Pak Jokowi, Ingatkah Janji Bapak Memberantas Korupsi Dulu?

Ada tiga janji loh, Pak

Jakarta, IDN Times - Presiden Joko "Jokowi" Widodo membuat sebagian masyarakat kecewa, lantaran mendukung revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK). Jokowi dianggap ingkar janji, khususnya bagi para pegiat anti-korupsi. Dan UU KPK itu kini telah disahkan DPR RI menjadi undang-undang.

Pemerintah dan DPR RI sepakat merevisi UU KPK untuk tujuh poin. Pertama, soal kedudukan KPK sebagai lembaga penegak hukum berada pada rumpun eksekutif dan dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya tetap independen.

Kedua, terkait pembentukan dewan Pengawas KPK. Ketiga, mengenai pelaksanaan fungsi penyadapan oleh KPK. Keempat, mekanisme penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) oleh KPK.

Kelima, koordinasi kelembagaan KPK dengan aparat penegak hukum yang ada dalam Keenam, terkait mekanisme penyitaan dan penggeledahan. dan terakhir, sistem kepegawaian KPK.

Lantas, apa saja janji-janji Jokowi memberantas korupsi saat kampanye Pilpres dulu?

Baca Juga: Ini Perjalanan DPR dan Pemerintah Ngebut Bahas Revisi UU KPK

1. Jokowi berjanji menegakkan hukum yang bebas dari korupsi

Pak Jokowi, Ingatkah Janji Bapak Memberantas Korupsi Dulu?Twitter/@KSPgoid

Saat mencalonkan diri sebagai calon presiden 2019-2024 pada Pilpres 2019, Jokowi dalam dalam visi misinya memasukkan janjinya untuk memberantas korupsi. Janji tersebut tertulis dalam visi nomor enam.

"Penegakan sistem hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya," demikian isi janji Jokowi-Ma'ruf Amin dalam visi misinya.

2. Jokowi berjanji akan menguatkan KPK dan tidak pandang bulu dalam menegakkan hukum

Pak Jokowi, Ingatkah Janji Bapak Memberantas Korupsi Dulu?ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

Dalam debat Pilpres 2019 pertama yang bertema hukum dan HAM, korupsi, serta terorisme, Jokowi juga berjanji akan memperkuat KPK dan tidak akan pandang bulu dalam penegakkan hukum.

"Negara harus didukung oleh sistem hukum yang adil dan penegakan supremasi hukum yang baik, melalui reformasi kelembagaan dan penguatan sistem manajemen hukum yang baik, dan budaya taat hukum yang harus terus kita perbaiki. Dan hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu," kata dia.

"Penegakan hukum yang tegas merupakan bagian dari upaya pemberantasan korupsi yang kita lakukan melalui perbaikan sistem pemerintahan dan bekerja sama menguatkan KPK, serta mendorong sinergi antara KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian," lanjut Jokowi.

3. Jokowi juga berjanji mengubah birokrasi rekrutmen untuk mengurangi korupsi

Pak Jokowi, Ingatkah Janji Bapak Memberantas Korupsi Dulu?Twitter/@KSPgoid

Tak hanya itu, dalam pemberantasan korupsi, Jokowi juga berjanji akan membuat birokrasi rekrutmen di pemerintahan berdasarkan kemampuan, bukan finansial. Jabatan-jabatan politik juga diperlukan sebuah penyederhanaan sistem.

"Sehingga pemilu menjadi murah. Pejabat-pejabat tidak terbebani oleh biaya pemilu. Kita harapkan kita bisa memangkas politik uang suap, bisa memangkas korupsi, dan kita bisa mendapatkan pejabat-pejabat publik yang memiliki kapasitas yang baik," kata Jokowi, saat itu.

"Yang kita harapkan dengan rekrutmen ini, jabatan-jabatan, baik itu bupati, baik itu wali kota, baik itu gubernur, kita akan dapatkan putra putri terbaik dengan transparan dan akuntabel," Jokowi menegaskan.

4. Jokowi dianggap turut melemahkan KPK?

Pak Jokowi, Ingatkah Janji Bapak Memberantas Korupsi Dulu?IDN Times/Santi Dewi

Pimpinan KPK mengundurkan diri dengan mengembalikan mandatnya kepada Presiden Jokowi, sebagai kekecewaan mereka atas revisi UU KPK. Mereka tidak dilibatkan dalam revisi undang-undang ini, sebagai lembaga yang justru akan menggunakan undang-undang tersebut.

Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan selama ini pimpinan beserta pegawainya tidak mengetahui dan dilibatkan dalam revisi UU KPK. Mereka meminta agar presiden mengikutsertakan dalam pembahasan revisi undang-undang ini.

"Terkait dengan yang sangat prihatin yaitu perihal RUU KPK, sampai hari ini sebenarnya kami tidak mengetahui draf yang sebenarnya, seperti terkesan sembunyi," ujar Agus, di Jakarta awal pekan ini.

Hal sama juga disampaikan Wakil Ketua KPK Laode M Syarif. Dia mengatakan presiden harusnya memberikan gambaran mengenai draf kepada pimpinan KPK, agar bisa diinformasikan kepada publik. 

"Agar kami bisa jelaskan kepada publik dan pegawai di KPK. Mulai saat ini kami serahkan tanggung jawab dan melaksanakan tugas KPK kepada presiden, tapi kami tetap menunggu perintah dari presiden," ujar Laode.

Sementara, mantan Ketua KPK Busyro Muqoddas menyoroti dan menyesalkan tiga poin revisi UU KPK yang diabaikan Jokowi, yang dianggap bisa membunuh komisi antikorupsi.

Tiga poin yang luput dari penolakan Jokowi adalah adanya Dewan Pengawas KPK, kewenangan Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) untuk menghentikan kasus, dan mengubah status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Dia menganggap penolakan empat poin lainnya dirasa percuma, jika ada tiga poin yang disetujui tersebut.

"Kalau dibilang pelemahan, Presiden menolak pelemahan dengan menolak pasal-pasal yang diajukan oleh DPR, tapi dengan menyetujui tiga poin. Tapi tiga poin setelah kita baca, tiga poin itu masih mengandung unsur-unsur yang akibatnya pembunuhan KPK," ujar dia ketika ditemui di Kantor DPW Muhammadiyah Jawa Timur, Sabtu (14/9).

Busyro menjelaskan pengubahan status pegawai KPK menjadi ASN dikhawatirkan nilai-nilai independensi, integritas, dan militansi pegawai KPK akan berkurang karena menjadi pegawai negara, bukan lagi lembaga independen.

"Desain KPK dengan SDM yang sudah pernah dilakukan sebelumnya hasilnya independen karena tidak ada nilai-nilai dan budaya PNS," ujar dia.

Ia menceritakan bagaimana dulu KPK pertama kali bekerja sama dengan Komando Pasukan Khusus (Kopassus) untuk melatih pegawai-pegawainya. Melalui pelatihan militer tersebut, ia membanggakan pegawai-pegawai KPK yang memiliki ketahanan mental, fisik, integritas, dan independensi tinggi.

"Jadi poin ASN adalah bentuk pembunuhan KPK secara smooth, pakai kursi listrik setrum pelan-pelan. Atau pakai arsenik, ya? Pada suatu saat nanti budaya asli sebagai lembaga independen hilang. Otomatis KPK mati," kata dia.

Terkait adanya Dewan Pengawas KPK bentukan Presiden juga dianggapnya ide yang tak masuk akal bagi Busyro. Sebab ketika ada pihak lain yang dapat mengatur KPK, dikhawatirkan akan ada konflik kepentingan dalam pekerjaan KPK.

"Dewan pengawas itu rasionalitasnya belum bisa ditangkap, kecuali irasionalitasnya. Yaitu sebagai bentuk penyadapan," tutur dia.

Kekhawatiran ini terjadi lantaran, menurut Busyro, pekerjaan KPK membutuhkan independensi tinggi. Seharusnya, KPK tidak berpihak kepada siapa pun baik pemerintah, Polri, maupun Kejaksaan. KPK harusnya berpihak kepada publik.

"Saya melihat Presiden ini main-main, tega-teganya membodohi publik," kata dia.

Menanggapi soal pengembalian mandat pimpinan KPK, Presiden Jokowi mengatakan agar pimpinan KPK lebih bijak menyikapi. Menurut dia lembaga antirasuah adalah lembaga negara, sehingga pimpinan lembaga ini harus bisa lebih bijaksana. Karena pemerintah juga memperjuangkan beberapa substansi dalam revisi UU KPK.

"Jadi perlu saya sampaikan, KPK itu lembaga negara, institusi negara, jadi bijak lah dalam kita bernegara," kata Jokowi di Hotel Sultan, Jakarta Pusat, Senin (16/9).

Jokowi menilai kinerja pimpinan KPK saat ini terbilang baik dan ia tak pernah meragukan kinerja mereka. Pemberikan mandat kepada pihak lain dalam bertugas tidak pernah ada dalam UU KPK. Yang ada hanya lah mengundurkan diri, meninggal dunia, dan terkena kasus korupsi.

"Tapi yang namanya mengembalikan mandat itu gak ada," kata dia.

5. Jokowi merasa terganggu dengan 'cawe-cawe' KPK?

Pak Jokowi, Ingatkah Janji Bapak Memberantas Korupsi Dulu?IDN Times/Irfan Fathurohman

Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah punya anggapan tersendiri terhadap dukungan Presiden Jokowi pada revisi UU KPK. Menurut mantan politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini, sikap Jokowi yang merasa 'diganggu' KPK menjadi puncak dari proses panjang sejak awal masa pemerintahannya pada Oktober 2014. Mulai dari memberikan kepercayaan terlalu jauh pada lembaga antirasuah, termasuk dalam penyusunan kabinet yang tidak diatur dalam undang-undang.

"Kalau presiden harus mendapatkan masukan tentang pejabat-pejabat yang diangkat, sebenarnya dia punya mekanisme, dia punya sistem intelijen, dia punya lembaga-lembaga penasihat yang dapat memberikan masukan kepada dia. Tetapi justru di awal sekali, dia belum punya kabinet, kabinet itu dipercayakan kepada KPK, dan yang dilakukan KPK itu luar biasa, dalam pengertian terlalu maju,” kata Fahri saat dikonfirmasi, Selasa (17/9).

Ketika Jokowi memutuskan mendukung revisi UU KPK, Fahri mengatakan, dirinya lah yang mengkritik keras hal tersebut. Ia mengatakan peran komisi antikorupsi itu terlalu jauh, untuk ikut menyeleksi kabinet pertama pemerintahan sekarang.

"Luar biasa sehingga ada begitu banyak nama-nama dalam kabinet yang diajukan Pak Jokowi dan parpol kandas di tangan KPK. KPK waktu itu seperti merasa bangga, karena akhirnya dia diberi kepercayaan sebagai polisi moral oleh presiden, untuk mengatakan siapa yang berpotensi mencuri, siapa yang tidak, siapa yang berpotensi menjadi penjahat, siapa yang tidak. Sesuatu yang tidak dikenal dalam tradisi demokrasi dan negara hukum,” tutur dia.

Atas kepercayaan Jokowi tersebut, Fahri menilai, KPK perlahan tumbuh menjadi lembaga super body. Puncaknya, ketika presiden memilih Budi Gunawan untuk dikirimkan ke DPR sebagai calon Kapolri, namun akhirnya batal.

"Tiba-tiba ditersangkakan tanpa pernah diperiksa KPK. Apa yang terjadi? Budi Gunawan terlempar, dia tidak jadi dilantik. Tetapi begitu Pak Jokowi mencalonkan Budi Gunawan kembali sebagai Kepala BIN (Badan Intelijen Negara), tidak ada yang protes, akhirnya diam-diam saja. Jadi KPK itu membunuh karier orang dengan seenaknya saja, tanpa argumen, dan itu mengganggu kerja pemerintah, termasuk mengganggu kerja Pak Jokowi,” kata dia.

Fahri menyebutkan ada banyak orang yang 'diganggu' KPK secara sepihak tanpa koordinasi, dan hal tersebut sangat mengganggu jalannya kinerja pemerintah, termasuk pemilihan Firli Bahuri sebagai ketua KPK yang baru--yang menurut panitia seleksi tidak ditemukan pelanggaran etik.

"Pak Jokowi sebagai mantan pengusaha, orang yang mengerti bahwa dunia usaha itu perlu kepercayaan, dunia usaha itu perlu keamanan, perlu stabilitas. Tapi itu terus-menerus dilakukan oleh KPK, dan KPK terus-menerus mengumumkan si ini tersangka, si ini tersangka. Bagaimana orang (investor) mau percaya pada sistem kayak begini?” kata dia.

Fahri menyimpulkan revisi UU KPK adalah puncak dari kekesalan Jokowi terhadap komisi antirasuah, agar tidak menjadi lembaga superbody lagi yang dapat mengganggu kestabilan negara.

"Nah, inilah yang menurut saya puncaknya, Pak Jokowi merasa KPK adalah 'gangguan'. Makanya waktu rapat konsultasi, kami ingatkan pada Pak Jokowi bahwa ini adalah presidensialisme. Presidensialisme itu yang dipilih rakyat namanya presiden," kata dia.

Menurut dia tidak boleh ada lembaga lain yang lebih kuat, atau seolah-olah lebih kuat, dan berpretensi mengatur jalannya pemerintahan serta penegakan hukum. "Tidak bisa. Kontrol ada pada presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan,” lanjut dia.

Fahri menambahkan, tidak wajar kalau membandingkan kekuatan KPK dengan presiden. Karena presiden dipilih ratusan juta rakyat, dengan Rp25 triliun uang tunai untuk membiayai pemilu.

"Sementara KPK cuma dipilih oleh segelintir pansel, dan segelintir anggota dewan, dengan biaya kurang dari Rp1 miliar. Tidak mungkin bisa dibandingkan,” kata dia.

6. UU KPK yang baru disahkan DPR dianggap cacat hukum

Pak Jokowi, Ingatkah Janji Bapak Memberantas Korupsi Dulu?(Paripurna di DPR untuk mengesahkan RUU KPK) IDN Times/Irfan Fathurohman

Direktur Eksekutif Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mendorong agar publik dan lembaga hukum untuk memeriksa UU KPK yang baru disahkan DPR RI. Sebab, sejak awal undang-undang ini direvisi, sudah mengalami cacat hukum. 

Revisi UU KPK tidak masuk ke dalam Prolegnas 2019. Dalam proses pembahasan undang-undangnya pun, baik pemerintah dan DPR tidak melibatkan komisi antirasuah sebagai pihak yang akan menggunakan undang-undang tersebut. 

"Memang ada banyak kejanggalan dalam proses (revisi UU KPK) dan itu disampaikan oleh banyak lembaga hukum. Ini bukan bagian dari prolegnas bahkan ada RUU lain yakni Penghapusan Kekerasan Seksual sudah lebih dulu dibahas, tetapi selalu dijegal di DPR," tutur Asfinawati di gedung Merah Putih, Selasa malam (17/9). 

Asfinawati mengatakan satu-satunya cara yang tersisa untuk mencegah UU KPK tak berlaku yakni dengan mengajukan peninjauan ulang ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, hal itu tidak bisa dilakukan terburu-buru karena undang-undang ini secara adminsitratif belum dilengkapi nomor. 

"Meskipun kami juga berharap rakyat banyak juga melakukan upaya ke DPR dan Presiden, sehingga mungkin saja Presiden mencabut undang-undang ini," kata dia.

Namun, apabila nanti mereka akan menempuh uji materi ke MK, bukan tanpa risiko. Apalagi, mereka tidak dapat memprediksi mengenai sembilan hakim di MK. 

Ia mengaku prihatin, lantaran ide membentuk KPK tercetus ketika terjadi reformasi yang menggulingkan Orde Baru. Namun, institusi ini justru dilemahkan oleh orang-orang yang dulu mengaku ikut memperjuangkan reformasi.

Asfinawati enggan menyebut nama-nama tersebut. Namun, ia percaya publik sudah tahu siapa yang dimaksud. "Banyak pelaku reformasi di negeri ini yang sudah berada di pucuk kekuasaan, tetapi malah ikut melemahkan. Maka itu disebut reformasi sudah dikorupsi," kata dia. Tujuan dan cita-cita ingin memberantas korupsi malah ikut dilemahkan. 

7. Istana: Jangan menyalahkan pemerintah soal revisi UU KPK

Pak Jokowi, Ingatkah Janji Bapak Memberantas Korupsi Dulu?IDN Times/Teatrika Handiko

Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan persoalan pimpinan KPK yang merasa tak dilibatkan dalam revisi UU KPK yang telah disahkan DPR RI menjadi undang-udang, sebaiknya jangan sepenuhnya menyalahkan pemerintah. Sebab revisi UU KPK tersebut adalah inisiatif dari DPR, bukan pemerintah.

Moeldoko mengatakan, dialog harusnya dilakukan sejak awal, karena yang menginisiasi revisi UU KPK adalah DPR. Jadi, KPK tidak hanya harus melakukan dialog dengan pemerintah.

"Dialog itu justru diawali pada saat penyusunan, jangan daftar inventaris masalah (DIM) itu sudah diterima pemerintah, itu ada periodisasi, segera dilakukan pemerintah untuk merespons itu," kata Moeldoko di Gedung KSP, Jakarta Pusat, Selasa (17/9).

Moeldoko mengatakan harusnya sejak awal KPK yang datang ke DPR untuk melakukan dialog bersama. "Jadi sesungguhnya ada awal-awal itu ada inisiasi DPR untuk melakukan revisi KPK, disitu seharusnya seluruh jajaran KPK datang ke DPR. Sehingga proses awal itu berjalan," ucap dia.

Menurut Moeldoko, tugas pemerintah hanya merespons DIM yang diberikan oleh DPR RI. Kemudian dia pun meminta publik untuk melihat akhirnya bahwa permasalahan bisa diselesaikan bersama-sama.

"Jadi intinya begini, bahwa Presiden diperlukan untuk segera merespons DIM itu. Tapi endingnya yang paling penting adalah semua persoalan itu bisa diselesaikan secara bersama-sama, politiknya," terang dia.

Moeldoko menjamin keberadaan dewan pengawas untuk KPK tidak akan mempersempit ruang gerak lembaga antirasuah.

"Semua organisasi itu ada pengawasnya. Organisasi demit aja yang gak ada pengawasnya. Semua organisasi harus ada pengawasnya," ucap dia.

Moeldoko menuturkan dewan pengawas nanti bertugas mengontrol dan mengawasi dengan baik. Menurutnya, tak akan ada yang dirugikan, KPK sekali pun. Pasalnya, KPK adalah salah satu lembaga yang paling dipercaya publik.

"Maka harus ada yang mengawalnya dengan baik, sehingga KPK betul-betul, sekali lagi kepercayaan kepada KPK tidak boleh berkurang, poinnya ada di situ, jangan dibalik-balik," ujar Moeldoko.

Mengenai tugas dewan pengawas, kata Moeldoko, akan ada aturan mainnya. Dia menjelaskan dewan pengawas akan dibentuk oleh Presiden dan dibentuk pula tim seleksinya.

"Setelah itu nama-nama yang diseleksi akan disampaikan kepada Presiden, nanti Presiden akan menentukan siapa-siapa yang kira-kira kredibel memiliki legitimasi yang kuat di hadapan masyarakat, di publik, memiliki trust yang tinggi," ucap dia.

Terkait rencana pertemuan Jokowi dengan jajaran pimpinan KPK, Moeldoko mengatakan pintu Istana terbuka lebar. Ia menambahkan, Jokowi selalu membuka peluang pertemuan dengan siapa saja.

"Presiden itu setiap saat menerima tamu dari segala penjuru, oke oke aja, gak ada masalah. Apalagi dari KPK. Jadi pada dasarnya Presiden tidak ada batasan terhadap siapa yang diterima," jelas mantan Panglima TNI tersebut.

Baca Juga: Pegawai Komisi Antirasuah: Pak Jokowi, Kenapa Tega 'Membunuh' KPK? 

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya