Pers Harus Mengedepankan Empati Saat Meliput Bencana dan Isu Sensitif

Jangan sampai keluarga korban juga ikut jadi korban #HPN2021

Jakarta, IDN Times - Jurnalis senior Zulfiani “Uni” Lubis mengingatkan betapa pentingnya empati dalam meliput bencana dan isu-isu sensitif. Poin utamanya adalah jangan sampai korban tersakiti dua kali.  
 
“Kita (media dan jurnalis) tidak menjadikan keluarga korban jadi korban untuk kedua kalinya. Satu korban dari bencananya sendiri. Kedua korban dari pemberitaan media,” kata Uni yang merupakan jurnalis IDN Times dalam acara BaBe (Baca Berita) 1 on 1 memperingati Hari Pers Nasional dengan judul "Jurnalis Senior Bicara Wajah dan Tantangan Pers dan Media di Indonesia Saat Ini", Selasa (9/2/2021).
 
Demi mengedepankan empati, Uni menyarankan para jurnalis memposisikan atau membayangkan dirinya sebagai korban ketika menulis laporan bencana. Selain itu, ada pula beberapa tips yang digarisbawahi agar berita yang dihasilkan mengedepankan perspektif korban.

1. Verifikasi informasi tetap yang paling utama

Pers Harus Mengedepankan Empati Saat Meliput Bencana dan Isu SensitifIlustrasi Reporter-Jurnalis (IDN Times/Arief Rahmat)

Ketika bencana, fenomena yang paling umum adalah merebaknya kabar bohong atau hoaks. Pemicunya adalah masyarakat yang seolah-olah hadir sebagai jurnalis independen melalui media sosialnya. Padahal, konten yang mereka buat sepenuhnya mengabaikan etika-etika jurnalistik.
 
“Di masyarakat kita itu, pokoknya pengen menjadi bagian yang ngasih tahu keluarga atau teman duluan, eksklusif tanpa punya kemampuan untuk verifikasi, tidak seperti yang dilakukan media,” ujarnya.
 
Uni menambahkan, “yang tidak mereka sadari adalah jurnalis melakukan pekerjaan doing no harm. Jangan sampai produk (jurnalistik) kita membuat orang lain lebih trauma.”
 

Baca Juga: Janji Jokowi di Hari Pers Nasional, Vaksin Gratis hingga Hapus Pajak

2. Memilah gambar dan diksi yang tepat

Pers Harus Mengedepankan Empati Saat Meliput Bencana dan Isu SensitifPenemuan bagian bodi Pesawat Sriwijaya Air SJY182 pada Selasa (12/1/2021) (IDN Times/Aldila Muharma)

Sekalipun jurnalis telah menerima informasi dari sumber yang terverifikasi, tugas lainnya adalah memilah gambar dan diksi yang tepat untuk digunakan.
 
Dalam kasus peliputan Sriwijaya SJY 182, misalnya, jangan sampai jurnalis memuat gambar korban. Terkait penggunaan diksi, sebisa mungkin menghindari istilah-istilah yang membuat keluarga korban semakin terluka, seperti bangkai pesawat.
 
“IDN Times gak boleh menggunakan kata ‘bangkai pesawat’, kenapa? Karena menimbulkan trauma. Jadi kalau pesawatnya aja dibilang bangkai, berarti penumpang yang di dalamnya bangkai juga dong,” papar perempuan yang pernah menjadi anggota Dewan Pers dua periode itu.

3. Jurnalis harus memahami kode etik jurnalistik

Pers Harus Mengedepankan Empati Saat Meliput Bencana dan Isu SensitifUni Lubis Diskusi AJI Indonesia "Perempuan di Ruang Redaksi: Dampak ke Pemberitaan dan Lingkungan Kerja" (YouTube/AJI Indonesia)

Pada prinsipnya, menurut Uni, semua wartawan bisa mengedepankan jurnalisme perspektif korban jika mereka sudah khatam dengan kode etik jurnalistik. Di sisi lain, media selaku perusahaan yang menaungi wartawan juga harus rela untuk “mengorbankan” sedikit traffic demi mempertahankan empati dan nilai-nilai kemanusiaan. 
 
“(Dulu) banyak (pewarta) yang belum sadar kode etik jurnalistik atau P3SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran), sehingga di-roll aja kalau tiba-tiba ada gambar jenazah, ada darah pas live, karena minutes by minutes-nya tinggi,” kata Uni, mengingatkan gambaran peliputan bencana 10 tahun silam.  
 
Sebagai pemimpin redaksi IDN Times, Uni memberlakukan kebijakan ketat dalam pengamalan kode etik jurnalistik ketika meliput bencana. “Mungkin pembaca kita (IDN Times) berkurang 20 ribu, ya gak apa-apa deh, tapi insyaallah kita dapat pembaca dari yang lain,” kata dia.  

Baca Juga: Hari Pers Nasional, Ini 'Dosa Media' di Tengah Disrupsi Digital

https://www.youtube.com/embed/Kn2raAIsw_4

Topik:

  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya