Hadiri Sidang di MK, Menkes Jelaskan Urgensi UU Kesehatan

- Menteri Kesehatan hadiri sidang uji materi UU Kesehatan di MK.
- UU 17 Tahun 2023 adalah bentuk penataan sistem hukum kesehatan Indonesia.
- UU ini merupakan penyempurnaan regulasi untuk menjawab permasalahan di bidang kesehatan.
Jakarta, IDN Times - Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin menghadiri sidang lanjutan uji materi sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Selasa (3/6/2024).
Adapun sidang dengan nomor perkara 182/PUU-XXII/2024 ini digelar dengan agenda mendengarkan keterangan Presiden dan pihak terkait.
1. UU Kesehatan dibuat untuk menata sistem kesehatan dan wujud tanggung jawab negara

Dalam kesempatan itu, Budi menjelaskan urgensi dibentuknya UU Nomor 17 Tahun 2023. Ia memastikan, UU Kesehatan dibuat sebagai bentuk penataan sistem hukum kesehatan Indonesia dan wujud tanggung jawab negara dalam memenuhi hak masyarakat memperoleh pelayanan kesehatan dengan akses mudah, berkualitas, dan biaya terjangkau.
UU Nomor 17 Tahun 2023 ini memperbarui sistem hukum kesehatan Indonesia yang sebelumnya tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan yang ditandai dengan adanya fragmentasi kelembagaan dan disparitas antarprofesi.
"Pendekatan integratif yang digunakan undang-undang 17-2023 menata ulang relasi kelembagaan secara lebih proporsional antara masyarakat sebagai fokus utama dengan tenaga medis, kesehatan, dan negara dari yang sebelumnya orientasi pada organisasi profesi menjadi struktur yang lebih seimbang dan berorientasi kepada masyarakat," tegas Budi.
Ia menjamin, UU Nomor 17 Tahun 2023 merupakan penyempurnaan regulasi untuk menjawab berbagai permasalahan di bidang kesehatan termasuk pengelolaan SDM kesehatan.
Hal ini mencakup pengaturan yang komprehensif terhadap penataan kelembagaan, penguatan peran pemerintah sebagai regulator, perbaikan tata kelola perencanaan pendidikan, pelatihan, pendayagunaan, pengawasan, serta perlindungan tenaga medis dan tenaga kesehatan.
2. Sejalan dengan amanat UUD 1945

Selain itu, Budi menjamin UU Kesehatan dibuat sejalan dengan amanat konstitusional UUD 1945 yang menegaskan bahwa hak atas kesehatan merupakan bagian integral dari Hak Asasi Manusia yang dilindungi dan dijamin keberlangsungannya oleh negara.
"Hal ini tercermin dalam ketentuan pasal 28h ayat 1 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin. Serta memperoleh pelayanan kesehatan dan Pasal 34 ayat 3 yang menyatakan bahwa negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan yang layak. Dalam konstruksi konstitusi tersebut kesehatan ditempatkan sebagai kebutuhan dasar setiap orang sekaligus salah satu instrumen utama negara dalam memajukan kesejahteraan umum sebagaimana termaktub dalam tujuan bernegara," jelasnya.
3. PB IDI dan 52 orang gugat sejumlah pasal UU Kesehatan ke MK

Sebelumnya, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) yang diwakili Ketua Umum Adib Khumaidi dan Sekretaris Jenderal Ulul Albab bersama 52 perorangan lainnya yang berstatus sebagai dokter, Pegawai Negeri Sipil (PNS), dosen, karyawan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), polisi, TNI, pelajar/mahasiswa, pensiunan, serta ibu rumah tangga menjadi Pemohon pengujian materi UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Para Pemohon ini menguji materi setidaknya 24 pasal dalam UU Kesehatan yang dianggap bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.
“Objek permohonan yang diuji dalam perkara permohonan ini ada 24 (pasal) pokok permohonan,” ujar kuasa hukum para Pemohon Muhammad Joni dalam sidang pendahuluan Perkara Nomor 182/PUU-XXII/2024 pada Selasa (31/12/2024) lalu.
Pasal yang diuji para Pemohon ke Mahkamah Konstitusi (MK) di antaranya Pasal 311 ayat (1), Pasal 268 ayat (1), Pasal 268 ayat (2), Pasal 1 Angka 25, Pasal 269, Pasal 270, Pasal 272 ayat (1), Pasal 272 ayat (3), Pasal 304 ayat (2), Pasal 306 ayat (1), Pasal 307, Pasal 310, Pasal 220 ayat (2), Pasal 258 ayat (2), Pasal 260 ayat (2), Pasal 261 huruf b, Pasal 264 ayat (1), Pasal 264 ayat (5), Pasal 273 ayat (1), Pasal 287 ayat (4), Pasal 291 ayat (2), Pasal 421 ayat (1), Pasal 442, dan Pasal 454 huruf c.
Salah satu klaster yang dipermasalahkan para pemohon ialah ketiadaan norma yang hanya menerima dan mengakui eksistensi organisasi profesi dokter dalam wadah tunggal yakni Ikatan Dokter Indonesia untuk profesi dokter dan Persatuan Dokter Gigi untuk dokter gigi.
Menurut para Pemohon, Pasal 311 ayat (1) UU Kesehatan harus dimaknai bukan organisasi kemasyarakatan (ormas), sehingga tidak beralasan membentuk organisasi profesi secara bebas tanpa dibatasi dan dimaknai sebagai satu organisasi profesi atau wadah tunggal yaitu Ikatan Dokter Indonesia sebagai rumah besar profesi dokter yang konstitusional. Pasal ini berbunyi, “Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dapat membentuk organisasi profesi”.
Pasal 311 ayat (1) UU Kesehatan memungkinkan adanya klaim organisasi profesi yang dibentuk sembrono dan tidak valid yang mengakibatkan timbulnya kerugian konstitusional seperti ancaman bagi mutu dan kompetensi tenaga medis, kekacauan penggunaan nomenklatur organisasi profesi, kekacauan sistem hukum dengan kepastian hukum yang adil, melemahkan negara dan pemerintah dalam memenuhi tanggung jawab konstitusional Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Selain itu juga dinilai melemahkan kaum dokter dan dokter gigi sebagai angkatan tenaga medis yang merupakan komponen strategis bangsa dan negara.