Forum Purnawirawan Prajurit TNI pada Senin (2/6/2025) mengirimkan surat ke parlemen berisi usulan pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Surat setebal delapan halaman itu dikirimkan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia (DPR). Dokumen tertulis itu ditandatangani oleh empat purnawirawan jenderal yakni Jenderal TNI (Purn) Fachrul Razi, Marsekal TNI (Purn) Hanafie Asnan, Jenderal TNI (Purn) Tyasno Soedarto dan Laksamana TNI (Purn) Slamet Soebijanto.
Para purnawirawan prajurit TNI mengatakan mereka bagian dari masyarakat sipil yang menjunjung tinggi konstitusi, etika kenegaraan dan prinsip demokrasi yang sehat. Mereka menyampaikan pandangan hukum terhadap proses politik dan hukum yang mengantarkan Gibran Rakabuming Raka menjadi Wakil Presiden RI tahun 2024-2029.
"Dengan ini kami mengusulkan kepada MPR RI dan DPR RI agar segera memproses pemakzulan (impeachment) terhadap Wakil Presiden berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku," demikian isi surat tersebut dan dikutip pada Selasa (3/6/2025).
Forum Purnawirawan Prajurit TNI menggunakan empat dasar hukum yang membuka celah di mana wapres berkuasa dapat dilengserkan. Salah satu dasar hukum yang disebut untuk dapat mencopot wapres berkuasa adalah UUD 1945 amandemen III pasal 7A. Di dalam pasal tersebut tertulis presiden atau wakil presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas dasar usulan dari DPR.
"Baik apabila (wapres berkuasa) terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela maupun apabila tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden atau wakil presiden," demikian isi pasal tersebut.
Lebih lanjut, forum purnawirawan prajurit TNI mencantumkan empat argumentasi hukum mengapa Gibran perlu dilengserkan dari kursi wapres. Pertama, adanya pelanggaran hukum, etika publik dan konflik kepentingan.
"Gibran memperoleh tiket pencalonan melalui perubahan batas usia capres-cawapres dalam putusan MK nomor 90/PUU-XXI/2023. Proses tersebut dinilai telah melanggar UU nomor 48 tahun 2009 mengenai kekuasaan kehakiman, dinyatakan tidak sah (cacat hukum). Karena Ketua Hakim MK yang memutus perkara adalah paman dari Saudara Gibran Rakabuming Raka," demikian isi dokumen tersebut.
Dengan begitu, Gibran juga telah melanggar kode etik dan perilaku hakim. Dasar argumentasi hukum kedua yakni putusan Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK). "Putusan MK nomor 90/PUU-XXI/2023 terhadap pasal 169 huruf q menyatakan UU Pemilu yang dalam putusan tersebut Anwar Usman sebagai ketua majelis yang sekaligus merupakan paman yang mempunyai hubungan keluarga dengan Gibran, seharusnya wajib mengundurkan diri," kata dokumen tersebut.
Oleh sebab itu, lewat putusan MKMK, Anwar dinyatakan bersalah telah melanggar kode etik dan perilaku hakim. Forum Purnawirawan Prajurit TNI turut mendorong putusan MK nomor 90 belum pernah dilakukan pemeriksaan kembali dengan susunan majelis hakim yang berbeda. "Dengan demikian masih dapat diajukan untuk diperiksa kembali melalui DPR sebagaimana pasal 17 ayat 7 UU nomor 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman. Pasal ini tidak mengatur ketentuan kedaluwarsa," demikian tertulis di dalam dokumen.