Rekam Jejak Gunung Anak Krakatau Hingga Picu Tsunami Banten

Gunung Anak Krakatau mulai meletus Juni 2016

Jakarta, IDN Times - Tsunami kembali melanda Indonesia. Kali ini bencana tsunami menimpa Banten dan kawasan sekitar Selat Sunda, pada Sabtu (22/12) malam. Tepatnya, tiga kabupaten menjadi wilayah yang paling parah terkena dampak tsunami, di antaranya Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Lampung Selatan, dan Kabupaten Serang.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengatakan, peristiwa tsunami di Selat Sunda tidak dipicu oleh gempa bumi, melainkan karena letusan atau longsoran Gunung Anak Krakatau.

Menjadi pemicu terjadinya tsunami di Selat Sunda, rupanya letusan Gunung Anak Krakatau telah terjadi kesekian kalinya. Lantas, bagaimana sebenarnya aktivitas Gunung Anak Krakatau hingga mengakibatkan terjadinya tsunami Banten, Sabtu malam kemarin?

Baca Juga: Sutopo Akui Sempat Salah Beri Info Soal Tsunami Banten, Apa Sebabnya?

1. Gunung Anak Krakatau mulai muncul ke permukaan laut sejak 2013

Rekam Jejak Gunung Anak Krakatau Hingga Picu Tsunami BantenANTARA FOTO/Atet Dwi Pramadia

Dalam keterangan tertulisnya, Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Rudy Suhendar, menjelaskan aktivitas Gunung Anak Krakatau selama ini.

Rudy menjelaskan, Gunung Anak Krakatau adalah gunung api strato tipe A atau gunung api yang terbentuk karena letusan Ekstrusi (Erupsi) Ekslposif dan Ekstrusi (Erupsi) Efusif secara terus-menerus dan saling bergantian. 

Gunung Anak Krakatau yang terletak di Selat Sunda ini, merupakan gunung api muda yang muncul dalam kaldera atau fitur vulkanik yang terbentuk dari jatuhnya tanah setelah letusan vulkanik, pasca-erupsi paroksismal pada 1883 dari kompleks vulkanik Krakatau.

Aktivitas erupsi setelah pembentukan dimulai sejak 1927. Pada saat itu, tubuh gunung api masih di bawah permukaan laut. Namun, pada 2013, tubuh Anak Krakatau mulai muncul ke permukaan laut.

Sejak saat itu hingga kini, Gunung Anak Krakatau berada dalam fasa konstruksi, yang artinya membangun tubuhnya hingga besar.

2. Gunung Anak Krakatau mulai meletus Juni 2016

Rekam Jejak Gunung Anak Krakatau Hingga Picu Tsunami BantenANTARA FOTO/Rani

PVMBG kemudian mengungkapkan bahwa Gunung Anak Krakatau memiliki elevasi tertinggi yaitu 338 meter dari muka laut. Pengukuran tersebut dilakukan pada September 2018 lalu. Karakter letusannya adalah erupsi magmatik, yang berupa erupsi eksplosif lemah (strombolian) dan erupsi epusif berupa aliran lava.

Pada 2016, Gunung Anak Krakatau meletus pada 20 Juni. Sedangkan pada 2017, meletus pada 19 Februari berupa letusan strombolian. Di 2018, gunung itu kembali meletus pada 29 Juni. Sejak itu sampai saat ini, letusan Gunung Anak Krakatau berupa letusan strombolian.

3. Juli 2018, radius bahaya Gunung Anak Krakatau mulai diperluas

Rekam Jejak Gunung Anak Krakatau Hingga Picu Tsunami BantenANTARA FOTO/Asep Fathulrahman

Lalu, PVMBG menjelaskan, letusan pada 2018 terjadi karena diawali dengan munculnya gempa tremor dan peningkatan jumlah gempa hembusan dan low frekuensi pada 18-19 Juni 2018.

Gempat tremor sendiri adalah gempa yang bisa mengindikasikan adanya aktivitas vulkanik di gunung api. Jika gempa tremor terjadi, maka bisa diprediksi dalam beberapa jam selanjutnya gunung api akan segera meletus. Sementara gempa hembusan adalah salah satu tipe gempa yang sumbernya ada di dekat permukaan.

Sejak itu, jumlah gempa hembusan yang terjadi pada Gunung Anak Krakatau terus meningkat, dan akhirnya pada 29 Juni 2018, Gunung Anak Krakatau meletus. Lontaran material letusan sebagian besar jatuh di sekitar tubuh Gunung Anak Krakatau atau kurang dari 1 km dari kawah.

Dan sejak 23 Juli 2018, teramati lontaran material pijar yang jatuh di sekitar pantai, sehingga radius bahaya Gunung Anak Krakatau diperluas dari 1 km menjadi 2 km dari kawah.

4. Aktivitas Gunung Anak Krakatau level II atau waspada

Rekam Jejak Gunung Anak Krakatau Hingga Picu Tsunami BantenDoc. Susi Air

Kemudian, aktivitas Gunung Anak Krakatau yang terbaru kembali terjadi pada 22 Desember 2018. Sabtu malam kemarin, Gunung Anak Krakatau meletus. Secara visual, teramati letusan dengan tinggi asap berkisar 300-1500 meter di atas puncak kawah. Sementara, terekam juga gempa tremor dengan amplitudo overscale berkisar 58 mm.

Berdasarkan Peta Kawasan Rawan Bencana (KRB), potensi bencana erupsi Gunung Anak Krakatau, menunjukkan hampir seluruh tubuh Gunung Anak Krakatau yang berdiameter kurang lebih 2 km, merupakan kawasan rawan bencana.

Berdasarkan hasil pengamatan dan analisis data visual maupun instrumental, hingga 23 Desember 2018, tingkat aktivitas Gunung Anak Krakatau masih tetap Level II (Waspada). Sehubungan dengan status Level II (Waspada) tersebut, PVMBG melarang masyarakat mendekati Gunung Krakatau dalam radius 2 km dari kawah.

5. Tsunami di Selat Sunda akibat erupsi dan longsor bawah laut Gunung Anak Krakatau

Rekam Jejak Gunung Anak Krakatau Hingga Picu Tsunami BantenIDN Times/Ilyas Listianto Mujib

Terkait dengan tsunami yang terjadi di Selat Sunda ini, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho menjelaskan, tsunami terjadi akibat longsor bawah laut yang disebabkan oleh aktivitas erupsi Gunung Anak Krakatau. Peristiwa ini terjadi bersamaan dengan gelombang pasang akibat peristiwa bulan purnama.

"Jadi kalau statement yang disampaikan BMKG faktor penyebab tsunami adalah longsoran bawah laut yang disebabkan oleh aktivitas Gunung Anak Krakatau, yang kebetulan terjadi bersamaan dengan gelombang pasang karena bulan purnama," ungkap Sutopo di Yogyakarta, Minggu (23/12).

Baca Juga: Sutopo: Tidak Ada Warga Negara Asing Jadi Korban Tsunami Banten

Topik:

  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya