Virus Corona, Korsel Melacak Warga Secara Agresif

Kisah seorang jurnalis di Seoul

Jakarta, IDN Times - Korea Selatan dan Amerika Serikat mendapatkan konfirmasi bahwa ada warganya yang terinfeksi virus corona atau COVID-19 pada hari yang sama, tanggal 20 Januari 2020. Dua bulan kemudian, tepatnya per tanggal 17 Maret 2020, Korea Selatan telah melakukan tes kepada 274 ribu orang, sementara AS baru melakukan tes kepada 25 ribu orang.

Akibatnya penyebaran orang terinfeksi COVID-19 tidak terdeteksi. Pemerintahan Presiden Donald J Trump menuai kritik pedas karena sempat menganggap enteng dan lambat bereaksi.
Di Korea Selatan, tes yang dilakukan masif bahkan melalui metode layanan tanpa turun (lantatur), atau drive-thru berhasil melambatkan penyebaran, karena mereka yang dites kemudian dimonitor secara ketat. Negeri itu dipuji memiliki standar tinggi dalam menangani pandemik global ini.

Menurut data periset medis Universitas John Hopkins, sampai pekan ini, tingkat kematian di Korea Selatan adalah 0,7 persen, dibandingkan dengan 7,94 persen di Italia, 3,98 persen di Tiongkok dan Hongkong, serta 1,68 persen di AS.

Kecepatan Korea Selatan melakukan tes didukung oleh cepatnya industri medis negeri itu memasok keperluan alat uji (test kit) lengkap dengan metode swab, atau dikenal dengan RT-PCR, sebanyak 20 ribu per hari.

Laman Al Jazeera melaporkan wawancara dengan Jerome King, direktur jenderal Institut Vaksin Internasional. King mengatakan Korsel memiliki industri bioteknologi skala kecil, berkembang pesat, dan dipimpin oleh saintis.

"Pemerintah Tiongkok mengumumkan urutan dari virus corona. Perusahaan-perusahaan ini mengamati hal itu dan kemudian secara cepat memproduksi alat uji," kata King.

Tapi, di samping kecepatan melakukan tes ke banyak warga, sebenarnya Korsel punya kunci lain yang dilakukan, yaitu melacak jejak pasien positif dengan agresif.

Juwon Park, editor rubrik hiburan yang bekerja untuk kantor berita AP, dan tinggal di Seoul, membagikan kisah yang dia alami selama melakukan karantina mandiri, melalui akun Twitter-nya, @juwonreport. IDN Times mendapatkan izin dari Juwon yang berusia 26 tahun, untuk menggunakan materi kicauan dan foto-foto di linimasanya untuk artikel ini.

Baca Juga: Begini Cara Korsel, Italia dan Singapura Cegah Virus Corona

1.Setiap hari, orang dalam pengawasan termasuk yang positif, dicek suhu tubuhnya

Virus Corona, Korsel Melacak Warga Secara AgresifBingkisan untuk warga Korsel yang menjalani tes COVID-19. Twitter/Juwon Park

"Saudaraku menjalani karantina mandiri karena tanpa disadarinya, dia kontak dengan pasien positif virus corona. Saat dia secara gak sengaja tidak menjawab telepon dari pusat kesehatan lokal yang mengecek kewajiban mengukur suhu badan dua kali sehari, reaksi mereka seperti, 'kalau kamu PERNAH meninggalkan rumah, kami harus melacak kamu dengan polisi. Jawab panggilan teleponmu.'"

Juwon menceritakan, ibu dan saudaranya itu menjalani karantina mandiri. Saudara Juwon pergi ke tempat kerja ibunya, dan keduanya kontak di kantor itu dengan teman kerja ibunya yang masuk kantor dalam keadaan demam dan menunjukkan gejala COVID-19.

"Setelah teman ibuku dites dan hasilnya positif, ibu dan saudaraku dapat telepon dari perusahaan tempat bekerja dan klinik kesehatan setempat, menanyakan informasi personal dan bagaimana mereka kontak dengan pasien positif, tempat-tempat yang mereka kunjungi, dan data lainnya," kata tulis Juwon, yang juga menyebutkan bahwa jalur penting (hotline) nomor 1339 sangat membantu dan cepat merespons panggilan.

2. Pemerintah Korsel membantu pasokan makanan bagi mereka yang harus melakukan karantina mandiri

Virus Corona, Korsel Melacak Warga Secara AgresifIsi bingkisan untuk warga yang menjalani tes COVID-19 di Korsel. Twitter/Juwon Park

"Dalam beberapa jam setelah didata, kantor pemerintahan lokal (distrik) mengirimkan dua kantong bingkisan ke rumah kami. Kantong itu isinya keperluan medis seperti pengukur suhu (thermometer), 15 masker untuk masing-masing, kantong merah untuk sampah bio hazard, hand sanitizer, penyemprot alkohol untuk sanitasi," kata Juwon.

Tak lama kemudian, kedua ODP ditelepon dari kantor distrik juga, yang meminta mereka untuk memilih barang-barang kebutuhan sehari-hari seharga di bawah 100 ribu won, atau senilai US$80 dolar (dengan nilai tukar 1 US$ setara Rp15 ribu, nilainya sekitar Rp1,2 juta), yang dapat dibeli di Lotte Mart. "Kami meminta dibelikan telur, ayam beku, susu dan beberapa barang lain. Mereka kemudian mengirimkan barang-barang itu ke rumah," tulis Juwon.

Dia juga menceritakan, stigma terhadap pasien positif COVID-19 juga terjadi di sana. Barang-barang yang dipesan itu, diletakkan begitu saja di depan pintu rumah mereka.

3. Bagaimana rasanya hidup serumah dengan keluarga kamu yang ODP?

Virus Corona, Korsel Melacak Warga Secara AgresifPekerja perusahaan layanan desinfeksi membersihkan depot gerbong kereta bawah tanah di tengah kekhawatiran atas penyebaran COVID-19 di Seoul, Korea Selatan, pada 11 Maret 2020. ANTARA FOTO/REUTERS/Heo Ran

"Melakukan karantina mandiri berat banget, tidak hanya untuk pasien potensial, tetapi juga buat keluarganya, dalam hal ini, ya aku," kisah Juwon.

Banyak keluarga di Korsel tinggal di apartemen dengan 2-3 kamar, dilengkapi 1-2 kamar mandi. "Kami harus memisahkan semuanya, termasuk penggunaan alat masak, piring makan, handuk, kamar mandi, semuanya deh," kata Juwon.

Ibu dan saudara Juwon boleh ke luar kamar dengan menggunakan masker, dan Juwon harus menjaga jarak minimal 2 meter dari mereka, sesuatu hal yang tidak mudah mengingat ukuran apartemen yang tidak luas juga. Mereka harus makan secara terpisah. Akhirnya mereka lebih sering pesan layanan antar.

Juwon juga memilih untuk lebih banyak tinggal di rumah, soalnya dia gak mau kalau tidak disiplin menjaga jarak, nanti tempat-tempat makan harus ditutup dan dia membahayakan dirinya dan orang-orang yang disayanginya. Maklum, COVID-19 bisa ditularkan oleh mereka yang tidak punya gejala.

4. Nah, ini proses yang dijalani mereka yang melakukan tes COVID-19 di Korsel

Virus Corona, Korsel Melacak Warga Secara AgresifSejumlah prajurit menyemprotkan desinfektan di dalam komplek apartemen yang sedang diisolasi setelah laporan infeksi massal penyakit COVID-19 di Daegu, Korea Selatan, pada 9 Maret 2020. ANTARA FOTO/REUTERS/Kim Kyung-Hoon

Sebenarnya Juwon paling-paling ke luar rumah untuk mengajak anjingnya jalan ke taman dekat apartemen dan membelikan teh Strawberry Bubble kesukaan saudaranya. Eh, dia kemudian mulai batuk-batuk, nyeri di otot, dan agak susah bernafas, serta keliyengan, pusing. Suhu tubuhnya 37 derajat Celsius. Sebenarnya di bawah suhu gejala, 38 derajat. Tapi tanda-tanda yang lain itu bikin Juwon khawatir.

Ibu Juwon menelepon kantor distrik dan memesan jadwal tes bagi seluruh keluarga mereka. Sehari kemudian mereka ke lokasi tes. Juwon dengan ayahnya, sementara ibu dan saudaranya naik kendaraan berbeda.

Sampai di lokasi, Juwon menelpon petugas yang sudah janjian sebelumnya. Sepuluh menit kemudian dia diminta mendekat ke salah satu tenda pengujian COVID-19, tak jauh dari lokasi parkir. Ada 3-4 petugas menggunakan alat pelindung diri.

"Mereka meminta kami untuk berdiri dan memberikan sarung tangan plastik untuk digunakan. Ada dua kotak kontainer. Seorang petugas masuk dan menyemprot kotak itu dengan disinfektan. Aku masuk ke kotak #1, di sana ada sebuah kursi dan jendela kaca yang memisahkan antara aku dengan staf medis. Staf itu mengulurkan kedua tangannya dari lubang di jendela kaca , menyodorkan cotton swab yang rasanya paling panjang yang aku pernah lihat, aku grogi, khawatir dan berpikir, aku dengar ini menyakitkan, please pelan-pelan dong. Dia bilang, "duduk aja". Mereka sangat serius dan professional.”

Petugas memasukkan tangkai kapas uji swab ke lubang hidung sampai ke arah tenggorokan, juga lewat mulut, ke arah tenggorokan pula. “Rasanya gak enak banget. Prosesnya cuma tiga menit. Petugas mengingatkan agar aku tetap melakukan karantina mandiri, hasil tes akan diberitahukan lewat pesan singkat telepon, keesokan hari, jam 9 pagi,” kisah Juwon.

Juwon merasa khawatir soalnya dia punya riwayat asma. Hasil tes Juwon negatif. Begitu juga keluarganya. Dia bersyukur banget.

5. Korsel memiliki sistem pelacakan ODP dan pasien COVID-19 yang agresif

Virus Corona, Korsel Melacak Warga Secara AgresifTentara Korea Selatan menyemprotkan desinfektan di sebuah jalan pasar obat herbal di tengah meningkatnya jumlah kasus COVID-19 yang dikonfirmasi di Daegu, Korea Selatan, pada 7 Maret 2020. ANTARA FOTO/REUTERS/Kim Kyung-Hoon

Nah, petugas kesehatan di sana rajin dan disiplin mengecek suhu tubuh ODP, sehari dua kali. Mereka juga diwajibkan mengunduh App yang bisa mendeteksi pergerakan. "App canggih ini memberikan peringatan jika kamu melewati batas wilayah, kita gak boleh jauh dari rumah. Cuma boleh di dekat saja," tutur Juwon.

Situs coronamap.site menjadi rujukan warga untuk melihat pemutakhiran kasus positif COVID-19 dan pergerakan mereka.

Awal Februari, pemerintah meluncurkan aplikasi deteksi pasien yang sesuai tes terbukti positif, dengan memanfaatkan data telepon seluler, riwayat penggunaan kartu kredit, dan data personal lainnya. Pemerintah menggunakan data tersebut untuk melacak jejak pergerakan pasien COVID19, sekaligus menangani potensi penyebaran virus.

"Dalam situasi saat ini, ada soal kesehatan sebuah negara, atau kota dan juga hak individual. Jadi saya pikir orang tidak keberatan karena mereka ingin tahu, di mana mereka mungkin saja berpotensi terpapar (virus), terutama kalau mereka memiliki gejalanya," kata King.

Baca Juga: Korea Selatan Tolak Avigan Jepang Sebagai Opsi Pengobatan Virus Corona

Topik:

  • Umi Kalsum
  • Septi Riyani

Berita Terkini Lainnya