Hari Pers Nasional, Ini 'Dosa Media' di Tengah Disrupsi Digital

Mulai dari hit and run hingga abai terhadap kode etik

Jakarta, IDN Times - Salah satu 'dosa media' di era modern saat ini adalah hit and run atau terlalu mudah melupakan suatu isu dan beralih ke isu lain. Hal itu merupakan konsekuensi dari disrupsi digital yang menuntut setiap media untuk menjadi platform paling awal dalam menyampaikan suatu kabar.
 
“Ini kayak pengakuan dosa dan bersalah ya. Untuk semua hal, kita ini suka hit and run. Begitu ramai-ramainya selesai dua minggu, kita pindah ke isu yang baru lagi,” kata jurnalis senior Zulfiani “Uni” Lubis dalam webinar memperingati Hari Pers Nasional, Selasa (9/2/2021).
 

1. Banyak aspek yang harus dikritik dalam suatu isu

Hari Pers Nasional, Ini 'Dosa Media' di Tengah Disrupsi DigitalIlustrasi Jurnalis (IDN TImes/Arief Rahmat)

Untuk memberi penjelasan lebih lanjut, Uni mengambil contoh bencana pesawat Sriwijaya SJY 182 yang jatuh di perairan Kepulauan Seribu. Ketika bencana, semua media fokus memberitakan peristiwa, mulai dari update penemuan badan pesawat hingga penemuan kotak hitam atau black box.
 
Setelah itu, hanya segelintir sedikit media yang memberitakan perkembangan terbaru perihal kasus pesawat jatuh, misalnya mitigasi untuk mencegah kecelakaan serupa.
 
“Apakah sekarang kita masih menulis soal keselamatan dunia perbangan pasca SJY 182? Jadi kita memang ngeliputnya pas lagi ramai-ramainya aja sampai evakuasi selesai,” kata Uni.

Baca Juga: Jokowi: Pemerintah Terus Membuka Diri Terhadap Aspirasi Wartawan

2. Media juga dituntut cepat memberitakan agar hoaks tidak berkembang

Hari Pers Nasional, Ini 'Dosa Media' di Tengah Disrupsi DigitalIlustrasi Jurnalis (IDN TImes/Arief Rahmat)

Di sisi lain, perkembangan internet dan media sosial menuntut pers untuk lebih cepat dalam mengabarkan suatu kejadian. Jika tidak, maka kabar bohong atau hoaks akan memenuhi dunia maya.
 
Informasi yang tidak tepat itu berasal dari warganet yang memanfaatkan media sosialnya untuk mendistribusikan informasi, seolah-olah konten buatannya setara dengan produk jurnalistik. Padahal, pembuatnya sama sekali tidak memperhatikan kode etik jurnalistik.
 
“Kalau content creator tidak melakukan tugas jurnalistik. Karena jurnalistik definisinya lebih berat. Harus ada verifikasi. Tapi mereka suka share video segala macam yang harusnya gak di-share dan menimbulkan ketakutan, melanggar kode etik, tidak ada simpati,” jelas Uni.

3. Tugas pers adalah memberikan informasi yang benar

Hari Pers Nasional, Ini 'Dosa Media' di Tengah Disrupsi DigitalIlustrasi Buzzer (IDN Times/Sukma Shakti)

Bertepatan dengan Hari Pers Nasional 2021, Uni mengingatkan agar media kembali kepada tugas mulianya, yaitu menjadi pengawal demokrasi. Selain menghindari pendekatan hit and run, media juga harus lebih rajin dalam menangkal disinformasi yang terus berkembang.
 
“Media mainstream ini justru harus ‘mengingatkan’ dan ‘mengoreksi’,” kata Uni.
 
“Masalahnya, meskipun ada perbaikan (pada content creator), tapi masih ada (content creator yang menyebarkan disinformasi). Karena era digital mengandalkan adsense, itu kan banyak, mereka akan ngambil postinga-an yang viral-viral. Yang kena hujat tidak terkecuali termasuk kita media mainstream,” tutup dia.

Baca Juga: Kebebasan Pers Melemah, Bagaimana Peran UU Pers Sekarang Ini?

https://www.youtube.com/embed/Kn2raAIsw_4

Topik:

  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya