantung pada besar penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap. Para Pemohon menyebut, dalam kondisi pilkada diikuti oleh banyak paslon yang berlangsung secara kompetitif, maka tanpa adanya ketentuan harus memperoleh suara mayoritas lebih dari 50 persen, berpotensi menyebabkan terpilihnya paslon dengan perolehan suara yang dianggap tidak memberikan legitimasi yang cukup, dan juga berpotensi menghasilkan paslon terpilih yang sebenarnya tidak dikehendaki oleh mayoritas pemilih dan juga bukan paslon yang terbaik.