Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Polemik Penulisan Ulang Sejarah, DPR Panggil Fadli Zon Pekan Depan

Wakil Ketua Komisi X DPR RI Lalu Hadrian Irfani soroti polemik disertasi Menteri ESDM Bahlil Lahadalia. (dok. Fraksi PKB)
Wakil Ketua Komisi X DPR RI Lalu Hadrian Irfani soroti polemik disertasi Menteri ESDM Bahlil Lahadalia. (dok. Fraksi PKB)
Intinya sih...
  • Pimpinan DPR dukung pemanggailan Fadli Zon.
  • Legislator PDIP ingatkan Fadli Zon terkait temuan TGPF
  • Desak penulisan ulang sejarah dihentikan

Jakarta, IDN Times - Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Lalu Hadrian Irfani menyatakan, pihaknya akan memanggil Menteri Kebudayaan (Menbud) Fadli Zon untuk kembali mendalami proyek penulisan ulang sejarah yang menuai polemik. Rapat kerja akan dilakukan pada pekan depan.

Lalu menambahkan, Komisi X DPR RI juga akan meminta penjelasan Fadli Zon yang sempat menyangkal adanya peristiwa pemerkosaan masaal dalam peristiwa kerusahan Mei 1998.

"Awal Juli kami undang beliau (Fadli Zon). Betul, insyaAlloh kami undang raker pekan depan," ujar Lalu saat dihubungi Kamis (26/6/2025).

1. Pimpinan DPR dukung pemanggailan Fadli Zon

WhatsApp Image 2025-06-24 at 10.43.36 (1).jpeg
Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad menegaskan, DPR sudah terima calon Dubes AS (IDN Times/Amir Faisol)

Sementara itu, Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad mengatakan, Komisi X DPR RI telah menjadwalkan untuk menggelar rapat dengar pendapat dengan Fadli Zon. Rapat tersebut dalam rangka meminta klarifikasi Fadli Zon yang menyangkal peristiwa pemerkosaan massal dalam kerusuhan 1998.

Ia pun mendukung adanya pemanggilan itu supaya dapat memperjelas apa yang menjadi perhatian publik, termasuk penyangkalan Fadli Zon terhadap peristiwa pemerkosaan masaal 1998.

“Komisi terkait saya dengar akan meminta menteri yang bersangkutan untuk memberikan keterangan di DPR, saya pikir itu bagus, untuk men-clear-kan hal-hal yang kemudian menjadi polemik di masyarakat,” kata dia.

2. Legislator PDIP ingatkan Fadli Zon terkait temuan TGPF

Pelukis Yos Suprapto (kiri) dan Anggota Komisi X DPR RI Bonnie Triyana di Galeri Nasional Indonesia. (IDN Times/Amir Faisol)
Pelukis Yos Suprapto (kiri) dan Anggota Komisi X DPR RI Bonnie Triyana di Galeri Nasional Indonesia. (IDN Times/Amir Faisol)

Anggota Komisi X DPR RI Bonnie Triyana sebelumnya keras mengkritik Fadli Zon terkait pemerkosaan massal 1998. Ia menilai, Fadli Zon sebagai Menteri Kebudayaan yang menggagas proyek penulisan ulang sejarah mestinya tidak melanggengkan budaya penyangkalan atas tindak kekerasan, terutama kekerasan seksual pada kaum perempuan Tionghoa dalam kerusuhan rasial pada tahun 1998.

Dalam sebuah wawancara, Fadli menyebut, Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) pernah 'membantah' dan 'tak bisa membuktikan' laporannya yang mengungkap kesaksian dan bukti bahwa para perempuan menjadi target perkosaan.

Padahal, laporan TGPF menemukan adanya tindak kekerasan seksual yang terjadi di Jakarta, Medan, dan Surabaya dalam kerusuhan Mei 1998. Adapun bentuk kekerasan seksual itu dibagi dalam empat kategori, yakni pemerkosaan (52 korban), pemerkosaan dengan penganiayaan (14 orang), penyerangan/penganiayaan seksual (10 orang), dan pelecehan seksual (9 orang).

TGPF juga mengungkap bahwa selain korban-korban perkosaan massal yang terjadi dalam kerusuhan Mei ‘98, ditemukan pula korban-korban kekerasan seksual yang terjadi sebelum dan setelah kerusuhan.

"Kalau semangat menulis sejarah untuk mempersatukan, mengapa cara berpikirnya parsial dengan mempersoalkan istilah massal atau tidak dalam kekerasan seksual tersebut, padahal laporan TGPF jelas menyebutkan ada lebih dari 50 korban perkosaan," kata Bonnie.

3. Desak penulisan ulang sejarah dihentikan

Pelukis Yos Suprapto (kiri) dan Anggota Komisi X DPR RI Bonnie Triyana di Galeri Nasional Indonesia. (IDN Times/Amir Faisol)
Pelukis Yos Suprapto (kiri) dan Anggota Komisi X DPR RI Bonnie Triyana di Galeri Nasional Indonesia. (IDN Times/Amir Faisol)

Lebih jauh, Bonnie Triyana lantas mendesak Kementerian Kebudayaan menghentikan proyek penulisan ulang sejarah jika tujuannya bersiat politis.

Apalagi, kata dia, tujuan penulisan ulang sejarah ini hanya demi menyeleksi cerita perjalanan bangsa Indonesia sesuai keinginan kekuasaan.

Kementerian Kebudayaan saat ini tengah menggarap penulisan ulang sejarah nasional yang ditargetkan rampung pada Agustus 2025. Namun dalam draf Kerangka Konsep Penulisan ‘Sejarah Indonesia’ ini, ternyata sejumlah pelanggaran HAM berat tidak dimasukkan.

Beberapa pelanggaran HAM yang ‘disetip’ dalam proyek penulisan ulang sejarah itu di antaranya seperti soal pemerkosaan perempuan Tionghoa dalam Peristiwa Mei 1998, penembakan misterius (Petrus), penghilangan paksa aktivis 1997-1998, tragedi Trisakti dan Semanggi I dan II, serta kasus-kasus pelanggaran HAM di Aceh dan Papua.

"Jangan lakukan penulisan sejarah melalui pendekatan kekuasaan yang bersifat selektif dan parsial atas pertimbangan-pertimbangan politis. Apabila ini terjadi, lebih baik hentikan saja proyek penulisan sejarah ini," kata Bonnie.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dwi Agustiar
EditorDwi Agustiar
Follow Us