Berislam dengan Spiritual dan Rasional: Belajar dari Ulil Abshar

Simak wawancara khusus IDN Times dengan Ulil seputar Islam

Jakarta, IDN Times- Ulil Abshar Abdalla merupakan cendekiawan muslim yang sarat kontroversi. Sejak tulisannya di Harian Kompas yang bertajuk “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam” menuai pro-kontra pada 2002, Forum Ulama Umat Islam Indonesia mengeluarkan fatwa hukuman mati kepada lelaki kelahiran Pati, Jawa Tengah ini.

Kecaman kepada Ulil belum berhenti sampai di situ. Pada 2014, dia pernah dicekal masuk Malaysia ketika hendak menghadiri diskusi panel bertemakan Religious Fundamentalism Threat in This Century.

Ulil dilarang menginjakkan kaki di Negeri Jiran karena dianggap penganut Ahmadiyah, aliran yang bertentangan dengan mayoritas umat Islam Malaysia penganut sunni.

Lelaki kelahiran 11 Januari 1967 ini dikenal sebagai pendiri Jaringan Islam Liberal (JIL), lingkar studi yang mengusung prinsip rasionalisme. Dari forum tersebut, kerap muncul pemikiran-pemikiran yang dianggap meresahkan umat Islam. Bahkan, gerakan tandingan seperti Indonesia Tanpa JIL lahir sebagai bentuk perlawanan atas pemikiran Ulil dan kawan-kawan.

“Saya memang dikenal sebagai pendiri JIL dan saya tidak menghapus identitas itu, karena itu bagian dari saya. Salah satu gagasan saya adalah mencoba penafsiran ulang, rekontekstualisasi terhadap pemikiran Islam,” kata Ulil kepada IDN Times, Senin (4/5).

Ulil sepertinya masih konsisten dengan pemahaman yang ia perjuangkan 18 tahun silam. Di artikel yang menuai kontroversi, Ulil menulis:

“Saya meletakkan Islam pertama-tama sebagai sebuah "organisme" yang hidup; sebuah agama yang berkembang sesuai dengan denyut nadi perkembangan manusia. Islam bukan sebuah monumen mati yang dipahat pada abad ke-7 Masehi, lalu dianggap sebagai "patung" indah yang tak boleh disentuh tangan sejarah. Saya melihat, kecenderungan untuk "me-monumen-kan" Islam amat menonjol saat ini. Sudah saatnya suara lantang dikemukakan untuk menandingi kecenderungan ini.”

Namun, beberapa tahun terakhir, Ulil seakan mengalami transformasi. Pernyataan kontroversinya tak lagi mengudara, meski mengutarakan pendapat kian mudah dengan media sosial. Ulil kini rutin mengadakan pengajian kitab-kitab tradisional secara daring. Pribadi yang mengusung prinsip rasionalisme itu kini tenggelam dalam kepribadian spritualisme ala sufi.

Lantas, bagaimana Ulil menyikapi perubahan kepribadiannya dalam beberapa tahun terakhir ini? Yuk simak selengkapnya di wawancara khusus IDN Times bersama Ulil Abshar Abdalla.

Baca Juga: Ulil Abshar: Pesantren, Lembaga Pendidikan Khas Indonesia

Berislam dengan Spiritual dan Rasional: Belajar dari Ulil AbsharYouTube/Ulil Abshar Abdalla

Anda termasuk cendekiawan muslim yang memelopori pengajian kitab-kitab tradisional secara daring. Sebenarnya apa tujuan Anda?

Saya punya semacam ambisi bahwa kekayaan intelektual Islam tradisional, yang berasal dari pesantren di Jawa Tengah dan Jawa Timur, adalah kekayaan intelektual yang harus diperkenalkan kepada publik. Saya merasa bahwa khazanah pemikiran tradisional ini, sebetulnya jika dikontekstualisasikan itu bisa membantu kita menjawab banyak hal dengan cara yang cerdas, tidak norak, intelektual, tetapi secara Islam basisnya kuat.

Seperti Kitab Ihya (Ulumuddin) menurut saya sangat spesial, ditulis pada 10 Masehi, ditulis oleh ulama paling bersejarah dalam sejarah Islam, yang mempengaruhi banyak pemikiran ulama sunni di seluruh dunia, yaitu Al-Ghazali. Saya ingin memperkenalkan itu, jadi itu ambisi saya.

Apa yang membuat Anda yakin bahwa kitab-kitab tradisional masih relevan hingga saat ini?

Saya percaya bahwa manusia itu bisa mengalami lompatan-lompatan teknologi yang sangat dahsyat. Kita sekarang memasuki era Revolusi Industri 4.0 yang basisnya informasi. Tapi ini revolusi teknik, ya tentu saja membawa akibat, tapi revolusi industri pada akhirnya adalah revolusi teknik. Revolusi di dalam manusia berinteksi dengan lingkungan sekitarnya melalui teknologi.

Tetapi dasar manusianya sendiri itu tidak pernah mengalami revolusi. Manusia dari dulu watak dasarnya sama, sejak zaman Nabi Adam sampai sekarang. Manusia punya kedengkian, punya iri hati, punya rasa cinta, sombong, arogansi, fanatisme, cinta kasih. Tema-tema ini yang akan terus ada dalam sejarah manusia.

Ini yang menurut saya kenapa kebijaksanaan kuno yang ditulis ulama dulu tetap relevan bagi kita. Kalau buku Teknik, setahun mungkin sudah kadaluwarsa, tetapi kalau buku watak-watak manusia dan agama, ini buku ditulis seribu tahun lalu sekalipun, tetapi sampai sekarang seperti ditulis kemarin sore. Jadi kita jangan tertipu oleh revolusi teknik. Itu hanya mempermudah manusia untuk berkomunikasi, tetapi watak manusia sama.

Anda dulu dikenal sebagai sosok yang sangat mengedepankan rasionalisme melalui JIL. Kini, sebagian orang mengenal Anda dengan spiritualisme melalui praktik sufismenya. Apakah ini merupakan transformasi dalam pribadi Ulil Abshar Abdalla?

Saya memang dikenal sebagai pendiri Jaringan Islam Liberal dan saya tidak menghapus identitas itu, karena salah satu gagasan saya adalah mencoba penafsiran ulang, rekontekstualisasi terhadap pemikiran Islam. Tapi saya juga memiliki basis pesantren, jadi saya mencoba untuk membawa tradisi pesantren yang saya pelajari dulu ke dalam masyarakat.

Sufisme sangat membentuk pribadi saya yang sekarang ini. Sebetulnya sufisme ini tradisi yang membentuk saya sejak kecil, karena saya hidup di komunitas Nahdlatul Ulama.

Tetapi, menurut saya, rasionalisme juga penting. Tapi rasionalisme juga gak cukup, harus ada spiritualisme, karena rasionalisme itu kering. Tapi spiritualisme yang tidak dilandasi rasionalisme itu tidak kokoh. Al-Ghazali itu menggabungkan antara berbagai pendekatan ini.

Berislam dengan Spiritual dan Rasional: Belajar dari Ulil AbsharTwitter.com/ulil

Apakah upaya menjembatani spiritualisme dengan rasionalisme, sebagaimana mencontoh Al-Ghazali, adalah hal yang relevan di zaman ini?

Sekarang kita berhadapan dengan suatu peradaban, terutama generasi millennial, yang menghadapi banyak sekali perubahan dan tantangan. Peradaban hari ini ditandai dengan pencapaian banyak hal di bidang teknik dan teknologi. Perkembangan di dalam dunia teknologi, itulah yang menjelaskan kenapa buku Yuval Noah Harari sangat laris dibaca anak-anak muda. Karena dia menjelaskan peradaban kita dengan sangat baik.

Tapi, kritik saya, bahwa perkembangan-perkembangan dalam bidang teknologi itu semata-mata dipandang sebagai perkembangan yang mampu menjelaskan segala hal. Artinya, dimensi-dimensi di luar itu kurang diperhitungkan. Misalnya dimensi spiritualitas. Jadi perkembangan peradaban sekarang ini agama sudah gak relevan.

Sekarang ini kita melihat dua tren. Di satu pihak, ada corak keberagamaan yang begitu keras dan konservatif, yang juga berkembang di sebagian kalangan perkotaan. Di sisi lain, juga ada perkembangan ekstrem yang orang-orang melihat agama itu non-sense karena tidak bisa menjelaskan dunia hari ini. Ada yang mengatakan bahwa pandemik corona adalah kemenangan sains atas agama, karena agama lumpuh.

Jadi ada dua ekspresi yang tidak ideal. Saya menganggap di tengah-tengah ini ada opsi yang fair dan balance, contohnya ditunjukkan oleh Al-Ghazali. Dia orang yang memahami agama sebagai cara hidup yang tidak menafikan aspek spiritualitas. Tapi tidak tertutup pada perkembangan sains. Jadi sains dan agama bukan sesuatu yang berlawanan. Bagi saya ini corak Islam yang tepat dalam situasi sekarang. Jadi tidak tertutup secara total, tidak menafikan perkembangan modern, tapi tidak juga mengabaikan agama.

Tahun 2002, Anda pernah mencurahkan kegelisahan melalui artikel berjudul “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam”. Pro-kontra kemudian muncul menanggapi artikel itu. Apakah kegelisahan 18 tahun lalu masih Anda rasakan hingga hari ini?

Ketika saya menulis tulisan itu, 18 tahun yang lalu adalah era ketika saya shock karena melihat ekspresi Islam yang radikal, karena ini corak Islam yang gak pernah saya kenal waktu di pesantren. Ketika saya menimbulkan banyak kontroversi, sebetulnya era ketika saya mencoba untuk memahami kenapa kok umat Islam mengekspresikan Islam dengan cara seperti itu? Menyerang yang tidak seagama.

Nah tahap yang sekarang ini, saya mencoba merespons perkembangan lain. Saya melihat kok ada orang yang menganggap bahwa sains modern itu adalah segala-galanya, sehingga agama tidak penting. Selain bukunya Yuval noah, ada bukunya Richard Dowkins, The God Delusion, itu menjadi katalis, penyambung lidah beberapa orang yang kecewa terhadap agama, sehingga menganggap agama non-sense.

Ini saya anggap bukan perkembangan yang baik. Jadi sekarang umat beragama sedang mendayung di antara dua karang, yang satu karang radikalisme keras, yang satu lagi karang sekularisme keras.

Kita (umat Islam Indonesia) juga menghadapi masalah yang sama. Masalah kekerasan atas nama agama, corak pemahaman agama yang keras masih ada. Kemudian ada juga pandangan baru yang anti-agama. Sekarang ini kita menghadapi dua arus ini. Jadi saya menganggap bisa kok jadi muslim yang rasional dan juga spiritual. Dua-duanya itu penting.

Menurut Anda, bagaimana muslim yang ideal itu?

Sederhananya ya, orang yang salat 5 waktu rajin, ini agak literal ya tapi penting. Membaca Al-Qur'an, baca hadis kalau sempat, tapi juga tidak menutup diri terhadap orang luar. Ketika ada perayaan Natal, ucapkan selamat Natal, mentoleransi kelompok yang berbeda.

Bagi saya, muslim yang baik adalah muslim yang soleh pada tingkat personal dan soleh sosial. Nah soleh personal itu ditandai dengan ibadah. Ini penting karena parameter utama. Ikatan kita dengan Al-Qur'an juga penting. Saleh sosial itu toleransi terhadap agama yang berbeda. Saya tuh ingin umat Islam begitu.

Di zaman dengan kemajuan teknologi saat ini, menurut Anda kenapa spiritualitas masih sangat penting?

Spiritualitas itu penting karena inti dari beragama. Itu diungkapkan dalam sebuah hadis, spiritualitas itu bahasa Arabnya Ihsan. Nabi pernah bersabda, “engkau itu menyembah Allah seolah-seolah melihat Allah. Kalaupun kamu tidak melihat Allah, sembahlah seakan-akan Dia melihat engkau.”Tingkat Ihsan yang paling tinggi adalah kita bisa melihat Allah dalam segala hal, di dalam setiap profesi yang kita kerjakan, kita melihat Allah di sana. Tapi kalau tidak bisa ke level itu, maka anggaplah Allah yang melihat kamu.

Ihsan itu kesadaran bahwa di mana pun kita berada, kita sadar Tuhan itu bersama kita. Nah keberadaan Tuhan bersama kita membawa implikasi. Pertama, kita akan bertindak secara profesionalisme. Kita akan mengerjakan sesuatu dengan sebaik-baiknya. Profesionalisme adalah bentuk spiritualitas yang penting, karena Allah membuat alam secara profesional. Allah itu salah satu nama dalam Asmaul Husna adalah Maha Kreatif, Maha Inovatif.

Kedua, menyadari bahwa kita punya tanggung jawab moral, karena Allah mengawasi. Apa itu tanggung jawab moral? Kita tidak curang dalam bekerja, karena tipuan itu bisa dilakukan oleh orang yang mengerjakan sesuatu, tentu dengan cara menipu yang tidak diketahui publik.

Setiap profesi pasti ada tipuan-tipuan tersembunyi, yang hanya orang dengan profesi itu yang tahu. Itulah yang kata Nabi Muhammad “setiap manusia punya setan dalam dirinya”, jadi kita lahir di dunia bersama kekuatan jahat dalam diri kita. Jadi ada pre-install dalam diri kita yang namanya setan. Bahkan Nabi Muhammad pernah ditanya, apakah Nabi Muhammad punya pre-install setan ini? Dia bilang bahwa ada setan dalam dirinya, tapi setannya sudah dikarantina, sehingga gak bisa lagi mempengaruhi.

Sedangkan kekuatan jahat dalam diri kita masih aktif sekali. Inilah yang membuat kita bisa menipu dalam segala hal. Kalau kita punya pemahaman agama yang spiritualistik, kita akan sadar Allah bersama kita, sehingga kita tidak akan menipu.

Berislam dengan Spiritual dan Rasional: Belajar dari Ulil AbsharYouTube/Ulil Abshar Abdalla

Anda merupakan salah satu figur yang mencoba untuk mempraktikkan spiritualisme dan rasionalisme dalam kehidupan. Pada akhirnya, masih ada saja orang yang mengkritik bahkan menghujat Anda. Bagaimana Anda menyikapinya?

Saya menyikapi ini dengan cara pandang spiritualistik. Saya itu menyadari bahwa apa pun yang terjadi dalam kehidupan seseorang, itu bukan sesuatu yang sia-sia. Itu yang dikatakan dalam Al-Qur'an, bahwa tidak ada sesuatu yang di dunia ini yang terjadi secara acak tanpa tujuan.

Kalaupun dalam perjalanan sebagai pemikir, ada yang kritik, mungkin itu cara Allah untuk mengingatkan kita. Itu cara Allah mengajari kita. Kalau kita berpikir tidak ada yang mengkritik, justru kita akan menghadapi situasi yang berbahaya. Jadi setiap hal yang terjadi, apa pun pekerjaan kita, kalau ada input yang ngeselin, apalagi di era medsos, nyinyir itu adalah bagian dari menu sehari-hari, nyinyir harus dilihat sebagai bukan hal yang acak.

Dalam kacamata spiritual, nyinyir itu cara Allah mengingatkan kita. Makanya Nabi Muhammad pernah bersabda “seorang mukmin adalah cermin dari mukmin lainnya.” Jadi, orang lain, dalam bahasa sekarang mungkin adalah alter ego, adalah orang lain dalam bentuk yang berbeda. Jadi kalau ada orang yang memberikan masukan kepada kita dengan cara nyinyir, jangan-jangan itu adalah refleksi diri kita yang sedang mengingatkan kita.

Fenomena beragama yang tidak kalah meresahkan adalah merasa yang paling Islam. Kalau tidak sesuai kelompok saya, maka Islam kamu tidak benar dan begitu sebaliknya. Menurut Anda, bagaimana berislam yang benar?

Saya akan menjawabnya dengan pandangan spiritual. Cara pandangnya, manusia itu digambarkan dalam Al-Qur'an di surat al-Alaq, “ingatlah bahwa punya tendensi thugyaan.” Apa itu thugyaan? Yaitu crossing the line. Artinya, ketika kita sedang bangga melakukan sesuatu, akhirnya kebanggaan itu berlebihan, merasa paling Islami, paling Nusantara, paling pribumi, paling Indonesia. Itu sebetulnya manifestasi dari karakter thugyaan dalam Alquran.

Ayat ini selalu jadi wake-up call bagi saya. Manusia itu kalau lagi senang terhadap sesuatu, pokoknya sesuatu yang lain dianggap sepele semua. Nah ini merupakan ciri-ciri masyarakat post-modern, yang segala hal dicirikan dalam ekstrem, makan ekstrem, minum ekstrem. Makanya dalam bukunya Harari, Homo Deus, manusia modern itu lebih banyak yang mati karena kekenyangan daripada yang mati akibat terorisme atau wabah. Kekenyangan itu diabetes ya misalnya.

Terakhir, apa saran Anda bagi para millennial supaya bisa beragama di era media sosial atau yang tadi Anda katakan sebagai tantangan beragama di tengah dua “karang” yang keras?

Pertama, saya menganjurkan semua temen-teman millennial, carilah kiblat beragama yang tepat. Anda harus punya guru dalam hidup. Guru bukan berarti dosen atau profesor, tapi orang yang menjadi teman untuk menjalani hidup dengan tepat. Anda harus punya tokoh yang tepat. Nah siapa yang tepat itu? Anda punya indikator masing-masing, Anda yang harus memilih. Petunjuknya adalah orang yang bisa menyeimbangkan kesalehan individu dan sosial.

Kedua, media sosial ini adalah the age of judgementalism, suka menghakimi orang lain. Kendalikan nafsu kita untuk menghakimi orang lain. Saya menggunakan istilah ini ya, yang mungkin agak kontroversi, jadilah FPI untuk diri kamu sendiri, jangan jadi FPI bagi orang lain. Artinya, koreksilah diri kamu, karena koreksi diri sendiri itu susah, koreksi orang lain itu gampang. Jadi FPI buat diri sendiri itu gak mengganggu orang lain, gak buat orang benci, tapi ya gak populer, karena hanya Allah yang menyaksikan.

Baca Juga: Pendeta Ini Kagumi Ulil Abshar Abdalla Sebagai Figur Santri Ideal

Topik:

  • Vanny El Rahman
  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya