Pakta Integritas Maba UI Berujung Polemik Komunikasi Elite Rektorat

Berikut penuturan Ketua BEM UI

Jakarta, IDN Times - Kebijakan Universitas Indonesia (UI) kembali menuai kritik. Pada Juni lalu, UI sempat menjadi perbincangan publik karena melarang Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UI untuk mengadakan diskusi bertajuk rasisme di Papua. Kini, UI dikecam karena menuntut mahasiswa baru angkatan 2020 untuk menandatangani Pakta Integritas.
 
Pakta Integritas ini sarat kontroversi karena poin-poinnya yang bias. Di antara tiga poin yang menjadi sorotan adalah mahasiswa diharuskan menjaga kesehatan fisik dan mental, larangan untuk terlibat dalam politik praktis yang mengganggu tatanan akademik dan negara, serta larangan untuk mengikuti kegiatan kampus yang tidak mendapat izin dari rektorat atau dekanat.
 
Di bagian akhir, mahasiswa diminta untuk menandatangani Pakta Integritas tersebut di atas materai senilai Rp6 ribu. Redaksi dalam surat tersebut memungkinkan mahasiswa diganjar hukuman seberat-beratnya, yaitu drop out atau dikeluarkan dari kampus apabila melanggar poin-poin yang telah disepakati.  
 
Ketua BEM UI, Fajar Adi Nugroho, menilai tiga poin tersebut adalah pasal karet yang parameternya bias. Pakta Integritas itu tidak merinci lebih lanjut apa yang dimaksud dengan politik praktis. Padahal, menurut dia, terlibat aksi hingga kontestasi pemilihan ketua BEM tergolong sebagai politik praktis, baik pada tingkatan nasional atau internal kampus.
 
“Kemudian menjaga kesehatan fisik dan mental juga, padahal lembaga pendidikan memiliki tanggung jawab untuk menjaga kesehatan lingkungan akademik. Ini jadi masalah karena upaya UI menjaga Kesehatan belum optimal, apakah ini semacam untuk menutupi pelayanan itu?” kata Fajar kepada IDN Times, Senin (14/9/2020).

Baca Juga: Universitas Indonesia Lahirkan 5 Julukan Ini kepada Tokoh Pendidikan

1. Berbenturan dengan statuta kampus dan regulasi di tingkat nasional

Pakta Integritas Maba UI Berujung Polemik Komunikasi Elite RektoratIDN Times/Universitas Indonesia

Fajar yang juga mahasiswa Fakultas Hukum angkatan 2016, menyoroti Pakta Integritas ini sebagai upaya Rektorat menciptakan norma baru. Sebab, Pakta Integritas ini dinilai bertentangan dengan regulasi-regulasi yang sudah ada.
 
Statuta UI misalnya memuat poin untuk tidak mendiskriminasi mahasiswa berdasarkan orientasi politiknya. Tapi, Pakta Integritas ini dengan jelas melarang mahasiswa untuk mengikuti kegiatan politik.
 
Dalam cakupan yang lebih luas, Pakta Integritas ini dinilai bertentangan dengan semangat Kampus Merdeka yang digagas oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Sebagai informasi, Kampus Merdeka merupakan kebijakan yang diusung oleh Mendikbud Nadiem Makarim agar mahasiswa bisa belajar lintas jurusan dan lintas metode.
 
Sebaliknya, Pakta Integritas ini dinilai justru membatasi ruang gerak mahasiswa. Perkara keorganisasian, mereka hanya boleh mengikuti kegiatan BEM. Fajar menyayangkan apabila nantinya mahasiswa baru tidak memiliki pengalaman karena tidak boleh mengikuti organisasi ekstra kampus, yang biasanya kegiatannya juga lintas kampus.
 
“Betul, (Pakta Integritas) bertentangan (dengan regulasi yang ada) dan seakan-akan membuat norma baru. Padahal sudah ada aturannya. Kemudian, di situ ada poin (menandatangani) setuju dan tanpa paksaan, tapi ada juga broadcast yang menjelaskan Pakta ini wajib dan masuk dalam penilaian orientasi, ini kan jadinya paksaan, malah kontradiksi,” jelasnya.
 
Dia menambahkan, “Pakta Integritas ini biasanya untuk penguatan komitmen di lembaga pemerintahan, untuk menciptakan lingkungan kerja bebas KKN, dan memang tidak ada norma baru yang diciptakan, jadi sekadar penguatan komitmen agar pihak yang menandatangani melakukan fungsi dan peran sesuai undang-undang.”

2. Menjadi instrumen kampus untuk mendikte mahasiswa

Pakta Integritas Maba UI Berujung Polemik Komunikasi Elite Rektorat(Lambang makara Universitas Indonesia) IDN Times/Rohman Wibowo

Pakta integritas ini disebarkan oleh mentor-mentor kepada mahasiswa baru melalui grup daring yang mereka bentuk. Mentor tersebut merupakan panitia Pengenalan Kehidupan Kampus Mahasiswa Baru (PKKMB) yang proses pemilihannya dilakukan oleh Direktorat Kemahasiswaan.
 
Hal ini menjelaskan bagaimana para mentor ini memperoleh Pakta Integritas. Mereka memperoleh dari Direktorat Kemahasiswaan bersama dokumen lain yang harus diisi mahasiswa baru.
 
“Jadi BEM tidak tahu-menahu (soal Pakta Integritas) sampai ada perbincangan di grup-grup kampus. Pada akhirnya kami tidak bisa mencegah di awal karena kami tidak punya akses informasi,” papar Fajar.
 
Setelah memperoleh informasi tersebut, Fajar menaikkan isunya ke media sosial. Alumni hingga masyarakat umum sontak memberikan dukungan kepada Fajar. Dari situ pula Fajar memperoleh testimoni banyak mahasiswa baru, yang ternyata tidak mengetahui dampak dari Pakta Integritas tersebut.
 
Kekhawatiran Fajar, Pakta Integritas ini menghilangkan fungsi mahasiswa sebagai alat kontrol pemerintah. Sebab, pada dasarnya, mahasiswa harus digerakkan oleh idealisme.
 
“Definisi politik praktis itu sejauh mana sih? Ini kan jadi semacam karet. Yang ditakutkan kalau mahasiswa 2020 lagi aksi, mereka diingatkan kalau pernah menandatangani Pakta Integritas, kemudian dibilang kalau kamu mengganggu tatanan bernegara (karena ikut aksi), sangat disayangkan kalau mereka langsung di-DO,” tutur dia.
 
Fajar menambahkan, “poin besar dari Pakta Integritas ini adalah sanksi-sanksi dan larangan yang diberikan kepada mahasiswa. Jadi maba (mahasiswa baru) langsung ditakut-takutin, padahal mereka belum mengenal kegiatan kampus, organisasi kemahasiswaan. Apalagi yang menakut-nakuti adalah mereka yang bisa memberikan pengaruh dan nilai-nilai kepada mahasiswa.”

3. “Dualisme” elite Rektorat

Pakta Integritas Maba UI Berujung Polemik Komunikasi Elite RektoratIDN Times/Universitas Indonesia

Polemik Pakta Integritas turut membongkar buruknya komunikasi elite rektorat. Awalnya, Kepala Kantor Humas dan Keterbukaan Informasi Publik UI, Amelita Lusia, membenarkan bahwa Pakta Integritas yang beredar pada Sabtu (5/9/2020) disebarkan oleh rektorat.
 
Kemudian, pernyataan itu dikoreksi oleh Direktur Kemahasiswaan UI, Devie Rahmawati, yang mengatakan bahwa draf Pakta Integritas itu belum final. Untuk itu, dia sempat memberikan revisi Pakta Integritas yang baru kepada sejumlah wartawan.
 
Tidak ada perubahan signifikan kecuali penekanan agar mahasiswa tidak melakukan aktivitas yang bertentangan dengan Pancasila serta dilandasi paham radikalisme. Selain mahasiswa, versi revisi dari Pakta Integritas ini juga meminta tanda tangan orangtua.
 
Sampai di sini, Fajar merasa janggal. Sebab, versi revisi dari Pakta Integritas itu tidak pernah dibagikan kepada mahasiswa baru. Uniknya adalah mahasiswa baru malah mengetahui soal revisi Pakta Integritas dari pemberitaan di media.
 
Menengahi polemik Pakta Integritas, Amelita kembali menegaskan bahwa dokumen yang beredar bukan merupakan dokumen resmi yang disetujui pimpinan UI. Dia juga menyampaikan bahwa Pakta Integritas tidak sesuai dengan standar format surat-menyurat universitas. Untuk itu, dia meminta maaf atas kegaduhan yang terjadi.
 
Terlepas dari itu, Fajar menekankan bahwa yang dirugikan dari polemik ini adalah mahasiswa. Mereka tentu resah karena kampus yang menggunakan nama Indonesia ini justru disorot karena tindakan yang dianggap tidak etis.
 
“Yang dirugikan justru mahasiswa. Dua rilis dari Kemahasiswaan dan Humas, mereka hanya berdebat terkait dokumennya, tapi tidak informasikan apakah Pakta Integritas ini akan dikumpulkan atau tidak. Terus bagaimana dengan mahasiswa yang sudah mengumpulkan, nanti sewaktu-waktu bisa mereka gunakan,” kata dia.
 
Fajar menutup, “kami mendorong supaya maba dan orangtuanya mengajukan keberatan, karena di revisi ada tanda tangan orangtua. Karena sampai saat ini Kemahasiswaan mengatakan kalau belum menerima gugatan keberatan. Jangan sampai (dari Pakta Integritas ini) berujung DO yang tidak bisa diperdebatkan.”

Baca Juga: Dear Pemimpin Bangsa, Ini Suara 26 Ketua BEM Buat Masa Depan Indonesia

Topik:

  • Vanny El Rahman
  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya