Nestapa Nelayan Muara Angke: Reklamasi Sang Penghancur Mimpi

Mimpi Halil menyekolahkan anaknya ke perguruan tinggi pupus

Jakarta, IDN Times- Halil masih tertidur pulas di atas dipan kayu ketika azan subuh berkumandang di pesisir Teluk Jakarta. Tubuhnya tengkurap di balik sarung biru yang sudah lusuh. Tangan kanannya memeluk bantal. Sementara tangan kirinya merangkul kedua putrinya yang terlelap di sebelahnya. Asap obat serangga bakar dan kipas angin menjaga mereka dari gigitan nyamuk. Sesekali tangan Halil menyapu telinga karena terusik nyamuk.

Halil menghabiskan malam di atas dipan beranda rumahnya. Ia dan kedua anaknya memilih tidur di beranda karena semilir angin pesisir yang begitu sejuk saat malam hari. Rumah Halil jauh dari sempurna jika melihat Keputusan Kementerian Kesehatan RI Nomor 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang rumah sehat. Luas bangunannya hanya 42 meter persegi. Pondasi bangunan hanya ditopang pilar kayu. Dindingnya terbuat dari triplek yang sudah usang akibat diterpa hujan dan panas yang datang silih berganti.

Pasir pantai menjadi alas rumahnya. Bahkan, kamar mandi pun tidak ada. Sulit rasanya membedakan mana ruang tamu dan ruang tidur. Di belakang rumah Halil mengalir sungai Kali Adem. Jika laut pasang atau hujan deras, rumah dia pun bak kolam yang digenangi air tawar dan asin.

Nestapa Nelayan Muara Angke: Reklamasi Sang Penghancur MimpiKondisi rumah Halil (IDN Times/Helmi Shemi)

Malam itu Halil tidur begitu larut. Jarum jam sudah menunjukkan angka 03.40 WIB. Belakangan ayah dari lima anak itu memang sulit tidur. Ia merasa hidupnya tinggal menghitung hari. Bukan karena penyakit mematikan, melainkan akibat negara yang gagal memberikan kepastian. Terlalu berat memang bagi Hilal untuk memikirkan negara. Tapi, ini menyangkut masa depan dia dan keluarganya. Semua berawal karena reklamasi di utara Jakarta.

Kini, hidupnya seakan digerogoti reklamasi yang membawanya ke jurang ironi. Halil bak pengungsi di negeri sendiri. Sebagai nelayan tradisional yang hidup dari kekayaan laut, dia menolak kebijakan pembuatan daratan tambahan di pesisir utara Ibu Kota. Namun, apa daya sebagai rakyat kecil, ia merasa aspirasinya tidak didengar mereka yang haus akan harta.

Halil bukan pendatang baru yang hendak berjudi dengan nasib di Jakarta. Sejak 1994, ia sudah bermukim di kawasan Muara Angke, Jakarta Utara. Pria 51 tahun ini juga bukan nelayan kacangan yang baru merasakan nikmatnya lautan. Ia sudah menekuni pekerjaan sebagai nelayan sejak usia tujuh tahun.

Lebih dari seperempat abad, Halil berhasil menyambung hidup dari ikan dan kerang yang bersembunyi di balik kekayaan bahari Teluk Jakarta. Bukan hanya Halil, ratusan keluarga juga menggantungkan hidupnya dari sumber rezeki yang sama. Sayangnya, tidak banyak pemangku kebijakan yang sadar akan hal itu. Sebagian dari mereka seolah dibungkam rupiah demi menjadi penyambung lidah para pengembang dan pihak yang diuntungkan dari proyek reklamasi.

Halil, simbol penolakan reklamasi Teluk Jakarta

Nestapa Nelayan Muara Angke: Reklamasi Sang Penghancur MimpiIDN Times/Vanny El Rahman

Rona fajar dari ufuk timur menyapa warga di Perkampungan Nelayan. Tidak seperti biasanya, sang surya seperti malu-malu menampakkan dirinya. Mungkin karena terhalang awan akibat tingginya polusi Jakarta pagi itu.

Desir ombak pun membangunkan Halil. Raungan mesin kapal saling bersahutan, bak orkestra yang mengingatkan dia betapa rintangan hidup begitu pelik. Halil duduk termangu di beranda. Kantung matanya menandakan rasa kantuk enggan beranjak.

Sembari merapikan jaket bomber birunya, Halil sesekali mengibaskan tangan untuk menghalau lalat hijau yang singgah di segelas kopi yang sudah dingin. Sedari malam memang ia belum sempat menghabiskan kopi buatan sang istri. Di tangan kanannya, diapitnya sebatang rokok sebagai ritual mengawali pagi itu.

Halil menyalakan televisi yang berada tak jauh dari dipan untuk menonton berita. Pria asal Indramayu, Jawa Barat, ini rutin mengikuti berita terkini. Sebut saja berita terbaru dari sidang perselisihan suara hasil Pilpres di Mahkamah Konstitusi hingga inovasi Ridwan Kamil menyulap Jawa Barat.

Tapi, ada satu berita yang ia tunggu-tunggu, yaitu kepastian pemerintah menyudahi proyek reklamasi di utara Jakarta. Kebijakan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menerbitkan izin mendirikan bangunan (IMB) di pulau D membuat Halil kian was-was. Apalagi jika saja IMB bisa dikeluarkan secara diam-diam, bukan tidak mungkin reklamasi juga dilanjutkan dalam senyap. Muncul keraguan.

Keberadaan di sekitar rumah Halil cukup sunyi. Wajar, bangunan bernomor 72, Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara itu terletak di ujung gang VI, dekat kawasan hutan mangrove. Sedikit orang yang beraktivitas di depan rumahnya. Kendati, semua warga mengetahui siapa Halil.

Dia dikenal sosok yang menjadi simbol penolakan reklamasi. Pengabdiannya sebagai nelayan selama 26 tahun meneguhkan hatinya untuk melawan penindasan rezim. Halil bahkan mendedikasikan lahan kosong di sebelah rumahnya sebagai tempat konsolidasi masyarakat untuk menolak reklamasi.

Nestapa Nelayan Muara Angke: Reklamasi Sang Penghancur MimpiIDN Times/Vanny El Rahman

Pukul 06.21 WIB, saatnya sang istri menyiapkan sarapan pagi untuk Halil. Ia membuka kresek putih yang berisi nasi uduk dan ketupat sayur yang dibeli sang istri. Sembari menata piring dan mangkok, ia membangunkan kedua putri kecilnya yang masih terlelap.

Suasana keluarga Halil pagi itu begitu sederhana, namun penuh keharmonisan. Sesekali terdengar gemuruh kapal dan suara ayam berkokok. Lebih dari 16 tahun suara-suara ini setia menemani keluarga Halil setiap pagi.

Halil biasa menyapa warga yang melintasi rumahnya setiap pagi. Bila mereka nelayan, ia akan memanggilnya dan menceritakan ihwal perkembangan advokasi penolakan reklamasi. Mereka seksama mendengarkan kata demi kata yang keluar dari lisan Halil. Apakah reklamasi hendak diteruskan atau selamanya dihentikan, menjadi pertanyaan yang kerap mengawali diskusi.

Satu hal yang pasti, Halil tak berjuang sendiri. Ia dikawal Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Komite Nasional Tradisional Indonesia (KNTI), dan pegiat lingkungan lainnya.

Setiap napas mereka disuarakan untuk menolak reklamasi. Setiap langkah mereka diniatkan untuk mengadvokasi hak-hak warga yang terintimidasi. Keputusan telah diambil. Bagi Halil dan segenap warga nelayan lainnya, tidak ada kata mundur untuk berjuang menolak reklamasi.

“Saya tiap hari keliling ke rumah-rumah, ke pertemuan-pertemuan, untuk ngasih tahu tentang bahaya reklamasi,” kata Halil.

Bukannya tanpa alasan. Halil kerap dituding menjadikan isu reklamasi sebagai cara untuk memperkaya diri. Padahal, ponsel genggam saja dia tak punya. “Ada yang bilang Pak Halil cuma cari sensasi. Makanya saya kalau diam sedikit aja, pasti dikira nerima aneh-aneh,” ucap dia.

Dermaga Kali Adem dan ancaman baru bagi nelayan

Nestapa Nelayan Muara Angke: Reklamasi Sang Penghancur MimpiDermaga Kali Adem (IDN Times/Vanny El Rahman)

Ketupat sayur telah habis dilahapnya ketika seorang warga datang menghampiri Halil. Mereka berdiskusi soal pembangunan dermaga Kali Adem yang penuh kejanggalan. Lokasi dermaga itu sekitar 50 meter dari rumah Halil. Mereka curiga karena pembangunan dermaga dimulai ketika sistem rukun tetangga dan rukun warga (RT/RW) pertama kali diterapkan di Perkampungan Nelayan. 

“Selama berpuluh-puluh tahun, di sini adanya ketua kelompok. Ini tiba-tiba ada RT/RW datang ke rumah-rumah minta KTP (Kartu Tanda Penduduk), katanya buat pendataan. Ketua RT-nya dipilih sama orang kelurahan. Alasannya RT percobaan. Saya yang sudah 16 tahun di sini gak dianggap, saya gak boleh ikutan sistem RT. Eh, setelah itu mendadak dibangun Dermaga Kali Adem,” tutur Halil. 

Ia curiga KTP yang dikumpulkan diserahkan kepada pengembang sebagai bukti masyarakat setempat menyetujui pembangunan dermaga. Halil menganggap ini curang. Sayang, Halil tidak bisa membuktikan.

Menurut dia pendukung proyek tersebut selalu menyatakan nelayan tradisional pihak yang paling diuntungkan dari dermaga tersebut. Ia bersama nelayan tradisional lainnya terbiasa menggunakan kapal berkekuatan 10 GT yang berukuran kecil.

Sementara, nelayan cumi dan nelayan yang punya modal besar cenderung menggunakan kapal bertenaga 35 GT. Ukurannya tentu lebih besar. Dari pilar yang sudah berdiri saja, Halil tahu dermaga ini tidak menguntungkan dirinya dan nelayan tradisional lainnya.

“Makannya, nanti kalau dermaganya jadi, nelayan tradisional mau bongkar muatnya gimana? Harus naik-turun tangga dermaga? Kapal-kapal kami semakin jauh dari bibir pantai jadinya,” cerita Halil kepada rekannya, yang mengenakan kaos merah dan celana pendek. Dia khusyuk mendengarkan cerita Halil. Sesekali mengutarakan unek-uneknya.

Penderitaan belum berhenti di situ. Halil juga mendengar kabar soal normalisasi sungai Kali Adem. Nantinya, nelayan dilarang menempatkan kapalnya di kali ini. Halil khawatir rumah yang berada di pinggiran kali juga harus digusur.

Lebih nahas lagi, penggusuran sangat mungkin terjadi tanpa pemberian kompensasi. Ancaman yang sama juga dirasakan ratusan keluarga lainnya di sekitar Kali Adem. “Saya kan gak punya surat tanah, padahal udah tinggal di sini 16 tahun. Dulu pernah pengen buat, tapi ditolak. Ya gak tau lah kenapa, kita kan cuma tamatan SD,” keluh Halil.

Rumah susun tidak cocok bagi Halil dan nelayan lainnya

Nestapa Nelayan Muara Angke: Reklamasi Sang Penghancur MimpiIDN Times/Helmi Shemi

Kilau merah fajar kini telah lenyap. Pukul 07.28 WIB, waktunya Halil melaut. Sang istri sedari tadi sibuk mempersiapkan peralatan dan bekal untuk suaminya melaut. Rois, satu-satunya anak lelaki Halil yang kini berusia 23 tahun juga sudah bangun.

Dia lah yang setiap hari menemani sang ayah mengais pundi-pundi rupiah. Sarung tangan, kaos kaki, kaos lengan panjang, celana training, kaca mata renang, sepatu, hingga kopi, dan gorengan sudah dikemasnya. Tak ketinggalan satu dirigen solar.

Tak membasuh muka, Halil segera beranjak dari rumah. Rambut belum tersentuh air. Begitu juga badannya. Ditanggalkan batik dan jaket biru yang ia kenakan tadi malam. Ia telanjang dada. Hanya sarung biru yang menutupi bagian tubuhnya. Dia menenteng satu plastik hitam. Peralatan lainnya sudah dibawa Rois yang lebih dulu menuju kapal untuk menguras air.

Jarak antara kapal dengan rumah Halil sekitar 15 meter jika berjalan kaki. Bahtera kecil inilah yang menjadi saksi bisu perjuangan Halil selama tiga tahun terakhir. Kapal bekas itu dibeli dari kenalannya seharga Rp12 juta. Ukurannya kecil, namun mampu menghidupi seluruh anggota keluarganya.

Halil tak bisa membayangkan jika pemerintah benar-benar memindahkan seluruh nelayan ke rumah susun (rusun). Pastinya, jarak antara kapal dengan tempat tinggal sangat jauh. Apalagi saat bongkar muat barang yang cukup melelahkan.

Belum lagi jika hujan deras tiba dan menggenangi kapal. Siapa yang akan menguras? Lagi pula Halil tidak pernah diberi kejelasan rumah susun mana yang akan menjadi tempat tinggalnya.

“Dulu pernah ditawari rusun, tapi saya menolak keras. Karena alat tangkap nelayan itu perahu, bukan mobil atau motor. Terus nanti memilah tangkapannya di mana? Katanya di atap rusunnya. Gak cocok sama nelayan,” kata dia, dengan wajah memelas.

Halil tentu berharap pemerintah memahami hal itu. Persoalan Halil bukan apakah pemerintah mampu memberikan tempat tinggal yang baik, melainkan, apakah mereka yang dipilih rakyat mampu menjanjikan masa depan yang lebih baik?

Dampak reklamasi membuat hasil tangkapan nelayan berkurang

Nestapa Nelayan Muara Angke: Reklamasi Sang Penghancur MimpiHalil bersama Rois menyalakan kompresor untuk persiapan melaut. (IDN Times/Vanny El Rahman)

Mesin kapal telah meraung. Perlahan, Halil dan sang anak mulai meninggalkan daratan. Halil yang pagi itu telanjang dada menjadi nahkoda. Tubuhnya terlihat kurus, namun otot bisepnya cukup kekar. Sembari mengisap sebatang rokok, matanya sesekali menyipit terkena silau matahari.

Butuh waktu 30 menit untuk tiba di lokasi keberadaan kerang hijau berkumpul. Sepanjang perjalanan, Halil mengeluhkan dampak reklamasi yang menyebabkan pendangkalan air laut. Hal itu juga mengakibatkan penetrasi cahaya matahari di dasar laut terhambat karena air yang semakin keruh. Keanekaragaman hayati terus berkurang karena tidak ada lagi habitat untuk hidup.

“Sebelum reklamasi kami biasa dapat ikan rawe, sembilang, pari, sekarang udah gak ada. Udang rebon aja udah gak mau lagi ke pesisir,” keluhnya.

Apa yang diceritakan Halil selaras dengan hasil penelitian Reny Puspitasari Sri T Hartarti, dan Regi F Anggawangsa, dalam jurnal berjudul Analisis Dampak Reklamasi Terhadap Lingkungan dan Perikanan di Teluk Jakarta. Karya ilmiah tersebut dirilis oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kelautan dan Perikanan (Balitbang KKP) pada 12 Desember 2017.

Temuan mereka menjelaskan salinitas atau kadar garam yang terlarut dalam air menurun dari 31,54 per mil (2014) menjadi 29,69 per mil (2016). Kecerahan airnya juga berkurang dari 5,84 m (2014) menjadi 4,42 m (2016). Indeks keanekaragaman fitoplankton juga menurun dari 1,33 (2014) menjadi 0,85 (2016). Begitu pula dengan makrozoobenthos, dari 2,07 (2014) menjadi 1,92 (2016).

Alhasil, wajar bila tidak ada lagi hewan yang ingin hidup di Teluk Jakarta. Secara sederhana, seluruh pengaruh buruk terjadi karena pemerintah tidak memiliki rencana zonasi sesuai fungsinya.

Tiba di titik keberadaan kerang hijau, mesin kapal segera dimatikan. Jangkar pun dilepaskan. Kapal menjorok ke tembok panjang yang ada di tengah laut. Mereka mulai berganti pakaian. Suhu cuaca pagi itu lebih kurang 32° Celcius. Tidak ada lagi pembatas antara tubuh dengan terik matahari. Keduanya bergeming.

 

Nestapa Nelayan Muara Angke: Reklamasi Sang Penghancur MimpiIDN Times/Vanny El Rahman

Akibat reklamasi, mereka tidak lagi bisa mengais kerang hijau yang menempel di tembok, tempat Halil melabuhkan kapalnya. Kerang hijau yang berada di permukaan laut berubah menjadi kerang hitam. Ukurannya lebih kecil.

Sekilas seperti kerang yang sakit. Tidak layak dikonsumsi. Lagi pula, kalau pun itu dijual ke pasar, pasti tidak ada yang membelinya. Mereka harus menyelam hingga ke dasar laut untuk membawa pulang pundi-pundi rupiah.

Nestapa Nelayan Muara Angke: Reklamasi Sang Penghancur MimpiKompresor yang digunakan untuk memompa oksigen untuk pernapasan Halil ketika menyelam. (IDN Times/Vanny El Rahman)

Peralatan menyelam mereka begitu sederhana. Buatan tangan sendiri. Halil tak mampu membeli tabung oksigen baru. Kompresor yang digunakan untuk mengalirkan oksigen pun sudah usang dan berkarat. Regulatornya terbuat dari pipa bekas. Penghubung antara kompresor dengan regulator pun memakai selang biasa. Halil pun sadar mesin tua itu bisa saja membunuhnya setiap saat.

“Ya gak sehat sebenarnya. Ini (kompresor) harusnya yang stainless steel, yang gak karatan. Terus selangnya yang khusus, yang gak bisa ketekuk. Kalau pakai selang ini, kita lagi di bawah terus ketekuk bisa gak dapet oksigen,” kata Halil tanpa terlihat sedikit pun rasa takut. Rasa-rasanya ia lebih khawatir bila keluarganya tidak bisa makan.

Pukul 08.28 WIB, Rois lebih dulu menjatuhkan tubuhnya ke dalam laut. Halil menyusul 10 menit kemudian. Bermodal keranjang ikan ukuran besar, mereka siap menelusuri dasar laut di titik koordinat -6°6'3.79166"S 106°47'7.12623"E.

Setelah 22 menit berlalu, Halil muncul ke permukaan. Tangan kanannya memegang keranjang berisi kerang hijau dan memuntahkan ke atas perahu. Kemudian dibersihkannya dari lumpur. Napasnya terengah-engah. Usia memang tidak bisa dibohongi.

Sembari beristirahat di atas kapal, Halil menyambung kembali rokok yang sempat dimatikan sebelum menjeburkan ke dalam laut. Ia mengeluh akibat jumlah kerang hijau yang terus berkurang. Selain itu, air laut belakangan ini membuat kulitnya gatal-gatal dan jarak pandang air yang semakin pendek.

“Pas reklamasi lagi aktif-aktifnya malah air keruh banget,” ujar dia.

Habis sudah sebatang rokok. Halil kembali menceburkan diri ke dalam air. Di usianya yang menginjak kepala lima, ia bersyukur memiliki Rois, yang mampu bertahan selama 1,5 jam di dalam air tanpa muncul ke permukaan. Dia mampu menggeret tiga keranjang besar sekaligus.

Selama hampir tiga jam, mereka akhirnya menyudahi perburuan kerang hijau hari itu.

Penghasilan terus menurun

Nestapa Nelayan Muara Angke: Reklamasi Sang Penghancur MimpiHasil tangkapan Halil setelah 22 menit menyelam (IDN Times/Vanny El Rahman)

Reklamasi mengurangi pendapatan Halil dan nelayan lain. Dulu, ia bisa mengumpulkan Rp1 juta setiap kali melaut. Ukuran kerangnya pun besar-besar. Satu kilo gram setara 20 biji kerang. Tapi sekarang, sekali melaut ia hanya mampu membawa pulang Rp150 ribu hingga Rp250 ribu. Itu belum termasuk ongkos membeli solar.

Bila ingin menempuh jarak jauh atau mencari titik tangkap lain, Halil harus menyiapkan lebih dari 10 liter solar. Harga solar bisa mencapai Rp8 ribu per liter. Sempat terbesit di benak Halil untuk membudidayakan kerang, namun tidak memiliki modal sekitar Rp7 juta untuk membangun bagan. Kekhawatiran lain juga muncul akibat air keruh, yang besar kemungkinan budi dayanya pun gagal panen.

“Dulu kerang hijau ibarat kata cuma celengan. Tambah-tambahan aja. Karena banyak biota laut yang kejaring. Sekarang mau gak mau kerang hijau doang. Dulu yang kerang anakan gak dijaring. Sekarang hampir semuanya kecil-kecil kerangnya,” kata Halil, yang mengikatkan sarungnya di kepala.

Halil sangat ingin mengajak pemerintah daerah atau pihak pengembang untuk melaut bersama. Dia ingin membuktikan Teluk Jakarta adalah surga bagi biota laut yang kini mulai punah.

“Pak Ahok sama pemerintah kan pernah bilang gak ada ikan dan kerang di sini. Gak bener itu! Makannya ikut melaut sini. Yang namanya laut, pasti ada ikannya. Tinggal mereka mau buat lautnya jernih atau gak,” tantang Halil.

Nestapa Nelayan Muara Angke: Reklamasi Sang Penghancur MimpiHalil tengah memisahkan batu dengan kerang yang sudah ditangkapnya (IDN Times/Vanny El Rahman)

Matahari semakin tinggi, tepat di atas kepala. Sudah waktunya bagi Halil dan Rois kembali ke rumah. Berapa pun hasil tangkapannya, mereka tetap bersyukur. Kadang, mereka menyisihkan sebagian waktunya untuk mencari udang rebon. Tergantung permintaan pasar. Sesekali mereka mencari ikan dan kerang hingga di kawasan Ancol.  

Jalur pulang-pergi Halil mencari kerang harus melewati Pulau G yang berjarak sekitar 500 meter dari bibir pantai Kali Adem. Setiap kali ia melintasi daratan yang dicanangkan memiliki luas 161 hektare itu, hatinya selalu tersayat.

Bagaimana tidak, pulau yang disebut-sebut Gubernur DKI Anies Baswedan sebagai Pantai Bersama itu, seketika mengubah hidupnya di ambang ketidakpastian. Halil tak bisa lagi melintasi pulau buatan itu tanpa melihatnya. Kini, kondisinya bak tempat pembuangan sampah. Tak terurus dan gersang.

“Awalnya saya dan teman-teman sangat percaya dengan Pak Anies. Bagaimana pun dia sama wakilnya bilang menolak reklamasi. Apapun bentuknya, kayak penerbitan IMB (izin mendirikan bangunan) juga bagian dari reklamasi. Saya kecewa lah. Merasa dibohongi, teraniaya,” tutur Halil.

Mimpi menyekolahkan anak hingga Perguruan Tinggi pupus

Nestapa Nelayan Muara Angke: Reklamasi Sang Penghancur MimpiAnggota keluarga Halil tengah memisahkan daging kerang dengan kulitnya (IDN Times/Vanny El Rahman)

Membesarkan lima anak di Ibu Kota tentu bukan perkara mudah. Ketika hijrah ke Jakarta, Halil tentu mengharapkan keturunan yang lebih baik. Ia ingin anak-anaknya merasakan bangku kuliah. Menjadi sosok yang menghadirkan perubahan bagi rakyat kecil.

Sayangnya, semua rencana itu pupus seketika, lantaran reklamasi. Halil kini tidak bisa memperkirakan masa depan putra-putrinya. “Dulu mah ya pengen anak-anak kuliah. Tapi sekarang, ibaratnya dapat uang makan buat besok aja udah bersyukur.”

Bukan sembarang alasan Halil menolak reklamasi. “Dulu saya sangat suka kondisi di Muara Angke. Aromanya khas. Udaranya segar. Banyak tumbuhan, hutan lindung. Nelayan juga senang sama airnya yang bersih,” kenang Halil, menggambarkan Teluk Jakarta tempo dulu.

Perjuangannya tidak mudah. Intimidasi hingga persekusi pernah dirasakan. Bahkan, anggota keluarganya ada yang hampir dijebloskan ke penjara karena difitnah. “Tahun 2017 pernah saya dipukulin. Saya dikata gak boleh menolak reklamasi, gak boleh demo, terima aja uang yang ditawarin. Sampai sekarang orang yang mukulin saya bebas tuh, gak diapa-apain. Padahal udah diproses hukum.”

Begitu kapalnya menyentuh bibir pantai, Halil segera mengangkat seluruh hasil tangkapannya. Pakaian yang tadinya basah kini mengering karena sengatan matahari. Hari itu, ia mengumpulkan empat karung kerang hijau.

Jumlah yang sedikit jika dibandingkan masa sebelum reklamasi. Sebelum dijual, Halil harus merebusnya lebih dulu agar mudah mengambil dagingnya. Demi mendapat penawaran tinggi, daging juga harus dipisahkan dari kulitnya. Untuk satu kilo daging kerang tanpa kulit, harga pasaran sekitar Rp20 ribu hingga Rp25 ribu. Sementara, kerang dengan kulit seharga Rp6 ribu hingga Rp8 ribu.

Sekalipun berada dalam kondisi terimpit, tidak pernah terbesit dalam benaknya untuk meninggalkan pekerjaan ini. Baginya, nelayan adalah cita-cita. Melaut adalah gaya hidup. Mengarungi samudera berarti meneruskan semangat nenek moyang. Berapa pun nominal yang ditawarkan kepada Halil, hatinya tidak akan goyah menolak reklamasi.

“Jadi nelayan ini ibarat cita-cita terkabul. Saya dipesani oleh orangtua untuk jadi nelayan dan pelaut yang tangguh. Apapun rintangannya, gelombang, badai, petir, gak boleh takut. Gak boleh gentar,” tekadnya.         

Nestapa Nelayan Muara Angke: Reklamasi Sang Penghancur MimpiHalil sedang merebus kerang (IDN Times/Helmi Shemi)

Siapa pun pemimpinnya, selama reklamasi berjalan, dia akan terus menyuarakan penolakan. Ia sadar bila suaranya tak lagi lantang. Namun, letih bukan alasan untuk menerima reklamasi. Kulit yang mengendur juga bukan alasan Halil mundur. 

“Capek itu kodrat manusia ya, saya juga letih dan lelah, tapi karena semangat kami demi bersatunya nelayan, gak bosan-bosannya kami menyampaikan apa yang dikeluhkan oleh keluarga dan masyarakat. Sengsara itu gak enak, menderita itu gak enak,” tutur dia.

Persekusi atau jeruji besi tidak sedikit pun menggetarkan langkah Halil berjuang. Batinnya meronta bila ia berdamai dengan reklamasi. Sekalipun rumahnya tergusur, kapalnya dirampas, satu-satunya keinginan Halil satu, meneruskan apa yang telah diajarkan orangtuanya.  

“Saya akan meneruskan sejarah nenek moyang. Apapun risikonya. Kalau memang ajal datang menjemput, saya berharap mati dalam keadaan terhormat,” ucap Halil, sembari duduk melepas lelah seraya mengawasi tong besar berisi kerang yang tengah direbusnya.

Semoga kepulan asap dari api yang membakar rebusan kerang, bisa menjawab segala harapan Halil menjadi kepala rumah tangga yang bisa mengantarkan putra-putrinya menuju gerbang cita.

Nestapa Nelayan Muara Angke: Reklamasi Sang Penghancur MimpiIDN Times/Arief Rahmat

Baca Juga: Anies Baswedan dan Ahok Saling Sindir soal Reklamasi

Topik:

  • Vanny El Rahman
  • Dwifantya Aquina
  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya