IDN Times memperdalam dengan meminta pesan yang bisa IKOHI sampaikan terkait dengan narasi-narasi yang kerap dikeluarkan negara seperti ini?
Ya ini kan upaya yang kesekian kalinya sejak zaman Orde Baru untuk menutup, menutup apa, menyangkal peristiwa, terutama apa, secara spesifik pelanggaran-pelanggaran HAM ya. Dari sejak peristiwa 1965 sampai 1998. Dan itu upaya yang terus, tapi itu kan tidak bisa dibendung ya di era keterbukaan seperti ini.
Ribuan mahasiswa sejarah, jurusan politik, jurusan hukum itu kan sudah melakukan penulisan, rekonstruksi peristiwa itu. Kemudian banyak juga kesaksian-kesaksian yang tersebar entah melalui audiovisual, wawancara dan sebagainya. Itu kan tersebar.
Dan ya dengan rencana penulisan ulang Sejarah Nasional Indonesia itu juga saya kira tidak akan bisa berhasil ya. Karena sekarang kan anak-anak muda bisa mengakses semua peristiwa itu. 1998 itu karya-karya jurnalistik, karya film, dokumen dan sebagainya itu kan sudah banyak tersebar.
Dan kalau tujuannya ingin supaya ada narasi positif—memang sejarah Indonesia tidak penuh dengan peperangan? Sejarah kemerdekaan perang semua. Sejarah kolonial, pahlawan-pahlawan semua itu pahlawan perang semua. Jadi kalau narasinya ingin menghapus kekerasan, peristiwa kekerasan, supaya positif, berarti tidak ada sejarah nasional.
Sejarah nasional di pergerakan nasional itu selalu dengan pemberontakan-pemberontakan, versinya Belanda. Tapi kan bagi Indonesia perjuangan itu. Itu kan pasti akan banyak. Tidak akan berpengaruh apa-apa bagi kami.
Upaya itu upaya sia-sia untuk menutupi sejarah. Karena sejak reformasi kan hampir semua orang yang peduli dengan sejarah di Indonesia itu kemudian mengungkap, menelusuri, meluruskan sejarah yang ditutup semasa Orde Baru.
Kita tahu bahwa semua jurusan sejarah itu masih kritis-kritis. Sejarah yang dipelajari, metode penulisan skripsi itu kan sejarah kritis semua. Sehingga makanya tidak ada sejarah yang besar ditutup.
Sama dengan ini kan Jepang, Belanda menyangkal telah melakukan pemerkosaan terhadap perempuan-perempuan di tanah jajahannya. Misalnya ada Jugun Ianfu. Atau jadi apa, pemerkosaan terhadap para perempuan Indonesia di masa perang kemerdekaan. Tapi itu kan tidak bisa disangkal karena karya-karya itu sendiri sudah diungkap oleh peneliti-peneliti Belanda sendiri, peneliti Jepang sendiri.
Sampai sekarang misalnya Jepang menyangkal Jugun Ianfu, tapi setiap tahun kan semua korban di seluruh Asia Pasifik memperingati kejahatan Jepang dalam Jugun Ianfu. Itu kan tidak bisa dihindari.
Termasuk hari-hari kemerdekaan nasional di Asia Afrika itu kan puncak dari kekerasan yang dilakukan oleh kolonial. Itu kan walaupun kolonialisme menyangkal hari kemerdekaan 17 Agustus. Itu apa? Itu kan seperti hari pembebasan dari kolonialisme. Sama dengan yang dilakukan oleh—mana? Filipina, yang dilakukan oleh bangsa-bangsa Asia Afrika. Itu kan sama seperti itu.
Dan saya, kami melihat pertama, penyangkalan itu tidak akan berdampak besar bagi generasi baru. Indoktrinasi tentu tidak akan berhasil. Bahkan di masa Orde Baru di mana-mana, di bawah represi militer, itu tidak berhasil.
Kemudian kedua, guru-guru sejarah sekarang itu kompetensinya memang. Mahasiswa sejarah beda dengan yang di zaman Orde Baru. Banyak guru sejarah asal, misalnya guru agama mengajar sejarah, guru olahraga mengajar sejarah. Itu tidak. Tentu mereka sendiri tidak akan mengajarkan pembelokan sejarah seperti itu.
Dan yang berikutnya, ya ini maknanya politis. Dan harus—kalau ingin menghilangkan peristiwa ’98, ya beberkan Komnas HAM, beberkan Komnas Perempuan, beberkan jurusan sejarah.
Kalau itu semua dihapuskan begitu, sejarahnya Komnas HAM itu dari peristiwa kejahatan kemanusiaan di masa Pak Soeharto. Kemudian Komnas Perempuan lahir karena perkosaan massal terhadap etnis Tionghoa. Lahirlah Komnas Perempuan. Lalu ada Komnas Anak juga. Ada Komnas apa yang lain-lain ya. Ombudsman dan sebagainya. Itu jawaban dari peristiwa ’98 itu.
Jadi saya kira, ya itu kami melihat sebagai proyek saja. Karena nanti ada nilai uang ya. Ya penulisan ada 9 miliar, nanti cetak bukunya segala macam. Itu kan lebih ke… dan upaya untuk menghapus kejahatan Soeharto. Itu kan berbarengan dengan rencana, upaya untuk memberikan gelar pahlawan kepada Presiden Soeharto sejak 10 tahun terakhir. Itu kan kemudian selalu gagal karena banyak sejarawan yang mengatakan: bagaimana, kejahatannya banyak, tidak diusut, tidak diberikan gelar pahlawan.
Nah ini upaya yang tersistematis dari Fadli Zon sebagai anak ideologis Soeharto untuk menghapus kejahatan Orde Baru. Seperti itu.