Silaturahmi Koalisi Indonesia Maju di kediaman Prabowo di Hambalang, Bogor (dok. Tim Media Prabowo)
Pemohon juga memaparkan komposisi menteri dari kabinet era SBY, Jokowi, hingga Prabowo. Didapati bahwa menteri dari kalangan parpol lebih banyak mendominasi kabinet.
Pada Kabinet Indonesia Bersatu I era SBY (2004–2009), terdapat 34 menteri, di mana 18 berasal dari parpol dan 16 dari kalangan profesional. Golkar, yang awalnya tidak mengusung SBY sebagai calon presiden, akhirnya masuk koalisi setelah calon mereka kalah, sehingga Aburizal Bakrie, pimpinan Partai Golkar, diangkat sebagai menteri.
Kemudian masih di era SBY, Kabinet Indonesia Bersatu II (2009–2014), jumlah menteri tetap 34 orang. Namun, dengan komposisi, 21 menteri dari parpol dan 13 profesional. Pertimbangan SBY pada periode ini adalah untuk menjaga stabilitas politik yang lebih kuat dengan memperbesar peran parpol dalam kabinet.
Selanjutnya, di era Jokowi pada Kabinet Kerja (2014–2019) terdapat 34 menteri, dengan 14 dari parpol dan 20 dari kalangan profesional. Jokowi menekankan pentingnya profesionalisme dalam kabinetnya sembari menjaga dukungan dari partai koalisi.
Namun konsistensi Jokowi banyak mengangkat menteri dari kalangan profesional tidak dilanjutkan di periode kedua pada Kabinet Indonesia Maju (2019–2024). Dengan komposisi, jumlah menteri tetap 34, tetapi komposisi berubah menjadi 18 dari parpol dan 16 profesional.
Pada periode ini, terjadi fenomena menarik ketika Prabowo Subianto, yang sebelumnya menjadi rival Jokowi dalam pemilu, bergabung dalam koalisi pemerintahan dan diangkat sebagai Menteri Pertahanan, mencerminkan adanya kompromi politik untuk memperkuat koalisi.
Terakhir, era Prabowo pada Kabinet Merah Putih (2024–2029), jumlah menteri meningkat signifikan menjadi 48, ditambah dengan 56 wakil menteri, sehingga total terdapat 104 anggota kabinet.
Komposisi ini didominasi unsur parpol, dengan 36 menteri berasal dari parpol dan 12 menteri dari kalangan profesional. Penambahan jumlah menteri ini bertujuan untuk memperluas representasi politik, mempercepat program kerja, dan memastikan dukungan legislatif yang kuat.
Partai Golkar mendapatkan jatah terbanyak di kabinet, menunjukkan adanya kompromi politik yang lebih dalam untuk mengakomodasi kepentingan koalisi besar.