Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Penyangkalan Fadli Zon dan Luka Lama Perkosaan Mei 98 yang Tak Kering

Fadli Zon
Menteri Kebudayaan Fadli Zon dalam wawancara program Real Talk with Uni Lubis by IDN Times (Youtube IDN Times)
Intinya sih...
  • Kurangnya dokumentasi negara menjadi penghambat serius dalam membuka informasi dan penuntasan kasus pemerkosaan massal pada Mei 1998.
  • Laporan TGPF mengungkapkan temuan adanya pelanggaran HAM dengan 85 kasus kekerasan seksual, namun belum ada respons mumpuni dari Komnas HAM ke Kejaksaan Agung.

Jakarta, IDN Times - Pernyataan Menteri Kebudayaan (Menbud) Fadli Zon soal penyangkalan terjadinya pemerkosaan massal pada Mei 1998 membuka luka lama berbagai pihak. Fadli mengatakan, Tragedi 13-15 Mei 1998 memang menimbulkan sejumlah silang pendapat dan beragam perspektif, termasuk ada tidaknya kejadian pemerkosaan massal.

Menurut Fadli, liputan investigatif sebuah majalah terkemuka juga tak dapat mengungkap fakta-fakta kuat soal “massal” tersebut. Pernyataan Fadli itu keluar saat dia hadir dalam wawancara 'Real Talk: Debat Panas!! Fadli Zon vs Uni Lubis Soal Revisi Buku Sejarah' di IDN Times pada 10 Juni 2025.

Luka lama yang belum kering ini tergores lagi oleh pernyataan Fadli Zon tersebut. Berbagai respons dari aktivis, pendamping korban hingga masyarakat bermunculan. Tak sedikit yang menganggap pernyataan Fadli itu ngawur. Salah satunya, aktivis perempuan dan pendamping korban pemerkosaan massal terhadap perempuan etnis China pada Mei 1998, Ita Fatia Nadia. Dia meminta Fadli meminta maaf atas pernyataan itu.

Pernyataan menteri dari Partai Gerindra itu mengingkari fakta sejarah dan keputusan mantan Presiden BJ Habibie Nomor 181 Tahun 1998 tentang Pembentukan Komnas Perempuan. Ita menunjukkan foto berisi 11 perempuan, termasuk Saparinah Sadli yang menemui BJ Habibie untuk menyerahkan dokumen atau fakta kasus Mei 1998.

"Jadi, apa yang disampaikan oleh Menteri Fadli Zon adalah sebuah dusta! Sebagai pejabat publik, seharusnya menumbuhkan dan menyemai satu bangunan untuk recalling memory untuk reparasi bagi mereka yang jadi korban," kata dia dalam diskusi virtual, 13 Juni 2025 lalu.

 

1. Soal data dan dokumentasi kasus

Infografis Pemerkosaan Mei 1998 (IDN Times/Aditya Pratama)
Infografis Pemerkosaan Mei 1998 (IDN Times/Aditya Pratama)

Sementara, Sekretaris Umum Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI), Zaenal Muttaqin, mengatakan, minimnya dokumentasi negara menjadi penghambat serius dalam membuka informasi dan penuntasan kasus pemerkosaan massal terhadap perempuan pada Mei 1998.

"Ya, khusus pemerkosaan ini, apalagi terhadap etnis Tionghoa, jadi mereka kan jelas sebagai kelompok minoritas yang ganda, mayoritas Kristen Tionghoa, perempuan, itu kan susah untuk... kecuali yang meminta data adalah lembaga resmi, misalnya penyidik, ya, yang akan membawa proses pengadilan," ujar Zaenal kepada IDN Times, dikutip Selasa (17/6/2025).

Namun, pendataan soal kasus 1998 sudah termuat dalam laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) kerusuhan Mei 1998 yang mengungkapkan temuan adanya pelanggaran HAM, yakni peristiwa 85 kasus kekerasan seksual. Angka tersebut telah disampaikan langsung kepada Presiden BJ Habibie dan menjadi dasar pengakuan resmi negara tentang fakta kekerasan seksual terhadap perempuan dalam Tragedi Mei 1998.

Secara rinci, dalam laporan TGPF kekerasan seksual terjadi di Jakarta dan sekitarnya, Medan, dan Surabaya. Bentuk-bentuk kekerasan seksual dalam kerusuhan Mei 1998 dibagi dalam beberapa kategori, yaitu perkosaan sebanyak 52 orang korban, perkosaan dengan penganiayaan sebanyak 14 orang, dan penyerangan atau penganiayaan seksual sebanyak 10 orang, dan pelecehan seksual sebanyak empat orang.

Selain TGPF, Komnas HAM pada Maret 2003 juga sudah membentuk Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM yang Berat Peristiwa Kerusuhan 13-15 Mei 1998 . Tim ini bekerja atas dasar UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Tim Ad Hoc merampungkan penyelidikan pada September 2003 dan dari hasil penyelidikan Komnas HAM, peristiwa Kerusuhan 13-15 Mei 1998 dinyatakan sebagai Pelanggaran HAM yang Berat, yaitu kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Bentuk-bentuk tindakan dalam kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 UU Nomor 26 Tahun 2000 dalam peristiwa kerusuhan 13-15 Mei 1998, yaitu pembunuhan, perampasan kemerdekaan, penyiksaan, termasuk perkosaan atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara dan persekusi.

Setelahnya, pada 19 September 2003, Komnas HAM melalui Surat Nomor: 197/TUA/IX/2003 telah menyerahkan hasil penyelidikan pelanggaran HAM yang berat Peristiwa Kerusuhan 13-15 Mei 1998 kepada Jaksa Agung selaku penyidik. Namun hingga kini, belum ada respons mumpuni soal laporan ini dari Komnas HAM ke Kejaksaan Agung (Kejagung).

 

2. Permintaan maaf dari negara

Picsart_25-06-27_12-16-07-306.jpg
Infografis peristiwa Mei 1998, Saat mengara meminta maaf (IDN Times/ Aditya Pratama)

Sebelum laporan TGPF dirilis pada 23 Oktober 1998, suara keadilan bagi kasus kekerasan seksual peristiwa Mei 1998 sudah digaungkan dalam dokumen "Tragedi Mei 1998 dan Perjalanan Bangsa Disangkal" yang dipublikasikan pada 2003. Aktivis perempuan dan HAM, Saparinah Sadli, menceritakan bagaimana Presiden BJ Habibie akhirnya meminta maaf soal peristiwa Mei 1998 dan membentuk Komnas Perempuan.

Kala itu, mereka berjumpa dengan Habibie pada 15 Juli 1998, usai penantian panjang. Dia ditelepon protokol Istana yang menyampaikan, mereka bakal diterima BJ Habibie di Bina Graha pada pukul 14.00 untuk membahas dampak kerusuhan Mei di berbagai kota terhadap perempuan.

Surat permohonan itu diteken oleh 22 perempuan. Awalnya hanya Saparinah yang diizinkan masuk, tetapi Wakil Ketua KOWANI, mendiang Kuraisin Sumhadi segera menjawab jika tak diterima maka mereka akan menginap.

"Tidak apa, Pak. Kami tidak akan pulang sebelum diterima semuanya. Kalau perlu, kami akan menginap di sini," kata Kuraisin saat itu.

Pertemuan juga tak berjalan mulus dan diwarnai pembahasan alot. Presiden BJ Habibie akhirnya menyampaikan permintaan maaf resmi atas tragedi Mei 1998 usai dialog intensif dengan para aktivis perempuan pada Juni 1998. Pernyataan itu merupakan hasil dari inisiatif Masyarakat Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (MAKTP) yang dalam dua minggu berhasil menggalang lebih dari 4.000 tanda tangan.

Dalam pertemuan selama dua jam yang tegang, Habibie sempat menolak permintaan maaf dengan membandingkan peristiwa Mei dengan tragedi Tiananmen. Namun, setelah mengingat cerita seorang dokter perempuan dari keluarganya, sikap Presiden melunak.

"Ya, saya ingat. Salah satu saudara saya (seorang dokter perempuan, yang ia sebutkan namanya) juga pernah menceritakan hal serupa. Dia tidak akan bohong pada saya," kata Habibie kala itu.

Setelah ingat kembali cerita dokter itu, sikaр Habibie disebut langsung berubah dan bersedia membuat pernyataan maaf dari pemerintah.

Kemudian, ada tiga poin pernyataan resmi pemerintah yang telah disusun bersama dalam diskusi panjang mereka. Berikut adalah tiga pernyataan Habibie yang dikutip IDN Times secara daring dari dokumen tersebut, Rabu (25/6/2025).

Pernyataan resmi pemerintah terkait peristiwa Mei itu dibacakan di depan kru televisi yang sudah siap di Bina Graha termasuk pada para perempuan yang dia temui siang itu.

1. Pemerintah mengutuk dan meminta maaf atas terjadinya kerusuhan di berbagai kota besar yang telah membawa kerugian material dan penderitaan nonmaterial pada korban.

2. Pemerintah segera membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta, di mana penyelidikan terhadap kasus kekerasan seksual menjadi bagian yang integral.

3. Pemerintah segera membentuk Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan sebagai komisi nasional yang independen.

Pada 22 Juli 1998, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan diperkenalkan di hadapan anggota Kabinet Reformasi, bertempat di Bina Graha. Namun Keputusan Presiden Nomor 181/1998 tentang Mandat dan Keanggotaan Komnas Perempuan baru keluar pada 15 Oktober 1998.

 

3. Angka korban kekerasan di TGPF disebut hasil kompromi

Screenshot_20250621_192502_YouTube.jpg
Mantan Ketua Tim Asistensi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Peristiwa Mei 1998, Prof Hermawan Sulistyodalam program Real Talk with Uni Lubis di kantor IDN Times, Jakarta (YouTube/IDN Times)

Angka 52 korban kekerasan seksual yang tertuang dalam laporan akhir TGPF Kerusuhan Mei 1998 disebut bukan angka yang diperoleh secara murni dari hasil investigasi, melainkan angka hasil kompromi. Fakta ini diungkap oleh Hermawan Sulistyo, salah satu anggota TGPF yang turut menyelidiki secara menyeluruh peristiwa 13–15 Mei 1998. Hermawan merupakan Ketua Tim Asistensi yang bertugas mengumpulkan data investigasi.

“Tadinya tidak ada. Kenapa ada angka seperti itu? Itu angka kompromi. Jadi yang menyerang, bilang angkanya lebih dari 100. Yang diserang bilang gak. Nol, gak ada! Berdebat-debat, terus angkanya bergeser dari 2, sudah bikin 2 sajalah! Oh, tidak boleh, 60! Saya menonton saja. Saya tidak ikut pertarungan. Tidak, tidak ditanya. Saya tidak mau bercakap. Kenapa? Kalau bercakap, nanti buyar perjuangan teman-teman itu. Jadi, ya, saya cuma menonton saja. Pertarungan itu sudah menjadi pertarungan politik,” ujar Hermawan dalam wawancara bersama Pemimpin Redaksi IDN Times, Uni Lubis dalam program Real Talk Uni Lubis pada Kamis (20/6/2025).

Ia menjelaskan, tim asistensi yang ia pimpin menggunakan pendekatan protokol Denver, yakni metode medis forensik yang melibatkan data dari rumah sakit dan tenaga medis. Namun, dari investigasi yang mereka lakukan, tidak ditemukan bukti langsung mengenai kekerasan seksual.

“Kemungkinan ada, tim lain. Kalau tim saya tidak menemukan,” kata dia.

Protokol Denver merupakan prosedur standar dari Denver, Colorado, AS, dalam menangani kasus kekerasan seksual. Protokol ini berbasis pada kerangka kerja SART (Sexual Assault Response Team) yang mengintegrasikan layanan medis, aparat penegak hukum, dan pendampingan terhadap korban.

Lebih lanjut, Hermawan mengatakan, perdebatan tentang angka korban menjadi bagian dari tarik-menarik politik di tubuh TGPF yang kala itu terdiri dari berbagai unsur. Ia menegaskan, ruang lingkup tugasnya tidak terbatas pada isu kekerasan seksual saja, melainkan menyeluruh terhadap seluruh kejadian dalam kerusuhan Mei 1998.

Hermawan juga membagikan pengalaman saat diminta oleh seorang tokoh hak asasi manusia asal New York untuk membuka data investigasinya. Saat ia menanyakan alasan permintaan itu, tokoh tersebut memberikan penjelasan yang pernyataannya ditirukan oleh Hermawan:

“Kiki, saya membiayai mereka untuk ke New York dan memberikan kesaksian di PBB. Tapi sampai di sini, gak ada yang mau ngomong atau bisa ngomong dan semua alasannya sama. Mereka trauma, mereka ketakutan, mereka ini,” kata Hermawan.

Walaupun memiliki hasil investigasi sendiri, Hermawan tetap menunjukkan penghormatan terhadap kerja para aktivis yang terus memperjuangkan pengakuan dan perlindungan terhadap para penyintas. Ia memandang upaya tersebut sebagai langkah penting untuk memutus rantai impunitas.

Diketahui, dalam dokumen resmi Komnas Perempuan berjudul 'Seri Dokumen Kunci Temuan Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa Kerusuhan Μei 1998,' dijelaskan Hermawan menjabat sebagai ketua Tim Asistensi dan memimpin 11 anggota, termasuk satu wakil. Disebutkan pula, dalam proses investigasi, terdapat tiga Subtim TGPF, salah satunya adalah subtim verifikasi yang bertugas memverifikasi dan mengolah data korban.

Tim ini menghimpun keterangan dari berbagai pihak, seperti saksi mata, ahli, korban, keluarga korban, serta pendampingnya. Secara keseluruhan, mereka memintai keterangan terhadap 24 orang di Jakarta dan lebih dari 100 orang lainnya di berbagai lokasi lapangan, baik oleh TGPF maupun tim asistensi.

 

4. Perihal mengadili pelaku dan rasa takut korban bersuara

IMG-20250616-WA0014.jpg
Presiden BJ Habibie saat pidato kenegaraan 15 Agustus 1998/ Instagram @kontras

Meskipun fakta-fakta pemerkosaan Mei 1998 tidak dapat disangkal, tetapi negara masih belum bisa mengungkapkannya. Hingga kini memang pelaku tidak pernah diadili, tidak ada jaminan pemulihan pada korban dan tidak ada jaminan bagi korban serta keluarga korban. Hingga kini laporan Komnas HAM pada Kejaksaan Agung belum ada tindak lanjut.

Zaenal dari IKOHI juga mengatakan, Komnas Perempuan juga kesulitan mengakses data atau meminta korban bersuara karena tak ada jaminan kemana ruang keadillan nanti akan dibawa.

Selain itu, ketakutan korban untuk bersuara juga dipengaruhi oleh nihilnya jaminan bahwa laporan mereka akan benar-benar ditindaklanjuti. Korban juga khawatir ada serangan dari para pihak yang berpotensi melakukan kriminalisasi.

"Jadi korban itu tidak berani terbuka, tidak berani bicara atau tidak menunjukkan profilnya karena memang tidak ada jaminan bahwa itu akan masuk proses hukum, akan ada jaminan keamanan, tidak ada serangan balik dari pihak-pihak yang berpotensi mengkriminalisasi mereka," ujar dia.

Meski begitu, Zaenal mengatakan, data korban tetap bisa ditelusuri oleh lembaga resmi negara seperti Komnas HAM dan Komnas Perempuan.

"Kalau mau minta, Komnas HAM, ya, pasti bakal ditunjukkan. Maksudnya ada kode, ada BAP itu, ya, profilnya segini, alamatnya di mana, kan bisa ditelusuri. Itu kan harus Komnas HAM minta," kata dia.

Sementara, Komisioner Komnas Perempuan Dahlia Madanih  juga mengingatkan ancaman nyata yang terjadi pascaperistiwa Mei yang salah satunya terjadi pada Ita Martadinata, salah satu korban kekerasan seksual Tragedi Mei 1998 yang tewas sebelum bersaksi di PBB.

“Ada ancaman-ancaman pembunuhan pada korban yang akan melakukan kesaksian, salah satu saksi yang akan melaporkan kesaksiannya Ita Martadinata di sidang PBB dibunuh dua hari sebelum dia berangkat ke network, serta satu perempuan di Tangerang,” kata dia.

 

5. Teror berulang pada yang bersuara

Tim Relawan untuk Kekerasan Terhadap Perempuan Ita Fatia Nadia dalam diskusi yang digelar oleh FEH Universitas Ciputra yang bertajuk Melawan Kekerasan Seksual (Mengenang Tragedi Mei'98) (YouTube/ FEH UC)
Tim Relawan untuk Kekerasan Terhadap Perempuan Ita Fatia Nadia dalam diskusi yang digelar oleh FEH Universitas Ciputra yang bertajuk Melawan Kekerasan Seksual (Mengenang Tragedi Mei'98) (YouTube/ FEH UC)

Teror yang terjadi pada korban pada 1998 kembali terulang. Usai pernyataan Fadli viral dan ditanggapi berbagai pihak, teror juga menimpa Ita mendapatkan teror melalui telepon usai mengecam pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon. Dia diteror oleh nomor asing pada Minggu (15/6/2025) usai menjadi salah satu pembicara di jumpa pers virtual untuk memberi tanggapan soal penyangkalan Fadli soal peristiwa pemerkosaan massal. Peneror mengatakan, 'Mulutmu minta dibungkam selamanya.'

Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Mike Verawati Tangka, menjelaskan, tindakan ini memang sudah dapat diprediksi dan merupakan pola klasik pembungkaman.

"Menurut saya, tindakan meneror aktivis yang menyuarakan soal Tragedi Mei, sudah dapat diprediksi akan dilakukan oleh pihak-pihak tertentu. Ini merupakan pola klasik yang sering dilakukan oleh rezim yang berkuasa untuk membungkam suara saksi atau korban atau mereka yang lantang bersuara," kata dia kepada IDN Times, Selasa (17/6/2025).

Dia mengatakan, tindak yang menakut-nakuti rakyatnya yang bicara soal kebenaran. Masyarakat sipil berupaya agar langkah kecil yang ada bisa dilakukan untuk tetap menggerakan kebenaran tak diusik.

"Kami masyarakat sipil tentunya mengupayakan mekanisme pengamanan yang kami mampu lakukan, sekecil-kecil yang dapat kami pastikan agar gerakan kebenaran ini tidak diusik atau tidak menimbulkan korban jiwa, ataupun korban trauma baru. Kami tidak takut," ujar Mike.

 

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Deti Mega Purnamasari
EditorDeti Mega Purnamasari
Follow Us