Jakarta, IDN Times - Tuti Marini Puspowardjo lahir pada 10 November 1911 di Yogyakarta dari pasangan R. Poespowardoyo dan Rr. Gomoek. Tuti terlahir dari keluarga bangsawan dengan latar belakang pendidikan yang baik. Ayahnya merupakan seorang pemilik sekolah, sementara ibunya merupakan putri dari Dr. Tjitrowardojo, dokter spesialis mata di Yogyakarta.
Tuti dibesarkan dengan seperangkat nilai. Dia mendapat pendidikan formal-modern dari HBS (Hogere Burger School), serta memperoleh nilai keislaman dan norma Jawa dari lingkungan keluarganya.
Hal itulah yang menyebabkan dia memiliki banyak teman, dari noni-noni Belanda, hingga masyarakat kelas bawah. Tuti tidak membatasi ruang pergaulannya meski berasal dari keluarga terpandang.
Saat mengenyam pendidikan di HBS, Tuti berkenalan dengan Alwi Abdul Jalil Habibie, seorang pemuda asal Gorontalo yang saat itu belajar di Sekolah Pertanian Bogor. Keluarga Tuti sempat menentang hubungan asmara mereka, karena tidak mengetahui asal kota Alwi.
Lambat laun, seiring terlihat itikad baik Alwi, keluarga Tuti akhirnya merestui hubungan mereka berdua. Ayah Alwi, Abdul Jalil Habibie, merupakan anggota Majelis Peradilan Agama sekaligus pemangku adat di daerahnya. Saking dihormatinya, rakyat biasa akan turun dari sepeda atau kudanya setiap kali melewati rumah Abdul Jalil.
Dari pasangan inilah pada 25 Juni 1936 di Pare-Pare, Sulawesi Selatan, Bacharuddin Jusuf Habibie dilahirkan. Kelak dialah yang menjadi Presiden ketiga Republik Indonesia. Namun, perjuangan Tuti membesarkan Habibie tidak mudah.
Dia harus berlarian ke sana-ke mari bersembunyi dari Jepang dan Belanda. Dia bahkan pernah “menjual” Habibie. Selepas suaminya meninggal, dia rela banting tulang untuk menyekolahkan Habibie hingga ke Jerman. Lantas, bagaimana kisah perjuangan Tuti?