Di Balik Tren Penggunaan Jasa Fotografer Pribadi Saat Traveling
JAKARTA, Indonesia —Awal April 2018, Yesi Haerunisa berkesempatan melakukan perjalanan wisata ke Turki. Yesi berangkat dari Indonesia bersama ibunya kala itu. Sungguh perjalanan yang sangat berkesan, karena berkunjung ke Turki, khususnya Cappadocia, sudah menjadi impian Yesi sejak lama.
Tentu, perjalanan seistimewa ini ingin selalu dikenang Yesi seumur hidup. Terlebih karena perjalanan ke Turki dilalui bersama sang ibu tercinta. Selain ingin meresapi momen demi momen saat bepergian, Yesi pun berpikir untuk mengabadikan perjalanannya dengan lebih baik. Karena itulah, sebelum berangkat, Yesi mulai mencari tahu soal tren terbaru penggunaan jasa fotografer pribadi saat traveling.
Atas rekomendasi sang adik, akhirnya Yesi mulai mengulik banyak hal tentang tren ini. Sampai akhirnya ia menemukan SweetEscape, penyedia jasa layanan fotografer pribadi saat seseorang tengah bepergian di luar kota atau luar negeri.
"Aku jarang banget pergi kan. Jadi mumpung sekalinya pergi mending bikin memorable. Lagipula Cappdocia kan agak susah. Ke sananya agak susah. Aku kan suka foto. Kalau di tempat biasa masih bisa aku kejar sendiri lah. Tapi kalau yang itu susah," ujar Yesi saat berbicara dengan Rappler menuturkan pengalamannya beberapa saat lalu.
Pentingnya merekam dan mengabadikan momen saat bepergian menjadi alasan utama Yesi menggunakan fasilitas seperti ini. Sebelumnya, saat bepergian, perempuan kelahiran 22 Januari 1989 ini terbiasa memotret dengan kamera sendiri. Karena itu, saat dikenalkan dengan konsep baru ini, Yesi sangat tertarik.
Meski tawarannya menarik, Yesi mengaku butuh waktu untuk memantapkan niat. Apalagi harga yang dikeluarkan tak sedikit jumlahnya. "Tapi lama-lama dipikir, oh iya ya, momen itu yang penting. Kadang mikirnya, kapan lagi sih kita bisa ke sana? Dan kalau punya momen yang bagus, kayak buat memori yang disimpan seumur hidup," ujar Yesi yang sekarang mengaku masih bisa merasakan feeling serupa saat bepergian setiap kali ia melihat-lihat kembali fotonya saat di Turki.
Alasan kedua Yesi tertarik menggunakan jasa seperti ini adalah karena ia sendiri memiliki blog pribadi. Tentu keberadaan foto yang memiliki kualitas bagus sangat mendukung tulisannya di blog.
Local experience jadi nilai tambah
"Sempat maju mundur. Tapi untungnya pas aku lihat hasil foto, ada harga ada rupa. Aku jadi tahu kenapa bisa seharga itu. Meski cuma 2 jam pemotretan, menurutku sebenarnya lebih ekonomis jatuhnya. Lagipula, murah atau mahal itu kan relatif. Tapi enaknya, karena dalam 2 jam itu mereka ngebebasin mau berapa orang, bajunya berapa. Jadi kalau ramai-ramai jatuhnya malah lebih murah."
Yang aku ingat pas mereka jual di Instagram, mereka fotografer lokal, merea tahu spot-spot lokal yang gak umum. Akses dan knowledge di tempat itu yang dijual sama mereka. Kalau kita bisa bikin triknya, kaykanya enggak mahal sih jatuhnya. Apalagi kalau satu grup bisa dibagi banyak.
Saat akhirnya waktu pemotretan tiba pun, Yesi sangat puas. Karena fotografer benar-benar penduduk lokal, banyak akses-akses yang tidak bisa dinikmati turis jadi bisa terbuka lebar untuknya dan sang fotografer.
"Kalau aku melihatnya magical moment banget. Fotografer bukan cuma menjual foto tapi juga akses. Dan itu yang penting. Lokasi mana yang dapat foto bisa sebagus itu. Aku itu pas naik balon udara di hari sebelumnya, balonnya biasa banget. Nah si fotografer ini bawa aku ke area yang motif balon udaranya bagus-bagus. Lagipula, di Cappadocia, kalau tidak menyewa balon udara sebenarnya tidak boleh masuk area itu, tapi karena fotografernya orang lokal, kami bisa masuk. Jadi hitungannya bisa menghemat banget."
Tidak ada kendala berarti yang dilalui Yesi saat melakukan pemotretan. Meski fotografernya tak fasih berbahasa Inggris, namun standar komunikasi ditambah bahasa tubuh jadi senjata terbaik. "Alhamdulilah lancar dan aku banyak tanya juga dan dia sangat welcome. Dia membiarkan aku adaptasi dulu dengan suasana sekitar dan senyamannya aku. Kalau aku udha mentok baru dia mengarahkan," ungkap Yesi.
Setelah sekali mencoba jasa traveling photography seperti ini, Yesi mengaku ketagihan. Banyak pujian yang diterimanya saat ia membagikan foto di media sosial. Apalagi ia merasa karena unsur lokalitas yang jadi prioritas, maka fotonya jadi tidak pasaran. "Orang juga bakalan susah ngikutin foto kita jadinya. Hasilnya juga bagus. Soal safety-nya, sistemnya juga. Karena mereka care banget dan personal banget."
Berawal dari kebutuhan foto pribadi
Keinginan Yesi untuk memiliki dokumentasi momen-momen penting saat bepergian pun jadi alasan David Soong saat ia pertama kali merintis SweetEscape. Tahun 2015 David mulai melakukan test market dan kemudian meluncurkan SweetEscape di tahun 2016.
Setiap kali bepergian dengan keluarganya, David merasakan satu hal, bahwa ia tidak pernah memiliki foto keluarga dengan personel lengkap saat sedang bepergian. Alasannya, karena sebagai fotografer, ia selalu menjadi orang yang mengabadikan momen tersebut. "Jadi idenya datang dari kombinasi observing other people sama personal realization. Ini bukan problem saya saja, tapi problem orang lain juga," ujar David yang berbincang dengan Rappler di kantornya di kawasan Gunawarman, Jakarta Selatan beberapa saat lalu.
Bahkan satu kali, David merasa, karena tidak memiliki foto bersama sang istri saat liburan, ia meminta bantuan anaknya untuk memotret. Sebagai imbalan, ia akan memberikan sejumlah uang per foto yang dipilihnya bersama istri. "Fotonya banyak, kami cuma pilih dua. Ditabungin buat celengan dia. Di situ saya sadar, ternyata walaupun anak kecil motret kami berdua, foto-foto itu menurut kami langka. Karena enggak ada yang bisa motretin kami sambil jalan. Kami pikir, akan cocok banget kalau bisa punya teman wherever you go yang motretin your trip. Making it memorable."
Sebelum merintis SweetEscape, David sudah ternama di kalangan industri fotografi Tanah Air lewat Axioo Photography miliknya yang berfokus pada wedding photography. Tapi mengekspansi bisnis dari wedding ke traveling photography memang dirasa sangat jauh berbeda oleh David. "Di wedding itu pressure-nya tinggi sekali. Karena itu momen once in a lifetime yang enggak bisa diulang. Saya enggak bilang wedding lebih susah. Tapi di wedding setidaknya sebelum hari-H kami bisa berkenalan dan pendekatan dengan calon pengantinnya."
Berbeda tentu dengan proses pemotretan di negara lain di mana klien dan fotografer bertemu dan berinteraksi satu sama lain untuk kali pertama. Hal ini yang jadi challenge tersendiri bagi David saat merintis SweetEscape.
"Bayangkan kalau ada klien trip ke Meksiko, fotografernya orang Meksiko, enggak pernah kenal, enggak pernah ketemu tapi dalam waktu singkat harus bisa bawa dia sebagai teman keliling kota. Itu susah. Apalagi lebih dari 90% klien tidak terbiasa di depan kamera. Belum lagi perbedaaan budaya dan bahasa," kata David menjelaskan.
Tapi David percaya, sesulit apapun halangan dan kendala seputar budaya dan bahasa, ide untuk menghubungkan dua pihak yang berbeda dari latar belakang yang berbeda itu sangat menarik untuk dieksplorasi. "Bahasa Inggris enggak selalu bisa menghubungkan orang lho. Tapi kami well connecting people around the world, around the idea of basic human need."
Kurasi ketat
Karena didasari keinginan dan pengalaman pribadi, David pun sangat peduli untuk urusan kenyamanan dan keamanan kliennya. Itulah mengapa ia secara pribadi masih terlibat di proses kurasi dan rekrutmen para fotografer lokal freelance yang bergabung dengan SweetEscape dari seluruh penjuru dunia.
Total, kata David, saat ini ia bekerja sama dengan 2000 fotografer di 400-an kota di sekitar 4-50 negara di dunia. Dan 200 fotografer ini satu per satu harus melewati proses kurasi yang cermat.
"Harus pelan-pelan. Kalau buru-buru enggak bisa. Ada standar dan sleksi. Karena kami sadar betapa pentingnya posisi fotografer di pengalaman seseorang saat menggunakan jasa Sweet Escape. Kami harus mencari mereka yang bisa mewakili kami. Yang pertama, pasti soal pengalaman. Kedua, fotografer itu harus ramah. Enggak cuma jago motret tapi ramah. Ketiga, harus orang lokal. Karena tanpa disadari orang lokal itu bisa memberikan added value local guide," cerita David.
Cara untuk bisa mengkurasi dan merekrut para fotografer ini adalah dengan wawancara langsung. Salah satu yang terpenting, kata David, adalah bagaimana ia melihat cara sang fotografer tersenyum. Ketika berinteraksi dan berbicara langsung, layaknya manusia biasa, seseorang bisa tahu secara instan, mana yang cocok mana yang tidak. "Dari ekspresi wajah juga, itu kan basic human language. Penting banget cari fotografer yang friendly. Biar bahasanya enggak nyambung pun tapi warmth dan friendliness dan welcoming itu universal language."
Karena proses kurasi dan rekrutmen yang tepat, banyak konsumen yang nyaman meski harus berinteraksi dengan orang asing di negara asing pula. Selain itu, kemudahan memperoleh foto juga jadi salah satu nilai tambah. Ini karena langkah David yang dengan cermat menggabungkan teknologi dan fotografi.
"Mobile experience zaman sekarang itu paling penting. Kami tahu kalau traveler itu ke mana-mana enggak mungkin bawa laptop. Jadi it has to be a friendly mobile experience," ungkap David.
Dengan mudah pula, lewat aplikasi di smartphone, pengguna bisa memilih layanan yang tersedia, berkomunikasi dengan fotografer di belahan dunia manapun, bertransaksi, memilih dan mencetak foto hingga menggunakan jasa pengiriman foto hasil cetakan. Semua dilakukan lewat aplikasi. "Kami percaya technological advance itu yang bikin sesuatu yang ribet jadi simpel."
Serba digital
SweetEscape dan layanan penyedia jasa fotografer pribadi saat traveling lainnya seakan jadi bagian dari tren di industri fotografi yang selalu berkembang sesuai era. Fotografi, sejak lama sudah menjadi bagian yang tak bisa terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Meski zaman dan teknologi terus berkembang, prinsip-prinsip dasar fotografi tak pernah lekang.
"Menurut saya fotografi baru benar-benar berubah sejak tahun 2005 ke atas. Setelah era digital. Dulu sebelumnya semua orang kalau ngomongin fotografi itu banyak yang takut, karena pakai film takut salah, gelap, terbakar dan exposure. Sekarang enggak. Orang yang tadinya takut, mencoba, penasaran dan ada yang akhirnya jadi kesenangan. Sampai sekarang tahapnya sudah lebih ke apresiasi hasil karya yang bagus," ujar David yang mengaku jatuh hati pada dunia fotografi sejak tahun 1996.
"Waktu itu lagi kuliah. Dan saya bukan lulusan fotografi tapi cinta, demen, ketagihan, keterusan dan saya merasa fotografi ini powerfull banget. Padahal zaman saya itu zaman film ya. Belajar fotografi juga lambat dan mahal waktu itu. Tapi bisa meng-capture momen, itu yang bikin saya jatuh cinta."
David memulai dengan memotret landscape selama tiga tahun sampai akhirnya ia mencoba people photography. Di sini David sadar, bahwa ternyata people photography itu, hasil fotonya defines a person. It becomes your identity. When you create a photography of a person, itu nempel. Itu bagian terpenting dalam hidup saya. Dan pas melihat the power of photography in that way, in the real way, dan saya sukanya motretin real people, bukan model. Saya suka banget motretin orang biasa. Di sanalah mereka lebih appreciate karena mereka enggak punya foto bagus."
Yesi adalah contoh nyata pengguna fasilitas traveling photography yang kini bisa menikmati salah satu momen terpenting dalam hidupnya dalam bentuk foto dengan kualitas yang sangat baik. Dokumentasi yang seumur hidup akan dimiliki dan dinikmatinya seumur hidup meski momen tersebut sudah jadi kenangan.
Pengalaman Yesi membuatnya tak berpikir dua kali untuk merekomendasikan fasilitas serupa pada rekan dan keluarga. Yang dilakukan Yesi ini, menurut David, adalah bentuk marketing yang sesungguhnya. Marketing yang mengandalkan pengalaman terbaik dan menghasilkan viral effect tanpa usaha yang berlebihan.
"Kebanyakan orang, produknya susah banget untuk meraih viral effect. Tapi SweetEscape ini produknya aneh. Karena ini personal, hasil fotonya dia dan teman-teman atau keluarga dan pasangan, tanpa disuruh pun, mereka posting sendiri, sharing sendiri dan dengan senang hati mereka ikut merekomendasikan," kata David yang mengaku viral effect ini tak hanya datang dari Indonesia tapi juga dari luar negeri.
"Kami bingung kenapa bahkan di negara-negara yang bahasanya enggak tersedia di layanan kami, spreading-nya cepat. Di Filipina misalnya, awalnya ada beberapa user yang pakai, lama-lama banyak. Padahal kami baru mulai launching di Filipina pertengahan tahun nanti."
Maraknya tren penyedia jasa fotografer pribadi saat bepergian ini menurut David tak bisa dilepaskan dari soal timing. Bayangkan kalau tren seperti ini muncul di awal 2000-an misalnya. Mereka yang punya foto bagus pun pasti tidak tahu mau menaruh foto di mana. "Masa di dompet? Ha ha ha. Ini tahun 2005 saja belum ada. Di atas 2010 orang baru merasakan budaya terbuka. Semua mendadak pengin sharing, update, terus melihat teman-teman dan dapat ide."
Jangan takut bertanya
Kepada traveler dan traveling photography, David juga memberikan beberapa masukan dan tip berharga. David yang memang gemar bepergian ini selalu merasakan bahwa pengalaman terbaik saat memotret ketika bepergian adalah untuk tetap berpikiran terbuka pada banyak hal, jangan terlalu kaku.
"Menurut saya traveling itu so much joy, baik traveler atau fotgrafer. Karena membuka wawasan kita lihat budaya baru, gaya pikir, cara kerja, makanan dan lain-lain. Traveling itu adalah kebutuhan manusia yang sudah ada sejak dulu, bukan di 2018 saja. Even before Columbus. Nenek moyang kita juga sudah melakukan itu. To see and learn something new."
Kata David, sebagai fotografer, saat bepergian, harus diingat bahwa semakin banyak bepergian, maka semakin besar pula pemahaman tentang interaksi manusia yang didapat. Karena itu, ia menyarankan bagi para traveling photographer untuk tidak menyendiri. "Bicara dengan orang lokal. Mereka tahu lebih banyak dari yang kamu pikirkan, bahkan lebih banyak dari Google. Jangan takut untuk ngobrol dengan orang lokal. Jangan kayak turis dan hidup di dunia sendiri."
Sementara untuk traveler, ada beberapa hal yang dibagikan David. Yang pertama adalah soal memperhatikan koordinasi warna dan potongan pakaian yang dikenakan saat mengabadikan foto. "Kalau naik gunung, pakai pakaian naik gunung. Terus, kalau fotonya ramai-ramai, semua bajunya harus enak dilihat. Jangan satu merah, satu hijau, kuning, hitam. Itu namanya Goggle V. Ha ha ha. Fashion coordination itu penting."
Memotret dengan peralatan sendiri juga berarti sang pemilik peralatan paling tidak sudah menguasai alatnya, paling tidak untuk fasilitas dan teknik dasarnya. Selain itu, jika bepergian ke negara yang dirasa aman, boleh saja meminta bantuan orang-orang yang lewat. "Tapi kan di tempat-tempat tertentu, safety enggak bisa diabaikan. Pakai common sense lah."
—Rappler.com