Nadiem Makarim Bahas 'Tiga Dosa' Besar dan Program Merdeka Belajar

Wawancara Suara Milenial

Jakarta, IDN Times – Apa fungsi dan manfaat teknologi dalam keseharian Nadiem Makarim? Saya menanyakan ini saat mewawancarai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) tersebut di kantornya, Jumat 8 April 2022 lalu. Dia baru saja menghadiri acara Diskusi Terpimpin (FGD) internal membahas 'Tiga Dosa Besar'. Apa itu? Simak di wawancara ini ya.

Soal pemanfaatan teknologi ini saya tanyakan untuk bahan Indonesia Milennial Report 2022. Jawaban Mas Menteri, “Nomor satu, buat saya teknologi itu adalah sarana belajar. Jadi, saya mau belajar mengenai topik baru, atau ingin menguasai suatu isu di dunia seperti apa, itu semua melalui teknologi, jadi itu channel saya. Saya belajar banyak hal dari YouTube. Belajar cara baca lebih cepat aja dari YouTube. Jadi saya pertama itu menggunakan teknologi untuk belajar. Belajar mengenai membaca, mengenai suatu topik dunia, mengenai konflik di Rusia, sejarahnya, dan lain-lain. Itu yang pertama.”

Kedua? “Untuk pesan makanan. Oh Iya dong. Kalau pesan makan, ya kan?  Mau buka puasa, atau apa itu, saya paling senang pesan makan. Itu fungsi yang saya suka. Lalu, ya untuk ketiga, buat saya, teknologi untuk komunikasi. Buat saya komunikasi ke luar dan komunikasi kepada teman-teman saya. Kadang-kadang jadi menteri, kita sedikit lonely, gitu. Jadi saya suka kontak teman-teman saya yang ada dimana-mana di dunia untuk menghubungi, catch-up, dan lain-lain. Jadi itu tiga fungsi utama teknologi buat saya.”

Saya memang tidak mengejar Mas Menteri pesan makanan via aplikasi apa. Tapi kita tahu bahwa dia adalah Co-Founder dari GoJek, yang mengembangkan aplikasi pesan makanan, GoFood. GoJek dan Tokopedia, “menikah” melahirkan GoTo, decacorn pertama Indonesia yang pekan lalu go public di Bursa Efek Indonesia. Nadiem hadir di acara itu.

Nadiem mengaku jarang membawa uang tunai di dompetnya. Selalu menggunakan transaksi non tunai, dan saldonya selalu penuh. “Di top-up istri,” ujarnya sambil tertawa.

Wawancara ini kami lakukan di tengah kabar gembira bahwa Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS), akhirnya diserahkan Badan Legislasi DPR ke Sidang Paripurna. Dan, akhirnya perjuangan panjang para pendukung RUU TPKS, berhasil. Rapat Paripurna DPR RI pada tanggal 12 April 2022 mengesahkan RUU TPKS menjadi UU. Pemerintah Presiden Joko “Jokowi” Widodo mendukung UU segera disahkan dan berlaku efektif.

Nadiem adalah menteri yang secara terbuka mendukung UU TPKS dan dibuktikan dengan menerbitkan Permendikbudristek 30 Tahun 2021  tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi.

Jalannya tidak mudah, karena Permendikbudristek ini ditantang lewat proses Uji Materil di Mahkamah Agung. Dan, hasilnya, MA menolak gugatan tersebut. 

Soal maraknya kekerasan seksual ini menjadi pembuka tanya jawab saya dengan Mas Menteri.

Baca Juga: Tok! MA Tolak Uji Materil Permendikbud Kekerasan Seksual di Kampus

FGD bahas 'Tiga Dosa Besar' ini maksudnya apa?

Tiga Dosa Besar itu, perundungan, kekerasan seksual, dan intoleransi. Kita itu merasa bahwa, kalau kita ingin mencetuskan ini gerakan, ya, gerakan anti tiga dosa ini. Tetapi kalau di kementeriannya saja tidak mendarah daging, nilai-nilai anti kekerasan ini, ya itu adalah suatu hal yang gak mungkin sustainable, gitu loh. Jadi kami mendorong, bukan hanya kami mendorong perguruan tinggi, dan sekolah-sekolah kita untuk mengubah paradigma mereka terhadap tiga dosa ini, tapi internal dalam kementerian itu harus juga terjadi.

Jadi saya kumpul dengan seluruh pemimpin di eselon I dan II, di Kemdikbud, untuk mengutarakan bahwa perubahan itu dimulai dari kita. Jadi, di sesi FGD ada beberapa narasumber untuk mengedukasi kita sebagai kementerian gimana caranya mengidentifikasi kekerasan seksual yang terjadi dalam lingkungan kementerian, bagaimana cara mengubah mental model-mental model kita terhadap kesetaraan gender, yang penting dipahami baik oleh laki-laki maupun perempuan. Kita semua menjadi korban mental model ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan. Dan itu yang membuat kita sangat sulit untuk mengambil tindakan.

Jadi mengenai permendikbudristek sendiri, tantangan kita adalah kepemimpinan. Kalau kepemimpinan  merasa menyebut hal-hal seperti, “Ini kayaknya cuma guyonan kan?” atau “Di bawah institusi saya ini gak terjadi kok, kita aman-aman saja, kok”. Lalu bilang kalau, “Oh, itu kayaknya bukan kekerasan, kenapa harus dibesar-besarkan?” Ini paradigma-paradigma lama ini yang harus kita hilangkan, karena tidak ada satu institusi yang bebas dari kekerasan seksual. Jadi itu merupakan suatu hal yang sangat penting untuk kementeriannya sendiri melakukan perubahan budaya sehingga dia bisa menjadi panutan dalam sistem pendidikan kita. Kita pun harus berubah, bukan hanya institusi pendidikan kita. 

FGD ini untuk menyusun protokol internal di Kemendikbudristek. Kita gak bisa dong cuma menyuruh sekolah-sekolah atau satuan pendidikan melakukan perubahan, padahal kita internal sendiri tidak melakukan transformasi. Dari sisi itu harus benar-benar membudaya di dalam kementerian ini, bahwa tiga dosa ini harus kita eliminasi.

(Saya lantas menceritakan bahwa IDN Media sudah menyusun Pedoman Pencegahan dan Penanganan Pelecehan dan Kekerasan Seksual, antara lain mengambil referensi dari Permendikbudristek untuk jenis kekerasan seksual.)

Luar biasa Mbak Uni. Saya senang itu bisa menjadi salah satu upaya membuat kerangka pedoman. Ini (pelecehan dan kekerasan seksual) terjadi di semua lingkungan, di umur  berapa pun, institusi sektor apapun, ini terjadi. Harapan besar kita, ini jangan jadi kebijakan aja, ini jadi gerakan. Dan alhamdulillah dengar bahwa IDN Times (IDN Media) sudah melakukan gerakan ini, luar biasa. Salut saya! 

Bagaimana dengan perkembangan pelaksanaan Permendikbudristek 30/2021? Benarkah angka laporan pengaduan naik?

Nadiem Makarim Bahas 'Tiga Dosa' Besar dan Program Merdeka BelajarWawancara dengan Mendikbudristek Nadiem Makarim bersama Uni Lubis by IDN Times. (IDN Times/Tata Firza)

Ya, itu benar sekali yang terjadi adalah, kita dari dulu sudah tahu secara internal bahwa ini ada fenomena gunung es. Bahwa yang dilaporkan itu sebenarnya porsi sangat kecil daripada kejadian yang ada. Karena pada saat kita melakukan polling-polling, angka-angka yang keluar  itu di atas 20 persen, yang mengalami bentuk kekerasan seksual di dalam institusi pendidikan kita. Jadi, pada saat kita mengeluarkan Permendikbud itu tiba-tiba gunung es itu semakin naik dari permukaan laut. Semakin banyak, korban yang berani melaporkan, semakin banyak diskusi antara mahasiswa, dosen, dan lain-lain. Dan,  karena menjadi suatu isu di ranah publik, jadi semakin banyak orang merasa percaya diri untuk bisa mengutarakan kejadian-kejadian dan insiden yang terjadi.  Itu mungkin dampak yang  terbesar daripada Permendikbud itu.

Tentunya itu tidak cukup bahwa hanya ada, lebih banyak pelaporan itu bagus, ya, tapi itu tidak cukup, karena sekarang tantangannya adalah apa yang akan dilakukan mengenai laporan itu? Apakah akan ada tindak lanjut daripada pihak rektorat terhadap insiden-insiden ini? Apakah akan ada sanksi-sanksi yang terlaksana? Karena saya selalu bilang, kalau mau ada sanksi, ya Permendikbud itu dilaksanakan. Karena kita semua sudah menerima bahwa itu terjadi di semua perguruan tinggi. Jadi saya bilang sama semua rektor, hasil apa yang saya harapkan, saya ingin melihat sanksinya di mana? Simpel aja, gitu.

Saya akan melihat, kalau tidak ada sanksi itu artinya Anda tidak melaksanakannya, karena saya tidak percaya bahwa di bawah universitas Anda itu tidak ada kejadian sama sekali. Dan itu pun suatu mental model yang harus dihilangkan. Jadi saya melihat sangat jelas, rektor-rektor yang mengambil tindakan yang tegas adalah rektor-rektor yang terbuka pikirannya terhadap, “Oh ya, pasti ini kejadian di dalam universitas saya”, gitu. Sedangkan yang lebih lama bergerak adalah yang selalu defensive dan denial. “Gak ini gak terjadi, ini kita aman-aman aja kok, kita sudah harmonis”, nah ini yang bahaya, pemikiran seperti itu, pola pikir seperti itu yang paling bahaya.

Soal data? Saat ini kan kita lagi mendorong perguruan tinggi untuk membentuk satgasnya, karena satgas itu adalah badan pelaksanaan daripada Permendikbud ini. Dan di perguruan tinggi ini sudah ada 33 kampus yang memiliki satgas. Nah ini tentunya jauh dari aspirasi kita, jadi kami terus mendorong. Kami menargetkan pada tahun ini ada 124 perguruan tinggi negeri dan 16 swasta sudah membentuk satgas, itu akhir tahun ini target kita. Jadi kita lagi kejar ini pembentukan ini. Mereka mengerti kok, memang tidak mudah, mereka harus memilih orang-orang yang baik, dan lain-lain. Jadi kami mengerti ini pertama kalinya, tetapi kami juga mendorong mereka untuk mengakselerasi.

Nah, pada saat nanti satgasnya sudah terbentuk kita lihat apa yang dilakukan satgas ini, orangnya, integritasnya tinggi atau tidak? Apakah mereka benar-benar mendukung dan melindungi korban? Jadi posisi kita dalam Permendikbud itu semuanya, everything is about the victim, melindungi korban, mendengarkan korban. Selalu, memilih untuk percaya dulu dengan korbannya, percaya dulu, bukannya victim blaming, bukannya malah menyalahkan korban. Itu luar biasa kasus-kasus yang menyedihkan banget Mba Uni, mengenai, ya semuanya serba salah, sebelum ada Permendikbud ini semuanya serba salah. Kalau dia melaporkan dibilang mana buktinya? Akhirnya dia menjadi pembicaraan negatif di komunitas, seolah dianggap aib, aib di keluarga.

Lebih sedih lagi di teman-temannya sendiri ada yang malah bukan mendukung, malah dikritik, menyalahkan. Akhirnya dia gak kuat, dia keluar lewat media sosial untuk mengutarakan, untuk menceritakan insidennya, lalu akibatnya si korban langsung diserang pencemaran nama baik. Jadi diserang berbagai macam arah, nah ini yang mau kita pastikan satgas bisa melindungi situasi ini. 

Saat ini angka selalu bergerak cepat, saya gak tahu persisnya berapa tapi itu berlipat ganda peningkatannya sejak Permendikbud. 

Baca Juga: 5 Kampus di Jateng Masih Susah Terapkan Permendikbud 30, Ini Alasannya

Kasus Dosen di UNRI yang diproses hukum karena melakukan pelecehan seksual ke mahasiswinya, ternyata putusan Pengadilan Negeri Pekanbaru membebaskan dosen tersebut. Ini bisa jadi preseden buruk penerapan Permendikbudristek?

Kami selalu khawatir mengenai isu-isu ini. Ini makanya independensi dan kualitas daripada satgas itu menjadi hal yang sangat penting. Di mana satgas itu secara tidak langsung menjadi lawyer-nya korban, dia menjadi psikolognya korban, dia juga menjadi, pembela publik dan komunikasi daripada korban-korban tersebut. Jadi harapannya dengan kita memilih orang-orang yang baik sebagai anggota dari satgas ini, insiden-insiden seperti ini tidak akan, terjadi lagi, akan ada sanksi tegas, baik itu sanksi dalam universitas maupun sanksi sosial terhadap para pelaku. Jadi paling tidak, walaupun kita pasti akan mengalami berbagai macam benturan dari sisi legalitas, ya, karena yang kita ubah kan peraturan di dalam universitas.  Kita bukan mengubah undang-undang, tapi dengan RUU TPKS ini menurut saya juga akan sangat membantu, karena yang saya dengar sebentar lagi disahkan.

Kalau disahkan jadi UU TPKS, ini satu development yang sangat positif menurut saya, dan akan membantu dari sisi hukum. Tapi ya kita tidak bisa menunggu semuanya sempurna sebelum maju ke depan. Paling tidak kita ingin membuat sinyal kepada semua kampus-kampus kita, bahwa kalau Anda mau terus melakukan tindakan-tindakan seperti ini, merasa pelecehan dan kekerasan seksual itu suatu hal yang tidak ada sanksi apapun, sosial maupun regulasi maupun sanksi akademis, ya ini saatnya Anda khawatir, ini saatnya orang mulai takut, dan ini saat paling tidak nyaman untuk para pelaku. Dan itu sebenarnya objektif terpenting kita, kita ingin pelaku-pelaku, atau orang-orang yang berpikiran, berpotensial menjadi pelaku, mereka takut, mereka tidak nyaman, dan mereka merasa terancam kalau mereka melakukan tindakan itu.

Dan sebenarnya menurut saya sudah tercapai tujuan itu, orang sekarang mikir lagi sebelum dia melakukan apapun, dalam bentuk apapun. Dan dia mengecek sekarang. Saya mendengar banyak masukan bahwa baik mahasiswa maupun dosen banyak yang melihat dan membaca Permendikbud ini dan baru menyadari, “Oh itu saya gak boleh melakukan itu”,  “Oh, jadi saya harus ini, begini kalau alami”. Dan itu hal yang sangat positif untuk mereka mengetahui bahwa yang tadinya abu-abu itu menjadi hitam putih sekarang.  

Platform Merdeka Belajar sudah ada 19 sekarang, terakhir soal rapor pendidikan. Bagaimana mengukur platform ini sudah memperbaiki kualitas pendidikan kita di semua level?

Jawabannya adalah melalui assessment nasional, dan itu yang tadi dibahas mengenai rapor pendidikan, itu hasil pertama assessment nasional. Jadi ya ini pertama kalinya kita melakukan suatu assessment yang 100 persen online, dan kita melakukan ini dari SD sampai SMA dan setara. Selama ini belum pernah ada assessment seperti ini di mana kita melakukannya ke 6,5 juta siswa, 3,5 juta guru, hampir 260 ribu skor masuk ke dalam assessment. Dulu kan waktu UN (ujian nasional) cuma SMP, SMA, sekarang sampai SD, jadi kita punya data.

Dan datanya itu berubah sekarang, jadi jauh lebih relevan dengan standar internasional, kita menggunakan, misalnya standar PISA di mana kita mengetes angka numerasi dan literasi. Kita bukan mengetes kemampuan anak itu menghafal informasi, kita mengetes kemampuan bernalar dia dalam aspek literasi dan numerasi. Ini bukan cuma salah satu, tapi ini assessment nasional satu-satunya, mungkin gak banyak assessment nasional di dunia yang meng-asses nilai-nilai di luar kemampuan kognitif. Jadi kita salah satu inovator dunia sekarang dalam assessment nasional, kita meng-assess ya, mencakup semua aspek dari tiga dosa itu kita evaluasi dari sisi kerentanan kekerasan seksual, kita melihat kerentanan terhadap intoleransi, kita mengukur berkebhinekaan, baik kebhinekaan dalam agama dan budaya, tapi juga rasa kebangsaan.

Dan yang ketiga, dari perundungan. Jadi pertama kali kita bukan hanya mensurvei anak-anaknya tapi juga guru-gurunya untuk mengetahui iklim keamanan dan iklim kebhinekaan di dalam sekolah-sekolah seperti apa? Jadi kita bisa meng-assess setiap sekolah itu berdasarkan, di mana di profil pelajaran Pancasila dia yang kuat, mana yang lemah, dan rapor itu diberikan secara online kepada setiap kepala sekolah dan setiap kepala daerah, kepala dinas, dinas daerah, untuk bisa melakukan refleksi. Jadi sudah gak zaman bahwa rapor adalah hal yang menghukum, tidak, ini adalah refleksi dan tahun ini adalah baseline-nya. Sehingga yang kita mau lihat adalah perubahan positif dari baseline-nya. Gak apa-apa mau rendah, tinggi, sekarang gak apa apa, yang penting itu tahun depan apakah ada perubahan signifikan. Itu yang kita harapkan dari ini, dan pertama kalinya, bayangkan, dalam sejarah Indonesia, kepala sekolah dan nanti guru-gurunya semua bisa melihat  matrik apapun yang dia dalami, oh, dalam literasi, oke, saya mau melihat dalam aspek nasionalisme kebangsaan, saya mau melihat dari kebhinekaan, kesetaraan beragama, saya mau lihat dalam aspek keamanan kekerasan seksual seperti apa datanya sekolah saya.

Soal inovasi dan kreativitas juga. Dari assessment kita ditemukan anak-anak Indonesia sangat kuat di kreativitas, akhlak, dan spiritualitas. Yang ada kelemahan, yang harus ditingkatkan. Itu di aspek kemandirian, kemandirian dari anak itu bisa berpikir dan mendorong dirinya sendiri, dan juga dari aspek kebhinekaan, itu yang perlu kita tinggikan juga.

Semua bisa melihat hasilnya di online site kita, di website kita, tetapi data mendetailnya itu untuk masing-masing sekolah, ya, untuk refleksi. Jadi kita juga, dan tidak ada data perorangan, jadi sama sekali semuanya anonymous, cuma agregasi per sekolah dan per daerah. Jadi itu memang sengaja karena ini bukan maksud untuk me-ranking-ranking ya, ini bukan maksudnya mau menyalahkan, blaming. Ini maksudnya adalah setiap sekolah punya bahan refleksi.

Apakah ada upaya untuk menjadikan kampus atau sekolah sebagai tempat yang toleran? Apa next step sesudah mendapatkan hasil dari rapor pendidikan itu?

Nadiem Makarim Bahas 'Tiga Dosa' Besar dan Program Merdeka BelajarWawancara dengan Mendikbudristek Nadiem Makarim bersama Uni Lubis by IDN Times. (IDN Times/Tata Firza)

Jadi mungkin langkah pertama kita adalah kita sekarang Kemendikbud dengan Kemenag itu bermitra sangat erat untuk memastikan bahwa program-program Kemenag seperti moderasi beragama itu berlanjut secara efektif dan sukses di lapangan. Di luar itu pun, kita di dalam semua aspek, kepemimpinan guru, pelatihan guru, dan lain-lain itu akan kita sisipkan berbagai macam nilai-nilai kebhinekaan, menjadi prioritas. Dan itu adalah salah satu strategi ke depan.

Jadi gak bisa kayak bikin program baru aja, yang lebih penting lagi dengan existing program yang sudah ada, dengan guru-guru, dengan kepala sekolah, dan kunci pembentukan budaya sekolah itu adalah guru-guru dan kepala sekolahnya. Kalau itunya saja sudah tidak toleran, bagaimana kita mau expect murid-muridnya untuk toleran. Jadi dari berbagai inisiatif dan intervensi kita terhadap kepemimpinan guru, baik kepala sekolah maupun pelatihan guru, program guru penggerak, sekolah penggerak, itu semuanya ada komponen kebhinekaan dan toleransi menjadi salah satu pilar utama kita di dalamnya.

Beda-beda semuanya punya intervensi yang beda, untuk yang kekerasan seksual ada intervensi beda lagi. Misalkan saya kasih contoh dari data A sekolah yang punya program atau kebijakan terhadap kekerasan seksual, itu insidensinya mereka, persentase itu jauh di bawah. Bisa bayangkan gak. Itu suatu hal yang sangat menarik, itu kita lihat.

Karena awareness-nya sudah bagus ya?

Betul, jadi kita melihat perundungan dan kekerasan seksual ada korelasi yang sangat tinggi sekolah itu punya program yang ngomongin topik itu atau tidak, punya peraturan, atau punya suatu program. Kalau dia punya level insidensi, baik kekerasan seksual maupun perundungan itu jauh lebih kecil dibandingkan yang tidak pernah dibahas tidak pernah ada. Ya, jadi itu memberikan kita indikasi bahwa step pertama adalah untuk bisa menginformasikan ini pada sekolah-sekolah, “Kalau Anda tidak punya program ini, insidensi anda akan selalu tinggi”. Jadi harus dibahas, harus didiskusikan, dan lain-lain. 

Dari 19 platform Merdeka Belajar, juga pengalaman dua tahun terakhir pandemik, the hardest part, yang paling sulit bagi Mas Menteri untuk mensosialisasikan bahkan mengimplementasikannya yang mana?

Yang paling sulit? Semuanya sulit ha ha ha, gak ada yang gampang, itu Permendikbud 30 aja salah satu hal yang paling sulit untuk dipublikasikan karena itu hal baru, terobosan. Walaupun sekarang dukungannya luar biasa. Awal-awalnya kan banyak orang masih bingung nih kenapa dan isi kontennya. Semua yang kita lakukan di Kemendikbudristek ini ini selama dua setengah tahun, sering kali  ini yang pertama kali dilakukan dalam sejarah Indonesia. Jadi kalau nanya saya mana yang sulit,  hampir semuanya sulit. 

Jadi bayangkan, melakukan assesment nasional yang meng-assess nilai-nilai yang sensitif topik-topiknya. Itu luar biasa sulit untuk dikomunikasikan. Permendikbud mengenai kekerasan seksual, itu sulit tapi luar biasa dampaknya. Untuk kita bisa melakukan berbagai macam transformasi kurikulum tanpa dituduh ganti menteri ganti kurikulum. Sekarang sudah tenang karena opsi voluntary, setiap sekolah boleh memilih dia mau pindah kurikulum atau tidak. Itu bukan hal yang mudah. Bagaimana menjelaskan project based learning kepada sekolah-sekolah di daerah-daerah. Itu bukan hal yang mudah. 

Konsep kemerdekaan saja bagi guru, itu hal yang tidak mudah dipahami karena mereka selama ini dengan kurikulum yang sangat restrictive, yang begitu padat dengan materi, lalu mereka diberikan kebebasan,  mereka diberi materi yang jauh lebih sedikit. 

Bingung juga, harus ngapain, jadi harus kreatif ya?

Nadiem Makarim Bahas 'Tiga Dosa' Besar dan Program Merdeka BelajarWawancara dengan Mendikbudristek Nadiem Makarim bersama Uni Lubis by IDN Times. (IDN Times/Tata Firza)

Iya, Betul. mendorong kemandirian mereka, otonomi mereka, dan itu bukan hal yang mudah. Jadi itu pun gak mudah. Semua yang kita lakukan gak mudah.Masih banyak hal lagi yang kita lakukan. Tetapi, satu hal yang yang baru kita sadari sekarang adalah kalau kita konsisten dalam melakukan perubahan dan kita pantang mundur, itu luar biasa dukungan akhirnya dari stakeholder pendidikan kita. Kayak program guru honorer saja, yang luar biasa. Itu berapa puluh tahun itu gak ngeh, dan baru aja kita lakukan. Walaupun tidak sempurna, tapi tahun pertama, tiga ratus ribu guru honorer lulus PPPK. Berlipat ganda pendapatannya. Tiga ratus ribu pendidik kita sekarang mendapatkan upah yang jauh lebih layak. Mereka bisa melindungi keluarga mereka secara ekonomi, dan itu bukan hal yang mudah sama sekali dan terus kita perbaiki. Jadi ya jawaban singkatnya adalah gak ada yang mudah.

Soal keinginan Malaysia menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa resmi ASEAN ramai ya, dan Anda menolak ide itu bagaimana?

Saya tuh sangat menghormati opini pemerintah Malaysia dalam aspek apapun, sebenarnya ini opini saya sebagai menteri,  di mana badan bahasa itu di bawah saya, menurut saya patut saya utarakan gitu, bahwa kalau kita benar-benar mau memilih secara objektif. Bahasa ASEAN itu lingua franca-nya harusnya apa. Ya, sudah jelas dari metrik apapun, jumlah penutur, iya kan? Berapa jumlah negara di mana ada program pelatihan bahasa kita, lebih dari 40-an.

Jadi dari semua aspek dan angka itu, banyak sekali alasan kenapa Bahasa Indonesia jadi pilihan yang jauh lebih tepat. Dan bukan cuma itu, Bahasa Indonesia itu adalah bahasa yang sangat inovatif,  jadi kenapa Bahasa Indonesia itu masih jadi bahasa yang digunakan begitu banyak masyarakat Indonesia ? Karena Bahasa Indonesia itu adalah bahasa yang dihasilkan dari peleburan berbagai macam bahasa. Dan terus berinovasi, gitu. Jumlah Bahasa Inggris yang masuk ke dalam bahasa Indonesia, makanya selalu relevan dan masih digunakan. Sedangkan di negara-negara lain banyak bahasa yang mulai hilang ke Bahasa Inggris karena bahasanya tidak berkembang. Jadi itu adalah mungkin salah satu karakteristik kenapa bahasa Indonesia menurut saya, kalau saya ditanya, apa yang paling tepat sebagai lingua franca ASEAN, ya harusnya  Bahasa Indonesia. Simpel aja saya gitu, saya orangnya jujur gitu kalau beropini. 

Belakangan berkembang NFT, Metaverse, Crypto, bahkan sudah ada yang jadi korban karena literasi rendah. Apakah itu hal-hal seperti ini juga harus masuk ke dalam kurikulum di pendidikan tinggi, misalnya?

Transformasi digital itu adalah mungkin perubahan terbesar yang akan dialami ekonomi kita, sudah dialami dan akan terus. Perubahan akan semakin pesat di dekade ke depan, nah ini suatu hal yang akan sangat sulit kita menghadapi tantangan ini kalau kita tidak mengubah definisi apa itu perguruan tinggi atau apa itu pengalaman di perguruan tinggi. Kalau kita menunggu, misalnya, transformasi internal saja dalam setiap perguruan tinggi, mungkin gak akan kekejar. Ini makanya kenapa kita meluncurkan program kampus merdeka, program magang dan studi independen, di mana selama satu semester, bahkan bisa sampai dengan tiga semester, anak-anak diberikan kesempatan untuk belajar di dunia industri, dan dari ronde yang pertama itu hampir setengahnya, 40 persen paling tidak minimal pengalaman itu berhubungan dengan talenta digital, atau perusahaan yang berkiprah dalam dunia digital.

Menurut kami ini cara tercepat dan paling efektif untuk mempersiapkan talenta kita untuk mengenal dunia teknologi untuk bukan hanya menjadi konsumen dari produk teknologi, tapi menjadi produsen produk-produk teknologi. Kita akan “menikahkan” dunia akademik dengan dunia industri digital dan akan ada perbauran bukan cuma mahasiswa tapi dosen-dosennya juga, dan ini harapan besar kita. Bukan cuma mahasiswa yang ke luar dari kampus, kami juga mendorong dosen-dosen untuk ke luar dari kampus dan mencari pengalaman, sehingga itu bisa membantu karirnya juga. Dan bukan cuma itu, tahun ini kita akan meluncurkan program praktisi mengajar, di mana kita akan menarik praktisi-praktisi dan banyak dari mereka yang memiliki talenta digital untuk menjadi dosen paruh waktu. Menjadi dosen part-time, jadi sambil bekerja, dia juga mengajar. Jadi ini adalah insentif bagi universitas untuk menarik praktisi-praktisi terbaik. 

Dalam bentuk apapun kami terbuka, gitu. Jadi praktisi mengajar ini adalah effort untuk menarik talenta-talenta industri kita masuk ke dalam perguruan tinggi untuk mengajar. Perubahan yang terjadi adalah melepaskan sekat-sekat antara dunia di luar akademi, dan dunia akademi. Dan bahkan di dalam universitas sendiri, kita ingin melepaskan sekat-sekat antara prodi, sekat-sekat antara fakultas, karena the future is multi discipline. Sebenarnya bukan future sih, udah sekarang. 

Kalau saya harus jujur nih ya, gak ada satu pun pekerjaan, mungkin Mbak Uni bisa koreksi saya ya…tapi, di industri, apapun tidak ada satu pekerjaan pun yang cuma single discipline, itu gak ada. 

Kolaborasi is the key-nya sekarang ya. Tapi jadi ingin tahu juga, kalau Mas Menteri ini karena sebelumnya adalah techpreneur, gimana sih ngeliat perkembangan kayak Metaverse, Web3, NFT?

Ini salah satu bentuk transformasi digital yang paling cepat ya, yang saya lihat. Baik dari struktur keuangan, dan instrumen-instrumen keuangan baru yang digunakan. Blockchain based, itu sangat menarik dan harapan besar saya adalah kita, sekali lagi bukan cuma menjadi konsumen crypto, atau blockchain, tapi kita menjadi produsen. Jadi itu tugas saya, adalah kita bagian daripada developer community-nya itu, makanya digital talent itu begitu penting. Tapi menurut saya konsep-konsep seperti NFT dan lain-lain, tentunya di setiap awal dari teknologi selalu ada risiko.

Selalu ada risiko, selalu kita harus menggunakan akal kritis dalam meng-assess ini. Tapi menurut saya dalam jangka panjang, ini akan benar-benar mendemokratisasi dan meningkatkan transparansi sistem keuangan, membuka jalur-jalur investasi yang lebih besar bagi masyarakat umum, bukan hanya institusi, dan menurut saya ini akan mendorong desentralisasi daripada struktur ekonomi. Kita baru di awal banget, jadi saya belum bisa prediksi bakal ke mana ini perubahannya, tetapi ini merupakan suatu aspek sektor transformasi yang menurut saya akan terbesar dalam sepuluh tahun ke depan.

Soal Web3 development ini dimintai masukan gak sama pemerintah? Presiden?

Karena saya di dalam sektor pendidikan, kan pendidikan itu by default adalah selalu future oriented. Jadi semua hal itu saya harus memikirkan sepuluh, dua puluh tahun ke depan bakal seperti apa. Jadi teknologi kenapa ristek itu menjadi bagian yang sangat ketat sebenarnya dari itu, ya tentunya selalu harus saya mengambil posisi dan opini mengenai apa sih teknologi yang akan relevan di masa depan. Jadi opini mengenai ini selalu konsisten dari dulu. Jangan sampai kita menahan inovasi, itu jangan, tapi konsekuensi-konsekuensi terburuk daripada suatu teknologi baru atau aspek baru itu harus kita tangani, tapi jangan buat merata, biasanya regulasi merata yang akan menutup inovasi.

Posisi saya dari dulu, memang sebelum saya jadi menteri pun selalu seperti itu. Jadi tugas pemerintah itu adalah untuk mendorong inovasi, sebanyak-banyaknya. Tapi untuk melindungi konsekuensi terburuk dari inovasi tersebut, jangan disamaratakan semuanya, selalu harus spesifik dalam mengontrol risiko.

Bagaimana hikmah menginap di rumah guru-guru?

Nadiem Makarim Bahas 'Tiga Dosa' Besar dan Program Merdeka BelajarMendikbud Nadiem Anwar Makarim menerima penghargaan Indonesia Government Procurement Awards dari Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Instagram.com/nadiemmakarim)

Selalu beda-beda pengalamannya dari satu guru ke guru lain, dari satu daerah ke daerah lain. Setiap kali saya datang dan menginap di rumah guru, atau nginap di rumah musisi, waktu itu kan di Toba, gak cuma guru. Ada guru honorer, ada sekali saya nginap di sekolah, di ruang kelas, di tempat suku anak dalam. Dan itu buat saya suatu hal yang luar biasa juga. Jadi ada berbagai macam pengalaman, gak cuma nginap di rumah guru, tapi nginap di rumah warga, ada sampai nginap di ruang kelas, semuanya beda-beda.

Jadi yang saya dapatkan dari pengalaman itu, gak akan pernah saya lupakan, saya benar-benar bisa mengerti seperti apa guru dan stakeholder pendidikan itu hidup seperti apa. Saya bisa berbicara dengan keluarga mereka, saya makan makanan mereka, saya mandi di kamar mandinya mereka, bisa duduk bersama dan mengerti diskusi yang saya bisa lakukan kepada orang di mana saya menginap di rumahnya itu luar biasa berbedanya dari sesi biasa.

Dia akan curhat seadanya, dia akan merasa ini kesempatan dia untuk mengeluarkan uneg-uneg dan isunya. Dan cerita-cerita seperti itu berdampak sangat besar kepada kebijakan. Kalau misalnya saya tidak langsung turun ke lapangan dan tidak mengerti hidupnya guru-guru honorer, mungkin motivasi saya untuk mendorong program honorer PPPK itu gak akan sebesar itu. Jadi ini bukan hanya saya datang untuk ngobrol, tapi ini berdampak langsung kepada kebijakan. Bagaimana saya bisa tahu kebijakan yang kita luncurkan, oh udah senang-senang ada episode Merdeka Belajar. Itu kan baru meluncurkan saja,  dari mana saya tahu itu berdampak sampai ke daerah? Itu dalam sesi-sesi ini saya menanyakan. “Udah pernah gak dengar program ini?” “Mana yang kamu senang?” “Mana yang mungkin belum terasa?” dan lain-lain.

Jadi, sebagai menteri, menurut saya ini adalah suatu pengalaman, yang bukan hanya bagi development saya sebagai pemimpin, itu baik ya untuk empati kepada mereka. Tetapi, juga mengetes, ini kebijakannya menetes apa gak? Ini kebijakannya sampai apa gak? Seperti yang Pak Presiden selalu wanti-wanti. Ini sent, tapi delivered gak? Mungkin sudah sent, tapi gak delivered. Jadi proses nginap-nginap itu buat saya adalah mungkin highlight ya. Saya belum pernah mengalami pengalaman-pengalaman seperti itu. Bisa nginap di pesantren dan lain lain. Jadi itu buat saya bukan tugas, tapi privilege saya bisa mengalami aspek itu. Bahkan sampai tim-tim internal saya, saya masih menjelaskan seperti apa. Banyak yang nanya kepada saya dari dalam kementerian, seperti apa sih pengalamannya, rumahnya seperti apa? Disuguhin apa? 

Makanan lokal pastinya?

Betul, betul. Dan menurut saya itu bagi semua pemimpin penting banget untuk punya perspektif itu, untuk selalu punya akar terhadap siapa sih, kamu nih tugasnya bantuin siapa sih? Dan, karena itu saya terus melanjutkan ini. Melaksanakan bukan hanya tugas, tapi juga selalu touch based dengan konstituen. Selalu melihat seperti apa adanya di lapangan. 

Apa pesan untuk Hari Pendidikan Nasional 2022?

Mungkin pesan saya sangat sederhana. Satu, sudah waktunya balik sekolah, sudah waktunya 100 persen offline, ya, itu nomor satu. Itu pesan besar saya,  kita semua harus balik ke sekolah. Kedua, adalah kita harus mengejar ketertinggalan kita selama ini. Berarti hal-hal yang kita gak bisa hanya business as usual, semua kepala sekolah, semua kepala dinas, harus fokus bagaimana kita bukan hanya mengejar ketertinggalan, tapi juga melakukan lompatan-lompatan.

Jadi kita harus berani mengambil risiko dalam perubahan ini. Sekarang sudah disediakan berbagai macam fasilitas, kurikulumnya yang mana yang lebih cocok buat Anda, ayo. Ada platform-platform mengajar untuk membantu guru transisi ke kurikulum yang lebih merdeka, sudah ada. Sekarang sudah ada rapor pendidikan yang menunjukkan data.

Sedalam apapun yang diinginkan, kepala sekolah dan guru-guru, itu tolong digunakan sebagai bahan refleksi, ada program guru penggerak yang akan mendorong regenerasi kepala sekolah, yang akan menjadi pemimpin pendidikan masa depan. Fasilitasnya sudah ada, tapi ini harus dijemput bolanya sama setiap kepala sekolah, setiap guru di daerah, harus dijemput kepala dinas dan pemda-pemda. Jadi, Merdeka Belajar bukan hanya sekadar menjadi kebijakan, tetapi menjadi gerakan.

Topik:

  • Umi Kalsum

Berita Terkini Lainnya