Bangkit dari Abu: Kisah Para Perempuan Penyintas Bom Terorisme

#AkuPerempuan, Pipit dan Wartini adalah Kartini masa kini

Jakarta, IDN Times - Selesai kuliah, Pipit bersama temannya mendatangi sebuah minimarket di Kampung Melayu untuk memesan tiket kereta. Pipit hendak pulang kampung. Posisi minimarket tepat di depan halte Kampung Melayu di Jakarta. Walau Pipit melihat banyak polisi di dekat minimarket, tapi ia tidak terlalu memikirkannya. Polisi mungkin saja datang untuk berjaga, pikir dia.

Tidak lama setelah ia keluar dari minimarket, terjadilah ledakan bom yang sangat dahsyat. Posisi Pipit waktu itu baru saja keluar dari minimarket dan akan menyeberang ke terminal. Tiba-tiba semuanya gelap, Pipit hanya mendengar suara orang-orang yang berteriak, “ada bom, ada bom.”

“Waktu itu kondisinya saya mau nyebrang ke terminal dari minimarket, tahu-tahu sudah ada ledakan. Itu sekitar jam setengah 9 malam. Tiba-tiba semuanya gelap tertutup asap. Bau gosong. Yang saya pikirkan cuma nyelametin diri,” kata Pipit. 

Pipit adalah salah satu korban ledakan bom Kampung Melayu yang terjadi pada 24 Mei 2017. Saat itu ia sangat panik. Tubuhnya lemas. Ia hanya bisa berlari tanpa arah hingga terjatuh. Beruntung, Pipit jatuh di dekat seorang polisi yang kemudian membantunya 

“Saya diteriakin polisinya untuk bangun. Saya dibantu dicarikan kendaraan untuk dibawa ke rumah sakit. Sampai ke rumah sakit itu, darah saya ngucur terus di angkot,” kata dia.

Setibanya di rumah sakit, kondisi mental dan fisik Pipit hancur. Kondisinya kritis.

“Karena belum lama saya habis ditinggal ayah. Terus, susternya bilang kalau saya gak boleh tidur. Karena jantung saya lemah, kondisi sudah kritis. Kalau saya tidur, takutnya saya gak bisa bangun lagi,” ungkap Pipit.

Perjuangan Pipit untuk pulih

Bangkit dari Abu: Kisah Para Perempuan Penyintas Bom TerorismePipit, korban bom Kampung Melayu (IDN Times/Vanny El Rahman)

Pipit menghabiskan waktu 10 hari di rumah sakit. Pascakeluar dari rumah sakit, ia diwajibkan menjalani rawat jalan setiap minggu. Lantaran tidak punya uang untuk membayar kontrakan, Pipit memutuskan untuk pulang kampung dan minta dirujuk ke rumah sakit daerah.

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) kemudian memberikan rekomendasi untuk pengobatan dan rujukan rumah sakit. Setelah menjalani pemeriksaan di rumah sakit di Tegal, Pipit disarankan untuk menjalani operasi saraf di Surabaya, namun ia takut.

“Sekitar 2018 atau 2019, sempet ke Surabaya untuk menentukan jadwal operasi. Tapi saya takut operasi, takut dibongkar-bongkar lagi, akhirnya sampai sekarang belum dioperasi juga,” kata dia. 

Sejak kejadian tersebut, selama setahun, tangan kanan Pipit sama sekali tidak bisa digerakkan. Tangannya hanya bisa mengempit dengan badannya. Luka yang menyerang otot, tulang, dan saraf itu ternyata sangat mengganggu. Sebab, tangan kanannya kini tidak bisa diangkat ke atas.

Tanpa bantuan atau ditopang oleh tangan kiri, tangan kanan Pipit hanya bisa diangkat sekitar 15 derajat. Itupun tidak bisa lama. Tidak jarang Pipit merasa ngilu jika memaksa mengangkat tangan.

“Setahun itu saya benar-benar gak bisa ngapa-ngapain. Keseharian saya dibantu sama orang tua. Waktu itu saya juga memutuskan cuti kuliah 2 tahun,” tutur dia. 

“Mama akhirnya kerja lagi. Jadi waktu itu saya tinggal di rumah nenek,” katanya, mengungkapkan bagaimana ibunya harus menjadi tulang punggung keluarga sembari merawat anaknya yang sakit.

Pipit juga kehilangan kepercayaan diri karena hanya bisa beraktivitas dengan satu tangan, seolah ia telah kehilangan masa depannya. 

“Saya malu sama kondisi saya. Saya sekarang cacat, gak kayak teman-teman. Selama itu saya ngurung diri di rumah,” kata dia.

Rasa minder Pipit akhirnya hilang setelah dia bergabung dengan organisasi difabel di Brebes, Jawa Tengah. Saat itu, Pipit sadar bahwa dirinya jauh lebih beruntung daripada anggota organisasi lainnya.

“Allah masih kasih saya tangan, sedangkan mereka kehilangan tangan. Allah hanya sedikit mengambil fungsi tangan saya, sedangkan mereka gak punya tangan. Sejak itu saya mulai bersyukur dan memutuskan untuk bergaul lagi,” kata dia.

Di satu sesi rawat jalan, Pipit sempat bertanya kepada dokter tentang pen yang berada di tubuhnya. Dia masih berharap satu waktu pen itu bisa dicopot. Tapi dokter tidak menyarankan untuk mencabut pen, karena berfungsi sebagai penyangga. Akhirnya sampai sekarang pen itu masih terpasang. 

Keterangan dokter itu menyayat hatinya. Sebab Pipit masih berharap, suatu waktu dia dapat hidup kembali seperti dulu. Kendati begitu, lama-lama dia akhirnya bisa berdamai dengan diri sendiri. Ia memilih legawa dengan segala keputusan dokter dan tentunya takdir Tuhan.  

Sembari menjalani terapi pemulihan fungsi tangan, Pipit mulai mencari pekerjaan. Dia juga mulai mengumpulkan niat untuk meneruskan kuliah. Pada 2019, tatkala kondisi tangannya mulai membaik, Pipit memutuskan untuk melanjutkan kuliah. Setahun berselang, Pipit juga mendapat pekerjaan di salah satu perusahaan ekspedisi.

Pipit pun menikah. Kini dia telah diberkahi momongan. Pipit lantas memutuskan untuk cuti kuliah lagi. Dia ingin fokus membesarkan anaknya yang lahir dengan kondisi berat badan rendah. Di samping itu, karena sempat sakit, Pipit akhirnya memutuskan untuk resign dari pekerjaannya. Kini, sehari-harinya diisi sebagai ibu rumah tangga.

Di kondisinya yang serba terbatas, Pipit bersyukur kepada Tuhan karena diberikan suami yang menerima kekurangannya.

“Kenapa mas gak nyari yang lain saja? Saya ini sudah cacat lho, mas,” kata Pipit, mengulangi dialog kepada suaminya sebelum janji suci diucapkan.

“Tapi ya Alhamdulillah, suami saya menerima segala kekurangan saya,” sambung dia, sembari melepas tawa kecil, seolah tersipu malu.

Di samping itu, Pipit juga bersyukur karena dia tidak menyimpan dendam atas kejadian kelamnya. Alih-alih menyalahkan nasib, Pipit melihat seluruh rangkaian hidupnya sebagai suratan takdir yang telah ditetapkan oleh Tuhan

“Kalau dipikir-pikir, semua ini ya qodarullah. Belum tentu yang dipikirkan orang buruk, itu hal buruk bagi saya. Mungkin ini yang terbaik bagi saya. Alhamdulillah juga saya sama sekali gak punya dendam dengan pelaku terorisme,” ungkap Pipit.

Baca Juga: Perempuan dan Anak Rentan Masuk Pusaran Terorisme karena Hal Ini

Dipertemukan dengan pelaku terorisme

Bangkit dari Abu: Kisah Para Perempuan Penyintas Bom TerorismePipit, korban bom Kampung Melayu (IDN Times/Vanny El Rahman)

Pipit kemudian bercerita bagaimana Aliansi Indonesia Damai (AIDA) mempertemukan dirinya dengan salah satu pelaku terorisme, hal-hal yang sebelumnya sangat ia hindari

“Waktu di acara AIDA, saya bertemu keluarga napiter (narapidana terorisme). Awalnya saya gak tahu, kami bergaul saja. Terus pas mereka berbicara, di situlah saya tahu, oh ternyata dia mantan teroris. Tapi kok baik sekali orangnya,” ungkap Pipit.

“Sejak itu saya yakin kalau mereka sebenarnya orang baik, cuma mereka punya cara pikir yang aneh saja,” lanjutnya.

Meski tidak memiliki dendam, Pipit tidak bisa berbohong bahwa hingga kini dia masih menyimpan trauma. Setelah lima tahun berlalu, Pipit masih bergetar ketika mendengar suara petasan, ledakan, atau dentuman. Dia juga takut ketika melihat orang yang menggendong tas ransel.

“Karena sempat dengar katanya pengebom itu menggunakan tas ransel. Jadi pikiran saya, kalau ada orang yang bawa ransel, bawaannya mau lari terus. Paling tidak jaga jarak,” ungkapnya.

Kini, Pipit tinggal di kontrakan sederhana di kawasan Kabupaten Tangerang seharga Rp500 ribu per bulan bersama suami dan anaknya.

Bersama keluarga kecilnya, tekad Pipit untuk memulihkan hidup semakin bulat. Bukan hal yang aneh, sebab Pipit dulunya merupakan tulang punggung keluarga. Selama bekerja sebagai baby sitter di ibu kota, Pipit selalu menyisihkan sebagian uangnya untuk keluarga di kampung.

“Dulu saya digaji sekitar Rp1,5 juta per bulan. Alhamdulillah, gaji segitu bisa buat kuliah, hidup di Jakarta, sama dikirim buat orang tua,” ungkap dia.

Pipit juga bersumpah untuk menamatkan studinya di Universitas Azzahra yang sempat terbengkalai.

“Saya bertanya ke kakak (kelas di kuliah) apakah saya harus melanjutkan kuliah atau tidak. Terus kata kakak itu saya harus lanjut kuliah. Kamu boleh cacat fisik, tapi jangan sampai kamu cacat ilmu,” kata Pipit meniru perkataan seniornya.

“Dari situ saya merasa tertampar, akhirnya saya bertekad untuk kuliah lagi,” sambung dia.

Wartini dan kepergian Syahromi

Bangkit dari Abu: Kisah Para Perempuan Penyintas Bom TerorismeWartini, janda korban bom Kedutaan Besar Australia, berdiri di depan rumahnya (IDN Times/Vanny El Rahman)

Wartini tengah asyik ngobrol dengan anak perempuan pertamanya, Sari Novriatin Putri. Mereka duduk di dekat pintu. Sari rebahan sambil memainkan gawainya.

“Mpok, ada yang nyariin nih,” kata seorang perempuan, yang ternyata adik kandung Wartini. 

Wartini tinggal di kawasan permukiman padat di Kampung Rawa, Johar Baru, Jakarta Pusat. Berjarak 5 menit dari Pasar Gembrong. Kendala klasik dari pemukiman padat adalah nomor rumah yang tidak urut, sehingga sulit untuk menemukan kediamannya, sekalipun Wartini telah memberikan alamat lengkap.

Rumahnya berseberangan dengan terusan kali Sentiong. Terdiri dari 3 lantai, yang mana lantai 1 dimanfaatkan sebagai ruangan kumpul keluarga dan lantai 2 serta 3 digunakan sebagai tempat istirahat. Jangan bayangkan rumah 3 lantai seperti di kawasan elite. Sebab, setiap lantai yang dihuni Wartini dan keluarganya hanya seluas 12 meter.

Wartini adalah janda dari Syahromi, seorang satpam yang menjadi korban bom Kedutaan Besar Australia pada 9 September 2004. Meski Syahromi berhasil selamat dari kejadian tersebut, bahkan dia sempat menyelamatkan korban lainnya, rupanya Tuhan menjemput Syahromi dua tahun kemudian. Syahromi meninggal pada 2006, meninggalkan Wartini yang waktu itu sedang mengandung anak ketiganya.

“Bapak sempat dirawat di rumah sakit 2 minggu sebelum meninggal. Bapak sempat dilarikan ke ICU RS Cipto Mangunkusumo. Tapi karena ICU ramai, akhirnya bapak dirujuk ke RS Abdi Waluyo. Waktu dirujuk itu kondisi bapak udah gak sadar. Sabtu-Minggu (sempat dirawat) di ICU RS Abdi Waluyo, terus tanggal 19 November (2006) bapak udah gak ada,” kata Wartini.

Berdasarkan keterangan dokter, meskipun luka di badan Syahromi tidak terlalu parah, tapi rumah siput di telinga kirinya hancur. Syahromi harus dirawat di RS MMC selama satu minggu setelah kejadian.

Nestapa Syahromi tidak menggugurkan kewajibannya sebagai kepala keluarga. Begitu keluar dari rumah sakit, dia kembali bekerja di tempat lamanya. Tentu saja kondisi Syahromi tidak sesehat sebelumnya. Dia harus rutin berobat jalan. Sesekali saat ngilu menyerang telinga, tidak jarang Syahromi harus menjalani rawat inap.

“Selama 2 tahun (sejak kedian sampai sebelum meninggal) saya ngurusin bapak keluar-masuk rumah sakit. Kadang dirawat Sabtu-Minggu gitu, kadang dirawat sampai satu minggu,” ungkap Wartini.

“Sejak bapak kena bom, saya sudah gak jualan lagi, karena ngurusin bapak,” sambung dia.

Semula, pasangan suami-istri itu tidak memusingkan soal biaya pengobatan, dengan harapan bahwa Syahromi akan diberikan fasilitas kesehatan sampai sembuh. Namun, harapan itu pupus tatkala rumah sakit mengabarkan bahwa pengobatan Syahromi sudah tidak lagi ditanggung negara.

“Berobat jalan selama 3 bulan (sejak kejadian) dibiayain pemerintah. Ke sananya, pas bapak kambuh sakit, mau berobat ke RS MMC, ternyata dikabarin harus biaya sendiri. Di situ saya bingung,” kata Wartini.

Wartini dan Syahromi tidak mengenyam pendidikan tinggi. Alhasil, mereka sama sekali tidak mengerti bagaimana cara memperjuangkan hak-hak korban. Mereka juga tidak memahami sejauh mana kewajiban negara mengayomi masyarakat ekonomi lemah. Yang mereka pahami adalah kalau dapat bantuan Alhamdulillah, kalau tidak dapat ya berarti belum rezeki.

Syukurnya, masalah itu cepat terselesaikan karena Kedutaan Besar Australia mau menanggung biaya pengobatan. Tidak seperti pemerintah yang seolah lepas tangan begitu saja. 

 

Bangkit dari Abu: Kisah Para Perempuan Penyintas Bom TerorismePotret tempat tinggal Wartini (IDN Times/Vanny El Rahman)

Setelah dua tahun, rupanya Tuhan lebih mencintai Syahromi. Wartini dirundung kalut tatkala memikirkan perasaan anak-anaknya. Sari kehilangan sosok ayah di saat yang paling dia butuhkan. Lebih miris lagi, anak ketiganya harus dibesarkan tanpa kehadiran ayahnya.

“Waktu itu anak pertama saya pas kelas 3 SMK, pas mau ujian, bapaknya malah gak ada. Itu juga lagi butuh-butuhnya uang. Makanya waktu itu saya benar-benar marah sama teroris-teroris itu,” ungkap Wartini.

Kedutaan Australia bersedia menanggung biaya sekolah anak-anaknya. Bahkan hingga perguruan tinggi. Untuk ke sekian kalinya, bantuan ini bukan datang dari negara. Dan lagi-lagi, tidak terpikirkan dalam benak Wartini untuk menagih apapun dari pemerintah.

Hidup terus berlanjut. Wartini sadar bahwa dia tidak bisa menggantungkan nasib anak-anaknya dari belas kasih kedutaan, masyarakat, apalagi pemerintah. Sebagai perempuan tua dengan keterbatasan kemampuan dan tidak memiliki latar belakang pendidikan yang memumpuni, satu-satunya pilihan pekerjaan bagi Wartini adalah berjualan.

Wartini memilih untuk berjualan nasi bungkus dengan lauk yang matang, seperti jamur atau kepala ayam. Setiap bungkusnya dibanderol dari harga Rp5 ribuan.

“Penghasilannya ya gak tentu, kadang bisa Rp50 ribu sehari. Ya bisalah untuk transportasi anak-anak ke sekolah Rp25 ribu per hari. Kalau ditanya cukup atau gak, ya dicukup-cukupin aja,” kata dia.  

Wartini menyambung, “kalau sebelum COVID, lumayan banyak yang beli. Tapi pas COVID begini, banyak orang yang gak kerja, akhirnya pada buka usaha, jualan, yang ada makin sedikit yang beli.”

Sejak ditinggal Syahromi, Wartini memilih pindah dari kontrakan karena tidak memiliki uang. Dia memutuskan untuk tinggal di rumahnya sekarang, yang merupakan warisan dari ibunya. Tidak besar memang. Tapi cukup untuk melindungi dari terik matahari atau rintik hujan. 

Setiap bulannya, di luar uang makan, minum, dan jajan anak-anak, Wartini sedikitnya harus menyisakan uang Rp300 ribu untuk tagihan listrik dan air. 

“Waktu itu sempat dapat subsidi, jadinya bayar listrik Rp200 ribu per bulan. Terus subsidi gak dapat lagi, jadi bayarannya naik. Uangnya ya dari hasil jualan. Kalau gak cukup, ya pokoknya dicukup-cukupin,” ungkap dia, yang secara tidak sadar ternyata mampu melewati fase-fase tersulit dalam hidupnya. 

Baca Juga: KPAI Ungkap 4 Faktor Anak Mudah Direkrut Jadi Teroris

Berdamai dengan diri sendiri

Bangkit dari Abu: Kisah Para Perempuan Penyintas Bom TerorismePotret kliping yang dibuat oleh Syahromi sebelum meninggal dunia (IDN Times/Vanny El Rahman)

Kepergian Syahromi tidak bisa diterima begitu saja oleh Wartini. Perempuan berusia 54 tahun itu tidak menampik bahwa dirinya menyimpan dendam dan rasa marah kepada para pelaku terorisme. Wajar saja, perjalanan hidup Syahromi-Wartini bukanlah kisah kacangan.

Wartini mendampingi Syahromi sejak bekerja sebagai pegawai di museum di Taman Mini, kemudian menuruti permintaan mertua untuk pulang dan mencari pekerjaan di Riau, kembali lagi ke Jakarta untuk menjadi satpam di kedutaan, hingga akhirnya mendampingi kepergian Syahromi ke pangkuan Tuhan.

“Waktu itu orang tua (Syahromi) nelepon terus nyuruh pulang ke Pekanbaru, suruh resign. Katanya dijanjiin pekerjaan di sana. Eh tahunya selama 5 bulan bapak nganggur. Akhirnya saya minta balik ke Jakarta,” kata Wartini.

“Di Jakarta barang nyari duit Rp10 ribu pasti dapat Insyaallah, yang penting gak makan pake uang mertua, kan saya malu,” sambung dia. Ungkapan ini mengandung pesan yang sangat kuat, betapa Wartini mencintai Syahromi bahkan pada titik terendahnya.

Pertemuan Wartini dengan mantan napiter juga difasilitasi oleh AIDA. Kala itu, dia bertemu dengan Ali Fauzi yang merupakan adik dari Amrozi dan Ali Imron, dalang Bom Bali 1. Pertemuan terjadi di Solo, saat Wartini dan Ali Fauzi diminta untuk jadi pembicara di salah satu lembaga pemasyarakatan.

Ketika menyinggung Ali Fauzi, nada bicara Wartini mulai berbeda. Suaranya meninggi. Matanya mulai berkaca-kaca. Wartini tampak meyembunyikan sesenggukan yang hampir tak bisa ditahan.

“Itu kok enak banget hidupnya pak Ali Fauzi. Gaya-gaya gitu. Kok bisa. Padahal gara-gara dia (merujuk pada pelaku terorisme) suami saya gak ada. Itu saya marah banget,” kata Wartini, sembari mengusap matanya yang sudah mulai berlinang air. 

Bagaimana akhirnya Wartini memutuskan untuk berdamai dengan diri sendiri?

“Terus, dia (Ali Fauzi) nyamperin saya. Dia nangis-nangis minta maaf ke saya. Ya siapa yang tak terenyuh ya, saya gak tega juga. Pas ke Tasik juga dia gitu, sampai nangis-nangis sama korban. Ya akhirnya saya maafkan,” ungkap Wartini.

Di tengah pembicaraan, Wartini menunjukkan salah satu warisan dari sang suami, yaitu klip heroisme seorang Syahromi. Sebelum meninggal, Syahromi masih sempat membuat kliping koran dan majalah tentang bom Kedutaan Besar Australia. Dia menggunting semua berita dan ditempelkan ke dalam satu album. Tidak ketinggalan satu dua foto media ketika Syahromi masih sempat membantu menyelamatkan korban.

Di halaman awal kliping, ada tajuk utama Koran Tempo berujudul ‘Teror Datang Lagi’. Tajuk tersebut memperlihatkan foto Syahromi sedang menggendong seorang korban yang berlumuran darah dengan dua orang orang lainnya.

Saat membicarakan kliping tersebut Wartini tampak senang. Nada bicaranya tidak memelas. Wartini memberikan keterangan untuk setiap halaman kliping, termasuk untuk foto ketika Syahromi terkapar lemas di atas kasur rumah sakit.

Selain kliping, pada awalnya Syahromi juga menyimpan seragam satpam yang ia kenakan pas hari kejadian. Namun, kata Wartini, seragam itu akhirnya dibuang karena amis darah yang mengganggu.

“Waktu itu kata bapak ini foto-foto buat kenang-kenangan. Biar anak-anaknya tahu ini bapak gitu,” ujar dia.

Kompensasi yang datang terlambat

Bangkit dari Abu: Kisah Para Perempuan Penyintas Bom TerorismeIlustrasi kasus terorisme, IDN Times/ istimewa

Hidup Wartini dan Pipit praktis berubah 180 derajat. Wartini kini menjadi kepala keluarga. Sedangkan Pipit, terpaksa cuti dari perannya sebagai tulang punggung keluarga dan harus menerima kekurangannya. Pada titik inilah negara seharusnya hadir memberikan jaminan kesejahteraan kepada para penyintas bom terorisme.

Faktanya, berdasarkan laporan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), hingga Mei 2016 ada 544 korban terorisme yang tercatat di Indonesia yang belum menerima kompensasi.

Kendati data di atas terbilang usang, dan mungkin tidak relevan untuk digunakan di tahun 2022, keterangan di atas setidaknya mengonfirmasi bahwa ada banyak penyintas terorisme yang hidupnya menderita. 

Bisa dibayangkan, Wartini yang sejak 2006 telah kehilangan suaminya harus menanggung sendiri biaya hidup lima anggota keluarganya selama bertahun-tahun. Wartini mengaku baru menerima kompensasi dari negara pada 2021. Artinya, dia baru menerima haknya sebagai korban setelah 15 tahun ditinggal Syahromi.

Padahal, ICJR menekankan bahwa kompensasi merupakan kewajiban negara akibat kelalaiannya dalam melindungi keamanan fisik warganya. Korban terorisme adalah konsekuensi buruk dari kesalahan negara dalam mengelola fungsinya. Karena hampir selalu ada keterkaitan, baik secara langsung atau tidak, antara tindakan terorisme dengan kebijakan negara. 

“15 tahun itu lama banget. Saya cuma bisa besarin anak-anak dari hasil jualan ini aja,” demikian tanggapan Wartini terkait kompensasi yang setahun silam dia terima.

“Itu juga pas akhir 2021 baru saya terima. Hampir setahunan saya nyiapin, ngisi ini itu. Untungnya dibantu sama YPI untuk ngurus dokumen,” sambung dia, seraya mengonfirmasi besaran kompensasi yang diterima sekitar Rp210 juta.

Dalam kasus Pipit, dia lebih beruntung karena telah menerima kompensasi 2 tahun sejak kejadian. 

“Setahu saya, saya itu kloter pertama yang menerima bantuan. Kompensasi dari LPSK saya terima tahun 2019,” tutur Pipit.

Pipit menyambung, “saya sih gak pernah nagih (kompensasi). Bagi saya kalau ada ya rezeki, kalau tidak dapat ya berarti belum rezeki.”

Kisah Pipit dan Wartini hanya memotret dua dari sekian banyak penyintas terorisme yang diabaikan negara. Pasalnya, acap kali aksi terorisme justru memakan korban warga sipil dari kalangan menengah ke bawah, alih-alih pejabat atau aparat negara yang disimbolkan sebagai prajurit thagut.

Data yang dihimpun Yayasan Penyintas Indonesia (YPI) misalnya, dari 122 korban yang dinaungi lembaga tersebut, ternyata kemampuan ekonominya tergolong menengah ke bawah dan hanya sedikit yang pernah mengenyam pendidikan tinggi.

“Korban (yang terdata di YPI) tidak ada pejabat. Sedikit yang kerja kantoran. Korbannya justru warga sipil yang kerja atau beraktivitas di jalan, bukan orang (dengan kedudukan atau jabatan) yang mereka cari," kata Ni Luh Erniati, salah satu pengurus YPI.

"Jadi bisa saya katakan kalau para teroris itu salah sasaran,” tegas dia.

Erniati merupakan salah satu korban tidak langsung Bom Bali I yang terjadi pada 2002. Dia kehilangan suaminya. Meninggalkan dua anak yang masih sangat belia, satu berusia 9 tahun dan satunya berusia 1,5 tahun.

Kabar baiknya adalah seluruh korban terorisme di bawah YPI sudah menerima kompensasi. Sementara, kabar buruknya adalah masih banyak penyintas terorisme yang tidak terdata dan sangat mungkin mereka belum menerima kompensasi.

“Kita coba datangi alamat yang kami terima, tapi mereka gak di sana. Coba telepon juga, tapi kontaknya berubah. Jadi masih banyak korban yang belum terdata,” katanya.

Bagi YPI, pemenuhan negara atas hak-hak korban adalah buah dari perjuangan selama puluhan tahun. Di tengah usahanya, Erniati sempat merasakan sakit hati mendalam karena negara seolah lebih peduli terhadap pelaku terorisme ketimbang korbannya.

“Saya pernah bilang BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme), kok pemerintah lebih memperhatikan pelaku terorisme. Mereka dikasih modal usaha, dikasih pelatihan. Kami korban malah dilupakan, gak diperhatikan. Ini (memperjuangkan kompensasi) semakin susah karena kami yang ekonomi lemah sama sekali gak paham hukum, gak tahu hak-hak kami apa aja,” kata Erniati.

Harapan para penyintas

Bangkit dari Abu: Kisah Para Perempuan Penyintas Bom TerorismePipit dan Wartini korban bom terorisme (IDN Times/Vanny El-Rahman)

Ihwal posisi negara terkait pemenuhan hak-hak korban, Presiden Joko Widodo telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 35 Tahun 2020 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban.

Harapannya beleid ini mencegah para korban terorisme merasakan penderitaan berganda. Jangan sampai mereka yang sudah terlanjur menderita luka fisik dan mental akibat terorisme, turut menderita akibat negara yang lalai terhadap tanggung jawabnya.

Di samping itu, jangan sampai negara mengambil ‘keuntungan’ dari cara berpikir Pipit dan Wartini yang menyamakan kompensasi dengan rezeki.

Bagi para penyintas, situasi yang serba keurangan memaksa mereka untuk memetik hikmah atas musibah yang mereka derita. Seperti penuturan Wartini misalnya, “lagian kalau saya gak maafin korban, bapak juga gak mungkin balik (hidup) lagi.”

Sebagai seorang ibu dan ayah, satu-satunya hal yang dipikirkan Wartini saat ini adalah anak-anaknya bisa hidup jauh lebih baik. Dia bersyukur karena anak keduanya bisa menuntaskan studi di STEI Rawamangun. Dia juga berharap anak ketiganya memiliki minat untuk terus belajar hingga perguruan tinggi.

Wartini turut berharap, semoga negara menyediakan lapangan pekerjaan yang layak bagi keluarga penyintas terorisme, sehingga mereka bisa mendapatkan hidup yang lebih layak.

“Kalau bisa anak saya dibantu cari pekerjaan yang layak aja. Biar gak kayak gini-gini terus hidupnya,” kata dia.

Bantuan ekonomi, kata Erniati, menjadi sangat penting bagi para penyintas yang menderita luka fisik jangka panjang.

“Saya berharap ada bantuan modal usaha. Karena siapa sih yang mau mempekerjakan kami yang kondisi fisiknya begini. Jadi harapannya kami bisa buka warung, usaha, atau bekerja mandiri,” ujar dia.

Ungkapan serupa juga disampaikan Pipit, yang mengaku kesulitan mencari kerja sebagai seorang perempuan difabel. Bahkan, tidak jarang dia memperoleh stigma buruk atas keterbatasannya. 

“Kata-kata kurang enak juga sempat saya terima. Tangannya udah patah gitu, bisa kerja apa emang. Yang kayak begitu justru mematahkan semangat saya,” ungkap Pipit.

“Harapan saya seharusnya ada lapangan pekerjaan untuk para penyintas. Karena kalau itu tidak dijembatani, akan sangat sulit bagi saya yang cacat gini mendapat pekerjaan,” harap Pipit, yang kini menjadi ibu rumah tangga sembari berjuang untuk memperoleh gelar sarjana manajemen ekonomi. 

Realita bahwa sistem patriarki yang masih mengakar di Indonesia menjadikan perempuan penyintas terorisme mengalami tekanan berganda. Di satu sisi, mereka harus menyambung hidup dan memberi makan keluarganya. Di sisi lain, dampak terorisme menjadikan mereka tidak memiliki akses terhadap pekerjaan yang layak.

Artikel ini didukung oleh Konde.co dan The Asian Muslim Network (AMAN) dalam program Peace Innovation Academy 2022.

Baca Juga: Jokowi Ingatkan PPATK Modus Baru Pencucian Uang untuk Danai Terorisme

Topik:

  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya