UU Pemisahan Pemilu Digugat ke MK, Minta Putusan 135 Dibatalkan

Jakarta, IDN Times - Pegiat kepemiluan bersama dua mahasiswa melakukan uji materi terhadap Pasal 167 Ayat 3, Pasal 347 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), dan Pasal 3 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Pemohon secara khusus mempermasalahkan pasal sebagaimana yang telah dimaknai dalam Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024, tentang pemilu tingkat nasional dan lokal atau daerah dipisah.
Pemohon I, Brahma Aryana mengatakan, gugatan itu diajukan ke MK pada Jumat, 18 Juli 2025. Ia menyebut, kemungkinan jadwal sidang pendahuluan uji materi UU Pemilu dan UU Pilkada baru akan keluar pekan depan.
"Permohonan kita baru diajukan Jumat (18 Juli 2025) kemarin. Mungkin di minggu ini keluar nomor registrasinya, baru setelah itu jadwal sidangnya," kata dia kepada IDN Times, Kamis (24/7/2025).
1. Pemilu nasional dan lokal atau daerah dipisah melanggar konstitusi, karena pemilu tidak digelar lima tahun sekali

Permohonan menilai, ketentuan dalam pasal yang digugat sebagaimana telah dimaknai dalam Putusan MK 135/2024, bertentangan dengan prinsip fundamental Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Brahma yang merupakan pegiat pemilu dan tergabung dalam Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) menuturkan, secara subtantif, Putusan MK 135/2024 menciptakan norma hukum baru yang setara dengan undang-undang, sehingga memiliki dampak konstitusional yang fundamental dan wajib diuji kembali jika menimbulkan kerugian konstitusional nyata bagi warga negara dan pemilih.
"Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXII/2024, yang mengamanatkan pemisahan penyelenggaraan pemilu nasional dan daerah dengan jeda waktu antara dua hingga 2,5 tahun, merupakan langkah yudisial yang berpotensi menimbulkan perubahan signifikan dalam sistem demokrasi kita," kata dia.
Brahma secara khusus menyoroti potensi pelanggaran periodisitas konstitusional. Sebab, Pasal 22E ayat 1 UUD 1945 secara eksplisit menyatakan pemilihan umum dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Namun Putusan MK 135/2024 justru bisa mengakibatkan perpanjangan masa jabatan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) hasil Pemilu 2024 hingga 2031.
Pemohon menganggap, fenomena ini berpotensi mengganggu siklus demokratis yang diamanatkan konstitusi. Kekosongan jabatan atau pengisian oleh penjabat untuk DPRD tidak memiliki dasar konstitusional yang memadai, mengingat Pasal 18 ayat 3 UUD 1945 menegaskan anggota DPRD harus dipilih melalui pemilihan umum.
"Perpanjangan masa jabatan tanpa dukungan elektoral baru melemahkan ekspresi langsung kedaulatan rakyat, yang seharusnya kekuasaan berasal dari dan diperbarui secara berkala oleh rakyat sebagaimana diamanahkan dalam Pasal 1 ayat 2 UUD NRI 1945 dan Pasal 22E Ayat 1," tutur Brahma.
2. Potensi konflik hukum dan ketidakpastian ekstrem

Pemohon juga membahas mengenai potensi konflik hukum dan ketidakpastian ekstrem imbas Putusan MK 135/2024. Pemohon menilai putusan ini menciptakan potensi konflik yang signifikan dengan Undang-Undang Pilkada, khususnya terkait basis pencalonan kepala daerah. Jika Pilkada dilaksanakan pada 2031, basis data perolehan suara atau kursi DPRD dari Pemilu 2024 yang berakhir 2029, akan berusia tujuh tahun.
Hal ini dianggap bisa menciptakan ketidaksesuaian antara basis hukum pencalonan kepala daerah dengan realitas politik, dan mandat demokratis yang seharusnya diperbarui secara berkala.
"Perlu kami sampaikan juga bahwa solusi 'rekayasa konstitusional' yang lahir dari rahim inkonstitusional, sejatinya adalah antitesis terhadap semangat negara hukum dan kepastian hukum yang menjadi pilar demokrasi konstitusional. Mana kala putusan yudisial, alih-alih memberikan kejelasan dan ketertiban, justru menciptakan kebutuhan akan rekayasa konstitusional untuk mengatasi kekosongan atau tumpang tindih jadwal, kita patut mempertanyakan pondasi keadilan dan kepastian yang sesungguhnya," tegas Brahma.
Dia menyebut, praktik semacam ini pada akhirnya hanya akan menimbulkan ketidakpastian hukum yang kian meruncing. Sebab, mengaburkan batas-batas kewenangan, mengikis kepercayaan publik terhadap institusi negara, dan mereduksi makna demokrasi konstitusional itu sendiri, menjadi sekadar permainan kata dan manipulasi regulasi.
"Sebuah negara hukum yang sejati menuntut kepastian, prediktabilitas, dan konsistensi, bukan 'rekayasa' yang kontraproduktif terhadap cita-cita luhur supremasi hukum dan kedaulatan rakyat. Kondisi ini pada akhirnya berpotensi mereduksi kepastian hukum yang adil bagi warga negara terkait hak-hak elektoral dan proses pemerintahan yang stabil," ungkap Brahma.
3. Minta putusan sela tunda pelaksanaan Putusan MK 135/2024

Selain itu, pemohon dalam petitumnya menegaskan, untuk mencegah potensi kerugian konstitusional yang lebih luas dan tidak dapat dipulihkan, MK diminta mengeluarkan putusan sela (provisi). Putusan sela diharapkan dapat menunda pelaksanaan Putusan MK 134/2024, khususnya sepanjang yang berkaitan dengan jadwal pemilu daerah, yang mengakibatkan perpanjangan masa jabatan anggota DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota, hingga adanya putusan akhir MK terhadap pokok permohonan ini.
Pemohon juga meminta agar MK menyatakan, pasal pada UU Pemilu dan Pilkada yang mengakibatkan perpanjangan masa jabatan anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota adalah bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
MK juga diminta agar Pasal 167 ayat 3 dan Pasal 347 ayat 1 UU Pemilu, serta Pasal 3 ayat 1 UU Pilkada harus dimaknai bahwa pemilu daerah tetap dilaksanakan dalam siklus lima tahunan, yang tidak mengakibatkan perpanjangan masa jabatan pejabat publik yang terpilih, dengan pengaturan transisi yang menjamin periodisitas konstitusional sesuai UUD Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
"(Petitum lainnya, meminta agar MK) memerintahkan pembentuk undang-undang untuk menindaklanjuti Putusan ini dengan melakukan perubahan peraturan perundang-undangan terkait yang menjamin periodisitas pemilihan umum yang konsisten sesuai amanat UUD NRI 1945 dan tidak mengakibatkan perpanjangan masa jabatan pejabat publik yang terpilih, serta mempertimbangkan model-model pemilu konstitusional yang tidak mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi fundamental," imbuh Brahma.