Teka-Teki Penyebab Jatuhnya Sriwijaya Air SJY-182

Jakarta, IDN Times - Mobil ambulans yang diiringi pasukan patwal tiba di Perumahan Bumi Cibinong Indah (BCE), Kabupaten Bogor, pada Sabtu, 30 Januari 2021 sekitar pukul 10:24 WIB. Di dalam mobil itu terdapat peti mati atas nama Afwan (54), kapten pilot Sriwijaya Air SJY-182 yang meninggal dalam peristiwa tragis pada 9 Januari 2021.
Isak tangis pun terdengar ketika peti jenazah dikeluarkan dari dalam mobil ambulans. Dalam pantauan IDN Times yang ikut mengikuti proses pemakaman, jenazah Afwan sempat disemayamkan di rumah duka selama sekitar satu jam.
Jenazah kemudian disalatkan di Masjid Addaulah yang berada dalam komplek rumah. Lalu, peti mati itu dibawa ke TMP Pondok Rajeg, Cibinong, Kabupaten Bogor, untuk dimakamkan. Pemakaman Afwan diikuti cukup banyak orang sehingga terlihat menimbulkan kerumunan. Padahal, saat ini pandemik COVID-19 masih melanda.
Direktur Utama Sriwijaya Air, Jefferson I Jawuna, turut melepas kepergian Afwan pada Sabtu kemarin. Ia mengatakan seluruh manajemen Sriwijaya Air kehilangan sosok keluarga yang dikenal baik hati.
"Beliau juga adalah seorang pilot yang profesional. Saya selaku Dirut Sriwijaya Air, menyampaikan rasa duka cita mendalam karena ditinggal keluarga yang kita cintai. Semoga almarhum diampuni segala dosanya dan diberikan surga Allah SWT," ungkap Jefferson.
Afwan menjadi korban ke-56 yang berhasil diidentifikasi oleh tim Dissaster Victim Identification (DVI) Mabes Polri. Ia berhasil diidentifikasi pada Jumat, 29 Januari 2021, beberapa hari usai misi pencarian Sriwijaya Air SJY-182 dihentikan.
Hingga Jumat kemarin tim DVI sudah berhasil mengidentifikasi 58 korban. Kini, mereka tinggal mengidentifikasi empat korban lainnya.
Di sisi lain, proses pencarian cockpit voice recorder (CVR) masih terus dilakukan. Sejauh ini, isi kotak hitam yang berhasil ditemukan baru flight data recorder (FDR). Bagaimana perkembangan pencarian CVR di saat misi pencarian korban Sriwijaya Air SJY-182 telah dihentikan?
1. KNKT masih belum temukan memori CVR dalam operasi lanjutan

Operasi pencarian korban Sriwijaya Air SJY-182 resmi dihentikan oleh Kementerian Perhubungan pada 21 Januari 2021 lalu. Namun, CVR yang jadi petunjuk penting untuk proses penyelidikan jatuhnya pesawat di perairan Kepulauan Seribu, belum ditemukan. Tim gabungan Basarnas hanya menemukan bagian baterai dan casing CVR pada 15 Januari 2021 lalu.
"Kami tinggal mencari memori CVR itu," ungkap Panglima Komando Armada I Laksamana Muda TNI Abdul Rasyid ketika memberikan keterangan pers di JICT Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Rasyid mengaku optimistis memori yang berukuran lebih besar dari baterai CVR akan mudah ditemukan. Ia juga berharap memori tersebut bisa ditemukan dalam kondisi utuh.
Usai operasi pencarian korban dihentikan, pemerintah memberi kewenangan kepada Komisi Nasional dan Keselamatan Transportasi (KNKT) untuk memimpin operasi pencarian. Proses pencarian juga dibantu tim dari Angkatan Laut. Sayangnya, hingga berita ini ditulis, memori CVR itu belum ditemukan.
"Belum ada (memori yang ditemukan). Masih serpihan-serpihan yang ditemukan," ungkap Kepala Dinas Penerangan TNI AL, Kolonel Julius Widjojono kepada IDN Times melalui pesan pendek pada Minggu (31/1/2021).
Direktur Operasi Basarnas, Brigjen Rasman MS, mengatakan titik pencarian CVR yang ada di bawah laut dibagi menjadi empat sektor. Setiap sektor atau zona ditentukan sekitar 15-30 meter. Ia menjelaskan area pencarian dipersempit di titik itu karena diperkirakan di situlah titik pecahan atau jatuhnya pesawat Sriwijaya Air SJY-182.
Hal itu terbukti karena masih ada serpihan pesawat yang jatuh pada 9 Januari 2021 lalu. Sementara, selama operasi lanjutan digelar, KNKT akan bermarkas di Pulau Lancang. Pengamat penerbangan Alvin Lie mengatakan penting bagi KNKT menemukan CVR, karena di dalam memori itu terekam pembicaraan yang terjadi antara pilot dan kopilot di ruang kokpit sebelum pesawat jatuh.
"Human factor (penyebab jatuhnya pesawat) bisa diketahui di cockpit voice recorder (CVR)," tutur Alvin kepada IDN Times melalui telepon hari ini.
2. Sistem autothrottle pesawat Sriwijaya Air bermasalah?

Salah satu faktor yang diduga kuat menjadi penyebab jatuhnya pesawat karena ada permasalahan di bagian autothrottle yang belum ditangani secara serius. Bahkan, permasalahan itu kerap muncul selama satu bulan terakhir sebelum pesawat jatuh pada 9 Januari 2021.
Wakil Ketua Ikatan Pilot Indonesia (IPI), Capt Rama Noya ketika berbincang dengan IDN Times dalam program "Ngobrol Seru" pada 14 Januari 2021 lalu menjelaskan autothrottle adalah sistem pengatur 'gas' yang memungkinkan pilot menyetel kecepatan (speed) dan dorongan (thrust) pesawat secara otomatis.
Pilot menggunakan autothrottle untuk mengatur penerbangan pesawat dalam batas yang aman. Sementara, thrust memungkinkan pilot mengatur kekuatan pendorong pesawat mulai dari lepas landas, menaikan dan menurunkan ketinggian serta saat mendarat. Badan Penerbangan Federal (FAA) Amerika Serikat mengatakan autothrottle didesain untuk mengurangi beban kerja pilot, khususnya pada penerbangan jarak jauh.
Tetapi, Rama tidak mau terburu-buru menyimpulkan bahwa throttle otomatis adalah penyebab pesawat yang berisi 62 orang itu jatuh empat menit setelah lepas landas. "Untuk melakukan analisa, uraian, terkait kecelakaan ini merupakan tupoksi KNKT. Saya lebih baik menunggu analisa itu," ungkap Rama yang hingga kini masih bekerja sebagai pilot di maskapai pelat hitam.
Investigator utama KNKT Nurcahyo Utomo, tak membantah bila ada informasi yang disampaikan mengenai kerusakan autothrottle. "Tetapi, kami belum tahu apa permasalahannya. Bila kita menemukan CVR, maka kita dapat mendengarkan diskusi di antara kedua pilot, apa yang mereka bicarakan (di dalam kokpit) dan kita akan tahu apa permasalahan yang mereka hadapi," kata Nurcahyo seperti dikutip dari kantor berita Reuters pada 22 Januari 2021 lalu.
Sedangkan, menurut Alvin, autothrottle sama sekali tidak menjadi masalah. Sebab, bila tidak berfungsi sekalipun, pilot tetap bisa menggunakan throttle manual.
3. Sriwijaya Air menggunakan strategi membeli pesawat berusia tua

Hal lain yang sempat diduga menjadi penyebab jatuhnya pesawat karena usia Boeing 737-500 yang sudah 26 tahun. Apalagi sebelum dibeli oleh Sriwijaya Air, pesawat dengan nomor registrasi PK-CLC sempat dimiliki oleh dua maskapai di Amerika Serikat.
Pertama, pesawat itu dimiliki maskapai asal Continental Air yang dioperasikan perdana pada 31 Mei 1994 dengan kode registrasi N27610. Kedua, pesawat ini berpindah kepemilikan oleh United Airlines pada 1 Oktober 2010 dengan kode registrasi yang sama. Sriwijaya Air sendiri baru menggunakan pesawat ini pada 15 Mei 2012 dengan kode registrasi PK-CLC.
Tetapi, Alvin membantah usia pesawat berpengaruh terhadap keamanan pesawat. Ia juga menilai membeli armada bekas adalah praktik umum dalam dunia penerbangan sipil. Itu merupakan salah satu strategi yang digunakan untuk menekan biaya.
"Itu sama sekali gak ada masalah, mau (pesawat) beli second atau baru. Gak ada masalah sama sekali," ujar Alvin.
Ia menjelaskan masing-masing maskapai memiliki strategi bisnis untuk menggaet penumpang. Ia mencontohkan Singapore Airlines yang menggunakan strategi bisnis selalu menggunakan pesawat baru. Hal itu sejalan dengan citra yang dibangun maskapai nasional asal Singapura tersebut, bahwa pesawat Singapore Airlines modern dan didukung teknologi terbaru.
"Average age (pesawat yang digunakan oleh Singapore Airlines) between four years to six years. Begitu pesawat mereka memasuki usia delapan tahun, langsung dijual," katanya.
Ia menambahkan ketika pesawat bekas itu dibeli oleh maskapai lain maka sudah sepaket dengan data berupa logbook. "Aircraft logbook itu melekat dengan aircraft-nya," lanjut dia.
Logbook pesawat milik Sriwijaya itu memaparkan bagaimana perawatan yang selama ini diberikan untuk burung besi tersebut sejak masih mengudara di langit Amerika Serikat. "Logbook tidak bisa diakses secara digital atau daring. Semua tersedia dalam format manual," tutur dia lagi.
Hal itu dikonfirmasi oleh sumber kantor Reuters yang menyebut pemilik Sriwijaya Air menggunakan strategi membeli pesawat lama. Mereka juga tidak memilih memberlakukan strategi maskapai berbiaya murah (LCC) dengan banyak membeli armada baru seperti yang dilakukan pesaingnya yakni Lion Air, AirAsia Group Bhd dan VietJet Aviation JSC.
Berdasarkan data dari situs Planespotters.net, rata-rata usia armada yang dimiliki oleh Sriwijaya dan anak perusahaannya, NAM Air lebih dari 20 tahun. Itu tiga kali lebih tua dibandingkan usia armada yang dimiliki oleh Lion Air.
Penyedia data penerbangan, Cirium, mencatat Boeing 737-500 yang jatuh pada 9 Januari 2021 lalu merupakan satu dari 77 pesawat jenis itu yang masih beroperasi di seluruh dunia. Maskapai lainnya yang masih mengoperasikannya yaitu Air Peace (Nigeria) dan SCAT Airlines (Kazakhstan).
"Para pendiri maskapai ini bukan orang-orang flamboyan seperti yang selama ini memiliki maskapai pesawat," ungkap sumber itu.
Fokus pangsa pasar Sriwijaya Air ada di rute lapis kedua dan ketiga sehingga banyak yang setia menggunakan maskapai itu. Sriwijaya Air berhasil merebut 10 persen pangsa pasar setelah Lion Air dan Garuda Indonesia.
4. Keluarga korban akan menggugat Boeing di pengadilan Amerika Serikat

Di saat KNKT bahkan belum merilis hasil penyelidikan awal jatuhnya Sriwijaya Air SJY-182, keluarga korban sudah bersiap menggugat Boeing ke Amerika Serikat. Satu keluarga korban yang diwakili oleh firma hukum Wisner yang berkantor di Chicago sudah mengajukan tuntutan ke pengadilan Circuit Court of Cook County di Illinois. Tuntutan disampaikan pada 25 Januari 2021.
Menurut Alexander Wisner dari firma hukum tersebut, penyelidikan awal yang mereka lakukan menunjukkan jatuhnya pesawat karena dipicu kerusakan mesin yang sangat fatal.
Ada pula empat keluarga korban lainnya yang diwakili oleh firma hukum Danto dan Tomi yang juga berencana menggugat Boeing. Bedanya, mereka masih menyusun bukti dan belum mengajukan gugatan resmi.
"Begitu datanya lengkap, maka datanya akan kami submit ke pengacara rekanan Charles Herrmann untuk dibawa ke pengadilan di AS," ungkap kuasa hukum keluarga korban, C Priaardanto yang dihubungi oleh IDN Times pada 25 Januari 2021 lalu melalui telepon.
Bila firma hukum Wisner yakin jatuhnya pesawat disebabkan faktor autothrottle, maka Danto melihat dari sudut pandang berbeda. "Kami tengah mengarah ke dugaan, bila dilihat titik penerbangannya kan (pesawat) sempat membelok. Ada kekhawatiran apakah hal itu disebabkan oleh mesin kiri tiba-tiba mati tapi masih terbang dengan kecepatan tinggi, hal tersebut yang tengah kami telusuri," tutur dia.
"Investigasi kami di AS masih mengarah ke situ," ujarnya lagi.
Baik Danto dan Wisner pun mengaku yakin bisa memenangkan gugatan melawan Boeing lalu memperoleh kompensasi yang sebanding. Tetapi, menurut Alvin, gugatan yang dilayangkan oleh dua firma hukum itu terlalu terburu-buru. Sebab, laporan awal yang dirilis oleh KNKT saja belum ada. Meski ia juga menggaris bawahi laporan KNKT tidak bisa digunakan sebagai barang bukti di pengadilan.
"Jadi, berdasarkan apa (mereka menyusun gugatan). Mereka (pengacara yang mewakili keluarga korban) adalah pemakan bangkai. Proses gugatan ini pasti akan berakhir di luar pengadilan," ungkap Alvin yang menyebut Boeing biasanya akan memberi kompensasi.
5. Publik diimbau tidak perlu khawatir menggunakan transportasi udara

Usai jatuhnya pesawat Sriwijaya Air SJY-182, dunia penerbangan Indonesia kembali disorot oleh dunia internasional. Sebab, pada 2018 lalu, Indonesia juga mengalami kecelakaan fatal, di mana Lion Air jatuh di perairan Karawang. Kecelakaan pesawat Boeing 737 Max 8 itu menewaskan 189 jiwa.
Kantor berita Associated Press (AP) mencatat, Indonesia merupakan negara dengan rekam jejak penerbangan paling buruk di Benua Asia. Mengutip data dari Aviation Safety Network, Indonesia ada di peringkat delapan sebagai negara dengan tingkat kecelakaan pesawat tertinggi di dunia. Data yang direkam sejak 1945 itu, tertulis ada 104 kecelakaan dan jumlah korban lebih dari 1.300 jiwa.
AP mencatat, berdasarkan pengalaman di masa lalu penyebab tingginya kecelakaan pesawat di Indonesia dipicu buruknya kualitas pelatihan pilot, kegagalan mekanik, permasalahan dengan pengendalian lalu lintas udara (ATC), hingga buruknya pemeliharaan pesawat.
Tetapi, menurut Alvin perbaikan yang signifikan sudah dilakukan oleh Indonesia. Buktinya, pada 2016 lalu, FAA telah memberikan Indonesia kategori I. Artinya, FAA menilai Indonesia telah mematuhi standar penerbangan sipil internasional yang diatur ICAO. Maskapai asal Indonesia pun sudah dibolehkan terbang di langit Negeri Paman Sam.
Ia pun yakin jatuhnya Sriwijaya Air tidak langsung membuat ICAO menarik sertifikasi itu. "Karena ICAO tidak hanya melihat dari satu perspektif saja. Pertama, yang dilihat adalah regulasinya, peraturannya seperti apa. Kedua, regulatornya, organisasinya seperti apa. Ketiga, SDM regulatornya, keempat, infrastrukturnya seperti apa. Kelima, air navigation service seperti apa, lalu ada bandara hingga manajemen maskapai seperti apa," tutur pria yang juga duduk sebagai anggota Ombudsman itu.
Bila terjadi kecelakaan maka ICAO juga melihat respons otoritas di negara itu seperti apa. Apakah penyelidikan dilakukan secara transparan dan akuntabel. "Artinya, tidak serta merta karena satu kecelakaan lalu semua jadi jelek," ungkapnya.
Meski begitu, Alvin bisa memahami bila publik sempat khawatir menggunakan transportasi udara usai jatuhnya Sriwijaya Air. Tetapi, ia memastikan pesawat masih menjadi transportasi yang paling aman. Hal itu didukung dengan data kinerja ICAO 2019 yang dirilis pada 2020 menunjukkan dari 1 juta pesawat yang lepas landas hanya 2,9 yang alami kecelakaan.
"Sementara, angka yang menunjukkan fatal accident di mana ada korban jiwa itu lebih rendah lagi. Jadi, keselamatan itu adalah faktor utama yang dipertimbangkan oleh regulator dan pembuat pesawat," katanya lagi.