Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) RI di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Dalam berkas permohonan yang diajukan ke MK, para Pemohon mengungkap sejumlah pertimbangan menggugat pasal tersebut. Mereka menyoroti peran penting presiden dan wakil presiden yang merupakan nahkoda bagi sebuah negara sekaligus citra jati diri bangsa.
Terlebih, dalam pembukaan UUD 1945 telah diamanatkan mengenai cita-cita besar negara Indonesia. Menurut para Pemohon, kepala negara yang ideal ialah yang memiliki pengetahuan kritis dan luas.
Menurut Pemohon, syarat minimal pendidikan bagi capres-cawapres berkaitan erat dengan kompetensi dan kapabilitas dalam memimpin. Pendidikan SMA sederajat disebut memiliki keterbatasan pengetahuan yang tidak mengakar pada sistem pemerintahan ideal.
Maka jika terpilih presiden dan wakil presiden yang hanya lulusan pendidikan SMA sederajat berpotensi memberikan dampak negatif, di mana kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang dibuat, justru jauh dari kategori keadilan dan hukum dikekang demi memperpanjang kekuasaan. Hal tersebut dapat dan berpotensi merugikan hak konstitusional seluruh masyarakat Indonesia.
Para Pemohon pun menekankan, pendidikan SMA/sederajat dalam pemahaman umum memiliki keterbatasan. Di antaranya kurang pengetahuan spesifik tentang pemerintahan dan kebijakan publik; kurangnya pengembangan keterampilan analitis dan kritis; kurangnya pengalaman praktis dan pengambilan keputusan dan manajemen; serta kurangnya pemahaman tentang etika dan moralitas dalam pemerintahan. Menurut mereka, hal tersebut akan memberikan dampak kerugian konstitusional bagi seluruh warga negara Indonesia.
Pemohon beranggapan, jika presiden dan wakil presiden hanya lulusan SMA, segala kebijakan yang dibuat oleh pemerintah berpotensi tidak efektif dan tidak efisien, pengambilan keputusan yang salah, merugikan negara, konflik kepentingan, korupsi, dan kerusakan citra negara, kehilangan kepercayaan masyarakat.
Selain itu, juga dapat memberikan dampak ekonomis yakni seperti keterpurukan ekonomi dan inflasi, pengangguran dan kemiskinan meningkat, kerugian negara dan keuangan publik, investasi dan pertumbuhan ekonomi terhambat, hingga ketergantungan pada utang luar negeri.