DKI Mau Pisah Tempat Duduk di Angkot Cegah Pelecehan, Ini Kata PSI

Menurutnya pelaku pelecehan harus diproses hukum

Jakarta, IDN Times - Anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PSI, Eneng Malianasari, menanggapi wacana Dinas Perhubungan DKI Jakarta yang akan memisah tempat duduk perempuan dan laki-laki di angkot, sebagai upaya pencegahan terjadinya pelecehan. Menurut Eneng, langkah itu dinilai tidak efektif dan hanya berefek jangka pendek. 

"Kebijakan tersebut tidak efektif, hanya sebagai solusi jangka pendek dan tidak berkepanjangan, belum lagi Dishub tidak memikirkan ruang angkot yang sempit untuk membagi hal tersebut, berbeda dengan TransJakarta atau commuter line yang memiliki ruang luas," jelasnya dalam keterangan resmi, Senin (11/7/2022).

1. Pengawasan dan penertiban aparat penegak hukum disorot

DKI Mau Pisah Tempat Duduk di Angkot Cegah Pelecehan, Ini Kata PSIIlustrasi pelecehan seksual (IDN Times/Doni Hermawan)

Anggota Komisi C DPRD DKI ini menerangkan, permasalahan yang terjadi bukan hanya soal implementasi dari kebijakan tersebut, tapi bagaimana pengawasan dan penertiban yang dilakukan aparat penegak hukum agar tidak terulang lagi kejadian pelecehan tersebut.

"Pemerintah bersama semua stakeholder, baik itu institusi Komnas HAM, Komnas Anak dan Perempuan, juga LSM lainnya untuk duduk bersama membahas strategi berkepanjangan agar tidak lagi terjadi pelecehan di transportasi umum, terutama angkot. Dengan duduk bersama, diharap melahirkan solusi jitu menanggulangi hal tercela tersebut terjadi lagi," tegasnya.

Baca Juga: Karyawati Citayam Jadi Korban Pelecehan Seksual di Angkot Kuningan 

2. Kekerasan dan pelecehan seksual menjadi concern semua pihak

DKI Mau Pisah Tempat Duduk di Angkot Cegah Pelecehan, Ini Kata PSIIlustrasi Pelecehan Seksual. Sumber Ilustrasi: SuaraKalbar.id

Maraknya tingkat kekerasan dan pelecehan seksual tentu menjadi perhatian semua pihak, sambung Politisi Muda PSI ini. Pemerintah perlu juga merumuskan sistem untuk menciptakan rasa aman dan kenyamanan warga saat berada dalam transportasi umum.

"Menurut Amnesty International bahwa pelecehan dan kekerasan seksual termasuk kasus HAM berat. Jadi tindakan kekerasan seksual, termasuk pelecehan seksual harus ditangani secara sistematis terorganisir, agar bisa memutus mata rantai dan selanjutnya mencegah terjadinya kembali pelecehan seksual," tutur Eneng.

"Kewajiban masyarakat melaporkan pelaku pelecehan seksual juga telah diatur secara hukum. Dalam UU no. 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang sudah disahkan pada tanggal 12 April 2022 lalu" tambah dia. 

3. Hukuman pelaku kekerasan seksual dalam UU TPKS

DKI Mau Pisah Tempat Duduk di Angkot Cegah Pelecehan, Ini Kata PSIPemerintah menggelar rapat dengan Panitia Kerja RUU TPKS, di Jakarta (1/4) (Dok. KemenPPPA)

Dalam Pasal 5 UU TPKS mengatur bahwa pelaku perbuatan seksual nonfisik dapat dipidana hingga 9 bulan penjara. Tak hanya itu, UU TPKS juga mengatur pelecehan seksual fisik sebagai salah satu tindak pidana kekerasan seksual. 

Menurut Pasal 6 UU TPKS, pelaku pelecehan seksual fisik dapat dipidana hingga 12 tahun penjara dan denda paling banyak Rp 300 juta.

"Aparat penegak hukum juga diminta untuk memberi hukuman seberat-beratnya pada pelaku pelecehan atau kekerasan seksual sesuai dengan undang-undang yang berlaku," tambah dia.

Baca Juga: Penumpang KRL Wanita di Stasiun Manggarai Mengalami Pelecehan Seksual

Topik:

  • Vanny El Rahman

Berita Terkini Lainnya