Ilustrasi Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta Pusat. (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Permohonan menilai, ketentuan dalam pasal yang digugat sebagaimana telah dimaknai dalam Putusan MK 135/2024, bertentangan dengan prinsip fundamental Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Brahma yang merupakan pegiat pemilu dan tergabung dalam Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) menuturkan, secara subtantif, Putusan MK 135/2024 menciptakan norma hukum baru yang setara dengan undang-undang, sehingga memiliki dampak konstitusional yang fundamental dan wajib diuji kembali jika menimbulkan kerugian konstitusional nyata bagi warga negara dan pemilih.
"Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXII/2024, yang mengamanatkan pemisahan penyelenggaraan pemilu nasional dan daerah dengan jeda waktu antara dua hingga 2,5 tahun, merupakan langkah yudisial yang berpotensi menimbulkan perubahan signifikan dalam sistem demokrasi kita," kata dia.
Brahma secara khusus menyoroti potensi pelanggaran periodisitas konstitusional. Sebab, Pasal 22E ayat 1 UUD 1945 secara eksplisit menyatakan pemilihan umum dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Namun Putusan MK 135/2024 justru bisa mengakibatkan perpanjangan masa jabatan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) hasil Pemilu 2024 hingga 2031.
Pemohon menganggap, fenomena ini berpotensi mengganggu siklus demokratis yang diamanatkan konstitusi. Kekosongan jabatan atau pengisian oleh penjabat untuk DPRD tidak memiliki dasar konstitusional yang memadai, mengingat Pasal 18 ayat 3 UUD 1945 menegaskan anggota DPRD harus dipilih melalui pemilihan umum.
"Perpanjangan masa jabatan tanpa dukungan elektoral baru melemahkan ekspresi langsung kedaulatan rakyat, yang seharusnya kekuasaan berasal dari dan diperbarui secara berkala oleh rakyat sebagaimana diamanahkan dalam Pasal 1 ayat 2 UUD NRI 1945 dan Pasal 22E Ayat 1," tutur Brahma.