Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi doxxing di media sosial. (IDN Times/Sukma Shakti)

Intinya sih...

  • Neni tidak menyebut Gubernur Jawa Barat di dalam kontennya. Konten video itu ditujukan secara umum kepada seluruh kepala daerah yang terpilih lewat Pilkada 2024.

  • Dedi Mulyadi membantah dana untuk belanja iklan media dialihkan untuk membiayai buzzer dan pemolesan citra dirinya. Ia mendorong Neni untuk laporkan bila ada anggaran digunakan untuk biayai buzzer.

  • Neni menyesalkan langkah yang dilakukan oleh Pemprov Jawa Barat yang mengunggah fotonya di akun media sosial resmi tanpa izin, serta menilai upaya tersebut sebagai cerminan dari upaya pembungkaman demokrasi.

Jakarta, IDN Times - Ruang untuk penyampaian ekspresi dan berpendapat semakin sempit di Tanah Air. Hal itu yang dirasakan oleh Direktur Democracy and Election Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Neni Nur Hayati.

Selama dua hari berturut-turut yakni 15-16 Juli 2025, Neni mendapatkan serangan serius di dua akun media sosialnya yakni Instagram dan TikTok. Hal itu bermula dari fotonya yang diunggah di sejumlah akun resmi milik Pemprov Jawa Barat seperti dinas komunikasi dan informatika, humas Jabar, Jabar Saber Hoaks hingga jabarprovgoid.

Sejumlah akun milik Pemprov Jabar itu menampilkan video pernyataan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi yang merespons konten milik Neni di akun TikTok.

"Pada 5 Mei 2025 lalu saya memang membuat konten terkait dengan bahaya buzzer yang dapat mengancam demokrasi dan eksistensi negara. Adapun konten tersebut telah dipublikasi melalui akun pribadi di TikTok," ujar Neni di dalam keterangan tertulis pada Kamis (17/7/2025).

Di dalam konten itu, ia meneruskan informasi yang telah disampaikan di harian Kompas dengan judul 'Buzzer Mengepung Warga', 'Menyelisik Jejak Para Buzzer', dari 'Kosmetik Sampai Politik.' Tujuan Neni membuat konten di media sosial dengan meneruskan informasi dari Kompas tidak lebih dari untuk memberi edukasi ke publik dan mengingatkan kepala daerah untuk tidak melakukan pencitraan berlebihan dan melibatkan masyarakat dalam setiap pengambilan keputusan.

"Saya juga mengingatkan kepala daerah untuk tidak mengerahkan buzzer untuk melakukan penyerangan kepada aktivis yang kritis terhadap kebijakan publik," tuturnya.

Di dalam konten tersebut, Neni turut mengutip pemikiran Presiden Amerika Serikat periode 1961 hingga 1963, John F Kennedy yang mengingatkan publik bahwa bangsa yang demokratis tidak perlu takut kepada rakyatnya sendiri.

"Termasuk ketika rakyatnya itu menyampaikan pendapat terkait penyelenggara negara secara terbuka," katanya.

1. Neni tidak menyebut Gubernur Jawa Barat di dalam kontennya

Direktur Democracy and Election Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Neni Nur Hayati (tengah) kena serangan doxing. (Tangkapan layar akun TikTok)

Lebih lanjut, menurut Neni, di dalam konten yang ia unggah pada 5 Mei lalu itu, tidak ada nama Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi. Konten video itu, kata Neni, ditujukan secara umum kepada seluruh kepala daerah yang terpilih lewat Pilkada 2024.

"Saya akui dalam beberapa video lainnya, saya mengkritik kebijakan Kang Dedi Mulyadi tetapi di dalam video lainnya ada pula yang saya beri apresiasi. Saya kira ini adalah hal yang wajar. Saya tidak melakukan penyerangan secara pribadi, sebab yang saya kritisi adalah kebijakannya," tutur Neni.

Namun, di dalam konten tersebut, Neni turut menyinggung kepala daerah yang membuat kebijakan pemotongan anggaran belanja iklan di media dan menduga dana tersebut dialihkan untuk membiayai para pendengung.

Sementara, kepala daerah yang tengah mendapat sorotan karena memangkas anggaran belanja iklan ke media adalah Dedi Mulyadi. Pada awal Mei 2025 lalu, Dedi mengumumkan pemangkasan anggaran belanja iklan media Pemprov Jabar dari semula Rp50 miliar menjadi tinggal Rp3 miliar.

Neni menyebut pejabat tinggi yang dikritisi tidak hanya Dedi Mulyadi. Ada banyak pejabat publik lainnya yang dikritik lewat platform TikTok.

"Saya hanya memberikan penekanan tentang pentingnya partisipasi warga dalam pengambilan keputusan yang sangat krusial harus disertaai dengan kajian akademis secara komprehensif dan data yang mendukung dengan transparan, akuntabel dan tidak serampangan," katanya.

2. Dedi dorong Neni untuk laporkan bila ada anggaran digunakan untuk biayai buzzer

Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi menanggapi konten Direktur DEEP lewat akun media sosial Pemprov Jawa Barat. (www.instagram.com/@diskominfojabar)

Sementara, konten Neni yang dibuat awal Mei lalu ditanggapi oleh Gubernur Jabar, Dedi Mulyadi pada 16 Juli 2025 lalu. Gubernur dari Partai Gerindra itu membantah dana untuk belanja iklan media dialihkan untuk membiayai buzzer dan pemolesan citra dirinya.

"Ada yang menyampaikan bahwa tidak ada artinya pemangkasan anggaran media Rp47 miliar kemudian uangnya digunakan untuk bayar para buzzer. Saya sampaikan silakan dicek di anggaran Pemprov Jawa Barat, di dinas informasi dan komunikasi, ada gak sih anggaran untuk bayar para buzzer," ujar pria yang akrab disapa KDM dalam konten berjudul 'data dan faktanya.'

Ia bahkan mendorong Neni seandainya menemukan anggaran di APBD Pemprov Jabar untuk membiayai buzzer, agar temuan tersebut dilaporkan ke aparat penegak hukum. "Datanya terbuka kok, tinggal diambil saja. Silakan datangi Dinas Informasi Komunikasi, menanyakan anggarannya (untuk bayar buzzer)," imbuhnya.

Sejak ada unggahan konten dari Dedi Mulyadi itu, dua akun media sosial Neni banjir hujatan dan kata-kata kasar. "Saya berupaya merespons dengan baik, namun akun-akun tersebut melakukan tindakan yang lebih brutal," kata Neni.

Bahkan, dalam satu komentar, ada yang menuding Deni sebagai buzzer dari Denny Cagur dan PDI Perjuangan (PDIP).

3. Neni menyesalkan Pemprov Jabar ambil konten tanpa izin

Direktur Democracy and Election Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Neni Nur Hayati (tengah) kena serangan doxing. (IDN Times/Azzis Zulkhairil)

Neni pun menyesalkan langkah yang dilakukan oleh Pemprov Jawa Barat yang mengunggah fotonya di akun media sosial resmi tanpa izin. Selain itu, kontennya di TikTok ditafsirkan secara sepihak, menghakimi dan disebarluaskan melalui akun resmi Diskominfo.

"Alih-alih memberikan ruang untuk kebebasan berpendapat, yang terjadi justru mematikan ruang kebebasan itu dengan tindakan represif," ujar Neni.

"Padahal, kita sudah berpuluh-puluh tahun melangkah dari runtuhnya rezim Orde Baru," imbuhnya.

Ia menilai upaya yang dilakukan oleh Pemprov Jabar cerminan dari upaya pembungkaman. Hal tersebut menjadi penanda jatuhnya demokrasi dan naiknya otoritarianisme.

"Saya tentu berharap negara sebagai pemegang otoritas hukum dan pembuat kebijakan masih membuka ruang untuk kebebasan berpendapat dan memberikan perlindungan hak berkumpul, berserikat dan berpendapat," tuturnya.

Editorial Team