Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Bawaslu: Putusan MK Menguatkan Netralitas TNI-Polri di Pemilu 2029

Ilustrasi logistik pemilu dan pilkada (ANTARA FOTO/Erlangga Bregas Prakoso)
Intinya sih...
  • Putusan MK 136/PUU-XXII/2024 menguatkan netralitas TNI-Polri dalam Pemilu 2029.
  • Sinkronisasi putusan MK untuk mempersiapkan Pemilu 2029 lebih baik.
  • Bawaslu akan sosialisasikan Putusan MK 136/2024 ke masyarakat luas.

Jakarta, IDN Times - Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI meyakini, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 136/PUU-XXII/2024 bisa menguatkan netralitas aparat TNI dan Polri dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2029 mendatang.

Keputusan ini memungkinkan anggota TNI dan Polri dikenai sanksi pidana jika terbukti tidak netral dengan menguntungkan atau merugikan salah satu pihak peserta pemilu.

"Ke depan tentu kita akan menyambut Putusan Mahkamah Konstitusi 136 PUU, menempatkan bahwa TNI Polri bisa dipidana jika melakukan keputusan atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan peserta pemilu," ucap anggota Bawaslu RI, Totok Haryono kepada awak media di Kantor Bawaslu, Jakarta Pusat, Rabu (13/3/2025).

1. Kerja demokrasi menyiapkan Pemilu 2029

Ilustrasi kampanye pemilu dan pilkada. (IDN Times/Agung Sedana)

Totok mengatakan, sinkronisasi Putusan MK ini merupakan kerja demokrasi untuk menyiapkan Pemilu 2029 lebih baik.

"Ini kerja-kerja demokrasi kita untuk mempersiapkan Pemilu 2029 lebih baik," tutur dia.

2. Menguatkan posisi TNI-Polri sebagai aparat keamanan dan tidak bisa dimanfaatkan pihak tertentu

Presiden Prabowo hadir di Rapim TNI-Polri tahun 2025, Kamis (30/1/2025) (IDN Times/Ilman Nafi'an)

Totok menegaskan, dengan adanya Putusan MK 136/2024 ini diharapkan bisa semakin menguatkan marwah aparat TNI-Polri sebagai penjaga ketertiban dan keamanan, bukan dimanfaatkan untuk mencari kekuasaan.

"Karena menguatkan kembali posisi TNI Polri sebagai aparat ketertiban dan keamanan, bukan yang bisa dimanfaatkan penguasa untuk mencari kekuasaan," tegas dia.

Lebih lanjut, Totok menuturkan, Bawaslu akan menyosialisasikan Putusan MK 136/2024 ke masyarakat luas.

"Itu menjadi tugas Bawaslu untuk mensosialisasikan Putusan MK 136/2024, itu untuk pemilu ke depan menjadi lebih baik," imbuh dia.

3. Menilik Putusan MK 136/2024

Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) RI di Jakarta Pusat (dok. MK)

Sebagaimana diketahui, MK mengabulkan permohonan uji materiil Pasal 188 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota terhadap UUD 1945. 

Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa ketentuan Pasal 188 UU 1/2015 sebagaimana telah diubah oleh UU Nomor 10 Tahun 2016 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat kecuali jika dimaknai, "Setiap pejabat negara, pejabat daerah, pejabat Aparatur Sipil Negara, anggota TNI/POLRI, serta Kepala Desa atau sebutan lainnya/Lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu bulan atau paling lama enam bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 atau paling banyak Rp6.000.000,00".

Ketua MK, Suhartoyo membacakan langsung amar Putusan Perkara Nomor 136/PUU-XXII/2024 pada Kamis (14/11/2024) lalu.

Dalam pertimbangan hukum yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat, MK menyatakan konsep penyelenggaraan negara yang didasarkan atas hukum dan jaminan atas kepastian hukum yang adil sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menempatkan aturan hukum tertulis (perundang-undangan) sebagai salah satu hal yang pokok. 

Pandangan demikian sejalan dengan pendapat pakar hukum, Satjipto Rahardjo yang menyatakan, "kepastian hukum merupakan produk hukum atau lebih khusus lagi peraturan perundang-undangan. Oleh sebab itu, begitu datang hukum, maka datanglah kepastian." 

Meskipun undang-undang yang baik tidak cukup hanya memberikan kepastian hukum, namun juga harus memberikan keadilan dan kemanfaatan kepada seluruh warga masyarakat. Proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik membutuhkan keterlibatan dan partisipasi berbagai pihak dan harus dengan mengacu pada prinsip keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Dengan begitu, produk hukum yang dihasilkan berperan secara baik dan efektif dalam menciptakan tatanan hukum yang berkeadilan, tidak diskriminatif dan melindungi hak-hak masyarakat dalam suatu negara hukum.

Oleh karena itu, sambung Arief, merupakan suatu keharusan untuk memformulasikan norma hukum yang dibuat secara jelas, konsisten, harmonis, sinkron dan mudah dipahami serta tidak membuka ruang multitafsir dalam penyusunannya dan tidak menimbulkan ambigu dalam implementasinya. Keharusan tersebut sekaligus menjadi prinsip pembuatan peraturan perundang-undangan yang baik, yang jika diringkas menjadi prinsip konsisten, koheren, harmonis, sinkron, dan berkorespondensi antara aturan hukum yang dibuat dengan aturan yang secara hierarki berada di atasnya, antara aturan yang dibuat dengan peraturan perundang-undangan lainnya dalam satu hierarki maupun antara aturan hukum yang satu dengan aturan hukum yang secara hierarki ada di bawahnya. Hal ini berarti secara a contrario, sebuah norma dalam peraturan perundang-undangan yang tidak memenuhi prinsip tersebut adalah bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Prinsip seperti disebutkan di atas menjadi pedoman bagi Mahkamah untuk menilai konstitusionalitas pembentukan dan substansi norma dalam undang-undang yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya kepada Mahkamah.

Selanjutnya MK mempertimbangkan dalil permohonan Pemohon berkenaan dengan konstitusionalitas norma Pasal 188 UU 1/2015 yang mengatur ketentuan pidana atas pelanggaran terhadap norma Pasal 71 ayat (1) UU 1/2015 sebagaimana telah diubah dengan UU 10/2016 mengenai netralitas aparatur negara dalam pilkada. 

Menurut Mahkamah, netralitas aparatur negara, baik sipil maupun militer, dalam pilkada merupakan prinsip dasar untuk menjamin penyelenggaraan sebuah pemilu yang jujur dan adil. Dengan netralitas aparaturnya, negara dapat menjaga keadilan, hak warga negara untuk mengikuti pilkada secara langsung, umum, bebas dan rahasia, sekaligus menjamin pilkada yang jujur dan adil dengan mencegah perilaku yang menyalahgunakan kekuasaan oleh aparatur negara. Netralitas aparatur negara akan meningkatan kualitas demokrasi serta memastikan pilkada sebagai sarana untuk memilih pemimpin daerah yang dihasilkan bukan dari proses pilkada yang manipulatif karena adanya keberpihakan aparatur negara terhadap pasangan calon tertentu.

Sebelumnya, dalam persidangan perdana yang digelar di MK pada Kamis (3/10/2024) Syukur Destieli Gulo (Pemohon) mengatakan bahwa Pasal 71 UU 10/2016 dan Pasal 188 UU 1/2015 adalah norma hukum yang saling berkaitan. Pasal 71 UU 10/2016 berfungsi sebagai norma hukum primer yang berisi larangan. Sementara Pasal 188 UU 1/2015 berperan sebagai norma hukum sekunder yang mengatur sanksi pidana atas pelanggaran Pasal 71. Pasal 71 UU 10/2016 melarang pejabat negara, pejabat daerah, anggota TNI/POLRI, serta kepala desa melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon dalam pemilihan. Namun, Pasal 188 UU 1/2015 tidak mencantumkan frasa "pejabat daerah" dan "anggota TNI/POLRI," sehingga mereka tidak dapat dijatuhi sanksi pidana meskipun melanggar Pasal 71.

Pemohon berpendapat bahwa ketiadaan frasa tersebut dalam Pasal 188 UU 1/2015 dapat melemahkan netralitas pejabat daerah dan anggota TNI/POLRI, karena pelanggaran mereka tidak dapat diproses secara hukum. Menurut Pemohon, ketidaksesuaian ini merugikan hak konstitusionalnya sebagai pemilih, karena pelanggaran terhadap netralitas pejabat tersebut mengganggu prinsip pemilihan yang bebas, rahasia, jujur, dan adil. "Hal ini bertentangan dengan Pasal 18 ayat (4), Pasal 22E ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945," jelasnya.

Syukur Destieli Gulo juga mencatat bahwa tahapan kampanye sebagaimana diatur dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 2 Tahun 2024 telah dimulai sejak Rabu, 25 September 2024 hingga Sabtu, 23 November 2024, dan ketentuan tersebut wajib dipatuhi oleh semua pihak, termasuk pejabat yang diatur dalam Pasal 71 UU 10/2016. Oleh karena itu, Pemohon memohon agar Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 188 UU 1/2015 tidak memiliki kekuatan hukum mengikat jika tidak diartikan mencakup "pejabat daerah" dan "anggota TNI/POLRI."

Pemohon meminta agar frasa "pejabat daerah" dan "anggota TNI/POLRI" dimasukkan dalam Pasal 188, sehingga pasal tersebut berbunyi: "Setiap pejabat negara, pejabat daerah, pejabat Aparatur Sipil Negara, anggota TNI/POLRI, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 atau paling banyak Rp6.000.000,00."

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Sunariyah
Yosafat Diva Bayu Wisesa
Sunariyah
EditorSunariyah
Follow Us